21 Oktober 2008

Kelamnya Legitimasi Agama

FILM
Semarang, 19 Oktober 2008
Kelamnya Legitimasi Agama
Oleh Anindityo Wicaksono

Judul Film: Kite Runner
Pemeran: Khalid Abdalla (Amir dewasa), Atossa Leoni (Soraya), Shaun Toub (Rahim Kahn), Zekeria Ebrahimi (Amir kecil), Ahmad Khan Mahmidzada (Hassan kecil)
Sutradara: Marc Forster Khaleb
Durasi: 2 jam 2 menit
Distributor: Paramount Vantage
Tanggal Rilis: 14 Desember 2007 (AS), Februari 2008 (Indonesia)

PADA usia belia, Ahmad Wahib (LP3S, 1981) pernah menulis dalam buku hariannya: "Aku ingin orang memandang dan menilai aku sebagai suatu kemutlakan (absolute-entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk serta dari aliran apa aku berangkat. Sekadar memahami manusia sebagai manusia."

Wahid berani merenungkan dirinya itu "siapa" atau sekedar "apa." Ia memaknai dirinya sebagai human being (manusia) yang berproses atau belajar untuk being human (memanusiawikan dirinya). Buah pikirannya terdesak oleh pencarian jati dirinya sebagai seorang intelektual muda yang gelisah.

Wahid mampu menyadarkan bahwa dirinya pertama-tama tidak dijelaskan oleh namanya, tidak pengetahuan, tidak keterampilannya. Tidak oleh pakaian dan kendaraannya; tidak juga agamanya. Ia menyadari bahwa ia hanya manusia yang sedang berproses menjadi dirinya sendiri, mengaktualisasikan segenap potensi sebagaimana ia diciptakan (Andreas Harefa, 2000).

* * *

AGAMA memang terkadang sukar dimengerti. Ia bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia penuh damai, pengorbanan, cinta kasih, dan pengampunan; ia tanda penyertaan Sang Khalik di dunia. Di sisi lain, agama memancangkan ketakutan, absolutisme-tak terbantahkan, dan penghukuman. Tak terhitung banyaknya pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama.

Pertanyaannya, benarkah agama menjadikan manusia menghukum sesamanya? Bolehkah "iman" mengalahkan "hati nurani", ketika penghakiman atas nama dosa shahih menjadi hukum negara?

Inilah potret yang coba dihadirkan sutradara Marc Foster Khaleb (Finding Never Land) ketika menggarap film Kite Runner (2007). Film yang diangkat dari novel laris Khaled Hosseini (2003) ini mengambil setting kehidupan masyarakat kota Kabul, Afghanistan, menjelang invasi Soviet hingga rezim Taliban berkuasa.

Adalah dua anak umur belasan, Amir Agha (Zekeria Ebrahimi), putera seorang Pashtun kaya yang terpandang, yang bersahabat dengan Hassan (Ahmad Khan Mahmidzada), anak laki-laki Hazara pelayan ayah Amir.

Amir tipikal anak orang kaya yang pintar nan santun; namun kerap menarik diri dan penakut. Amir yang pintar sering mendongengkan cerita rakyat "Roustam and Sohrab" pada Hassan yang buta-huruf. Karena suka menulis, ia memang kerap membacakan kisah buatannya pada Hassan. "Cerita-ceritamu adalah cahaya bagiku," begitu tulis Hassan dewasa di suratnya pada Amir.

Hassan berkarakter pelayan seperti ayahnya: periang, pekerja keras, jujur, dan pemberani. Hasan yang pemberani kerap melindungi Amir dari gangguan anak-anak nakal. Baginya, Amir adalah sobat sekaligus anak tuannya. Hassan amat setia dan tunduk padanya.

"Maukah kau makan tanah itu untukku?" uji Amir suatu kali.

"Kalau saja benar kau yang menyuruh, aku rela!" tegas Hassan.

Karena bersahabat sejak kecil, mereka terbiasa menghabiskan waktu bersama. Mulai dari nonton fim koboi Amerika di bioskop hingga bermain layang-layang. Yang terakhir ini memang kegemaran sebagian besar anak-anak Kabul. Saban sore, terutama saat angin sedang bagus-bagusnya, langit tak pernah sepi disesaki aneka kertas terbang ini.

Untuk hal ini, jangan tanya: Hassan jawaranya. Ia penguasa udara. Jika layangannya mulai mencakar langit, jangan harap bisa lolos dari jurus lilitan mautnya. Permainan Amir pun tak kalah ciamiknya. Bersama Hassan, anak Pashtun ini bahkan pernah memenangkan sebuah kompetisi layang-layang bergengsi se-Kota Kabul.

Ekspektasi

Baik dari alur cerita maupun jalinan gambar, film yang berdurasi dua jam dua menