03 November 2008

Itu Dia Mayatnya...!

FEATURES
Semarang, 3 November 2008
Itu Dia Mayatnya...!
Oleh Anindityo Wicaksono


SEBUAH bus antarkota dalam provinsi (AKDP) asal Semarang berhenti tepat di depan kantor kecamatan Adipala, sekitar 10 km dari Kota Cilacap, Jawa Tengah, pada suatu pagi buta. Kantor dan jalanan di depannya masih lengang. Rumah-rumah di sekitar terlihat kosong, tampak habis ditinggalkan pemiliknya.

Angin pagi sekilas membawa bau pasir laut dari ujung jalanan. Bunyi berdesir pohon kelapa sayup-sayup terdengar, menandakan pantai berada tak jauh dari sana.

Hari itu adalah pasca-satu hari Cilacap dilanda gelombang-pasang tsunami. Awalnya, gempa tektonik berkekuatan 5,5-6,8 skala richter yang terjadi di selatan Pantai Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Jabar, tepatnya di posisi 9,46 Lintang Selatan (LS) dan 107,86 Bujur Timur (BT), menguncang Cilacap, Pangandaran, Kebumen, dan beberapa wilayah di pantai selatan Jateng dan Jabar.

Tsunami pun datang mengiring. Gelombang air bah setinggi 3-5 meter menyapu daratan sekitar pantai Cilacap, membawa pasir dan lumpur. Ratusan perahu yang menjadi sandaran penghidupan masyarakat nelayan Cilacap, hancur terseret ombak sejauh ratusan meter.

Wilayah kota penyu ini yang terkena, tepatnya di kawasan pesisir selatan, dari Adipala, Cilacap, hingga wilayah Kebumen, yaitu Karangbolong dan pantai Ayah. Setidaknya, jumlah korban tewas mencapai 123 orang yang tersebar di delapan kecamatan di Cilacap.

Di Adipala 55 orang tewas dan tujuh dinyatakan hilang. Di Binangun 57 orang tewas dan 10 hilang, di Kecamatan Cilacap Selatan 11 orang tewas dan 13 dinyatakan hilang. Di Kecamatan Cilacap Tengah tiga warga tewas dan satu orang hilang. Ratusan orang kehilangan rumah akibat rusak parah tersapu gelombang.

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) berasumsi, gelombang Tsunami ini masih ada kaitannya dengan gempa dahsyat di Yogyakarta-Klaten yang baru dua bulan berselang. Titik episentrum, atau pusat gempanya, disebut-sebut sama, yaitu di laut selatan Jawa.

Tsunami merupakan gelombang laut berperiode panjang. Ia timbul lantaran energi yang merambat ke lautan akibat gempa bumi, letusan gunung berapi, dan runtuhnya lapisan-lapisan kerak bumi di dasar samudera.

Ketika lantai dasar samudera berpindah tempat dengan cepat, seluruh beban air laut di atasnya terkena dampaknya. Dahsyatnya fenomena alam ini dapat disaksikan pengaruhnya di permukaan dan keseluruhan beban air laut, hingga kedalaman 5.000-6.000 meter. Satu rangkaian bukit dan lembah gelombang itu dapat meliputi wilayah hingga 10.000 kilometer persegi.


Anggota Senior

Pagi itu, Selasa, 18 Juli 2006, total delapan orang dari Tim SAR UNDIP, termasuk saya, ditugaskan dalam operasi gabungan bersama Tim SAR Semarang. SAR UNDIP sendiri baru berumur empat bulan ketika itu. Ini tugas kedua kami sejak berdiri. Sebelumnya, pada operasi evakuasi pascagempa di Klaten, 27 Mei 2006.

Ketika kami datang, Murwat (30) dan Wahid (25), anggota SAR Semarang, sudah mendirikan posko evakuasi berdekatan dengan kantor Polsek Adipala di dalam kompleks kantor kecamatan. Mereka membawa mobil jip operasional SAR beserta satu perahu karet (rubber boat) bermotor dengan mesin tunggal kapasitas 16 pk.

Murwat adalah salah satu anggota senior yang telah tahunan bertugas di SAR bentukan Departemen Perhubungan itu. Ke mana-mana, ia selalu mengenakan topi rimba hitam dan menenteng ponsel Ericsson RG-Pro yang berwarna senada dengan seragamnya: oranye terang.

Meski perawakannya pendek, tak sampai 170 cm, dan agak gemuk, tapi jangan tanya kemampuannya. Ia paling mahir untuk urusan navigasi (tehnik pembacaan peta), evakuasi korban, tehnik P3K, dan tali-temali. Orangnya tegas, tak banyak omong. Kalau ditanyakan mengapa begitu pendiam, ia pun lama menyahut, "Bicara seperlunya saja, jangan suka berbasa-basi kalau tak penting."

Wahid juga relawan yang sudah cukup lama bergabung. Kulitnya hitam legam; khas orang lapangan. Bicaranya ceplas-ceplos dan paling gemar bercanda. Ia turut serta dalam berbagai operasi, baik yang lokal seperti orang jatuh di sumur, orang tewas atau hilang di gunung, hingga yang mengharuskannya menyeberangi pulau seperti operasi evakuasi tsunami Aceh, medio Desember 2003.

"Karena masih mahasiswa di Universitas Stikubank Semarang, satu bulan saya dapat ijin tidak ikut ujian akhir selama bertugas di Aceh," kisahnya.

Pernah Wahid bercerita, hingga hari ke-3 masa awal tugas di Aceh, ia tak pernah bisa tidur. Pasalnya, bau busuk dari ribuan mayat di sekitar posko yang belum dievakuasi, terlalu menyengat. Bahkan, saking dahsyat jumlahnya, makan siang di hadapan mayat pun menjadi hal yang biasa baginya.

Selama satu minggu, kami akan melaksanakan suatu operasi-evakuasi gabungan. Di bawah satu komando dari Camat Adipala, kami akan dibantu SAR daerah lain yang akan datang menyusul di malam harinya, yaitu Wonogiri, Temanggung, dan Klaten.

Mengapa hanya satu minggu? Menurut Murwat, sebagian besar korban tsunami di Cilacap ini, baik yang tewas atau yang belum ditemukan, adalah nelayan-nelayan atau orang yang pada hari kejadian berada dekat dengan pantai atau sedang melaut. Artinya, jika jenasahnya belum diketemukan, itu berarti ia tertahan di sekitar laut.

Berdasarkan ilmu medis, jika manusia tenggelam di air, dalam 3-4 hari badannya akan membesar dan menggelembung terisi air. Untuk air laut yang kadar garamnya tinggi, proses ini bisa makin cepat dibandingkan korban yang tenggelam di air tawar.

Tubuh yang penuh air ini rapuh; mudah pecah dan terombang-ambing terbawa arus air. Saat itu, kita beruntung jika arus laut mengantarkannya ke arah pesisir. Jenasah akan tiba sendiri di pantai. Namun, jika lebih dari empat hari jenasah belum diketemukan, badannya yang penuh air itu akan pecah dengan sendirinya. Hilang bersama buih ombak. Tak ada gunanya lagi mencari jenasahnya.


Keluarga Jenasah

Murwat dan Wahid sudah berada di lapangan ketika kami datang. Ada kabar, nelayan menemukan sesosok mayat di pantai. Dengan menggunakan mobil patroli Polsek setempat, segera kami bergeser ke lokasi. Lokasi penemuan itu berada di pesisir selatan pantai Cilacap. Untuk tiba di sana, kami melewati beberapa tambak yang terlihat kosong ditinggalkan para petaninya.

Memasuki kilometer satu dari garis pantai, bekas-bekas gelombang pasang laut mulai terlihat. Air dalam tambak-tambak terlihat bercampur dengan pasir pantai. Bangunan-bangunan dari beton di dekat pantai pun sudah hancur tak karuan.

"Itu dia mayatnya!" ujar seorang anggota Polisi membuyarkan lamunan kami.

Orang banyak sudah ramai mengerumuni sesosok mayat pria setengah-baya. Saya taksir ia berumur 30-an tahun. Badannya gemuk. Karena lama terapung-apung di laut, badannya menggelembung pada bagian perut, mata, dan alat vitalnya. Kaos berwarna putih dan celana pendek selutut masih melekat di badannya. Baunya busuk menyengat. Agak mual juga melihatnya.

"Dia biasa memancing di sekitar sini," kata seorang warga di kerumunan.

Kawan jenasah, yang turut dalam kerumunan, menyatakan kesediaannya menunjukkan kediaman keluarganya. Setelah dengan hati-hati menaikkannya ke mobil patroli, jenasah ini langsung kami bawa ke rumah keluarganya, kira-kira 1 km dari pantai.

Rumahnya tampak ramai setibanya kami di sana. Tak kurang dari 30 orang keluarga dan tetangganya tampak berkerumun. Tak ayal, kedatangan kami ini sontak disambut ledakan tangisan mereka. Mereka langsung meletakkan jenasah di atas meja yang sudah disiapkan di dalam ruang tamu. Jenasah mereka tutupi dengan kain sarung.

Agak ringan memang tugas kami jika korban diketahui kediamannya. Kami hanya bertanggung jawab menyerahkan jenasah pada keluarganya. Beda jika identitas korban tak diketahui atau yang hingga berhari-hari tak ada yang mengambilnya di rumah sakit. Kalau begitu, terpaksa kami jugalah yang berkewajiban memakamkannya.

Sesuai instruksi kecamatan, hari itu kami bertugas melakukan sweeping di sepanjang pesisir pantai. Wilayah operasi kami berangkat dari data orang hilang yang dimiliki Kesbanglinmas. Di titik-titik mana saja orang banyak melaporkan kehilangan anggota keluarganya.

Dalam sebuah operasi SAR, pucuk tertinggi pimpinan di wilayah administratif berhak memegang tongkat komando tertinggi. Dulu di Yogya dan Klaten, misalnya, Gubernur Yogya dan Bupati Klaten didaulat menjadi koordinator.

Maka dari itu, di Cilacap, instruksi harus satu pintu dari Bupati Cilacap. Biasanya, demi mempermudah dan mempercepat koordinasi, kepala daerah akan memotong jalur protokoler dengan menunjuk Muspida setempat. Artinya, dalam operasi tsunami ini, Camat Adipala berwenang memegang kendali segala urusan.

Untuk itu, SAR, TNI-AD, dan Polsek yang bersamaan menerjunkan personelnya harus saling berkoordinasi, menjalin komunikasi, dan menunggu instruksi satu-pintu dari Camat Adipala. Hal ini untuk menghindari tumpang-tindih atau saling "rebutan wilayah" selama proses evakuasi.

Tim evakuasi gabungan ini dibagi berdasarkan wilayahnya. Secara garis besar, tugas kami semua hanya satu: mencari mayat. Tak sama dengan operasi gempa Yogya yang beragam selain evakuasi mayat, dari rehabilitasi gedung-gedung sekolah dan rumah yang rusak, menyalurkan bantuan, hingga membuka posko kesehatan.

SAR yang total berjumlah 22 orang ini bertugas meng-cover dari wilayah pantai hingga muara yang menjorok ke arah laut dangkal. Selain itu, karena di tim kami terdapat mahasiswa keperawatan, malam harinya kami membuka posko kesehatan. Namun, karena tsunami tak terlalu menimbulkan korban luka-luka, posko ini akhirnya hanya mendapati keluhan-keluhan para pengungsi yang berumur lanjut, seperti tes tekanan darah atau konsultasi kesehatan.

TNI, melalui Koramil Adipala, menerjunkan satu pleton dari salah satu batalyon infanteri miliknya. Mereka bertugas menyisiri sepanjang garis pantai. Sedangkan Polsek menurunkan satu pleton dari Brimob.

Hebat benar anggota TNI ini, pikir saya. Tak seperti kami dari SAR dan kepolisian yang tidur enak di posko kecamatan, mereka negpos di sebuah SD di dekat pantai yang kosong akibat ditinggalkan para siswa dan gurunya mengungsi. Artinya, para serdadu ini harus rela makan seadanya, dan tidur tak nyaman. Mereka jauh pula dari keramaian.

Presiden SBY

Sepanjang hari pertama hingga ketiga, kami dibagi menjadi tiga dua tim. Yang pertama, menyusuri timur Teluk Penyu hingga ke arah pantai Ayah, menjelang wilayah administratif Kebumen. Sedangkan tim kedua, menyusur ke arah barat Teluk Penyu.

Sesuai prosedur keamanan, berbekal kantong mayat secukupnya, masing-masing kami mengenakan pelampung untuk menghindari kemungkinan tersapu ombak saat terjadi gelombang pasang susulan.

Sebanyak 1, 2, dan total 3 jenasah ditemukan tim pertama ketika itu. Seluruh jenasah ini tersangkut di semacam delta penghubung antarmuara. Korban keempat, ditemukan tim kedua di bawah jembatan dekat kali penghubung muara laut.

Korban keempat ini sudah membusuk. Dari pakaiannya, kami menduga ia adalah pemancing yang terlambat melarikan diri ketika gelombang pasang datang. Agar terhindar dari kemungkinan terjangkit kuman-kuman yang terbawa jenasah busuk ini, kantong-kantong yang sudah dipakai kami bakar. Satu kantong, satu korban.

Di hari ketiga, Presiden SBY datang beserta rombongan untuk menilik kondisi pantai Cilacap pasca-tsunami. Tak ayal, kedatangan orang nomor satu negeri ini menimbulkan gelombang pengamanan ekstra di sejumlah ruas jalan dan titik-titik sentral yang dilewatinya.

Pasukan pengaman presiden (paspampres) disebar di berbagai titik. Dari ring 1, 2, hingga radius 2 km dari pantai disterilkan dari warga. Sejak di pintu masuknya, 1 km sebelum pantai, pos pengamanan memperketat pengawalannya.

Sejumlah personil dari TNI mengamankan area garis pantai untuk menghadapi kemungkinan infiltrasi yang tak diinginkan. Para serdadu ini berjejer tiap 10 meter sekali, lengkap dengan SS-1, senapan serbu buatan Indonesia, milik mereka.

Mata mereka awas, tajam ke arah pantai. Apa saja yang menunjukkan gelagat aneh, tak segan mereka pelototi hingga benar-benar dirasa tak membahayakan.

Di hari ke-4 hingga 6, barulah kami merambahi wilayah perairan dangkal dan muara yang disinyalir menjadi tempat para korban tertahan. Dengan, dua perahu karet bermotor, satu milik SAR Semarang dan satu pinjaman dari Kesbanglinmas setempat, kami berputar-putar. Area yang awas kami perhatikan ialah sebuah muara luas di dekat tambak.

Tempat itu adalah wilayah di mana para penambang pasir biasa beroperasi. Jengkal demi jengkal muara kami telusuri. Mulai dari pinggirannya yang berbatasan dengan rawa-rawa, hingga memasuki semacam goa pada sebuah delta di pinggir muara. Namun, kebanyakan hasilnya nihil. Korban justru paling banyak ditemukan di sekitar jembatan-jembatan yang berbatasan langsung dengan pantai.

Setelah genap seminggu masa tugas kami, sebelum pulang kami masing-masing disuntik obat anti infeksi. Kata salah seorang tim medis, potensi keterjangkitan kuman yang dibawa jenasah busuk sangat berbahaya. Kalau tak diantisipasi dengan segera, sang penderita bisa tewas. "Mirip kuman rabies yang dibawa anjing gila," terangnya.

Kami pun pulang dengan membawa pesan: manusia, sehebat apapun dia, akan mati tanpa membawa apapun. Ia akan busuk dimakan belatung dan hilang bersama tanah. Itu pun masih lebih baik, ketimbang mereka yang tewas tenggelam. Badan mereka pecah; hancur bersama buih ombak.

0 komentar:

Posting Komentar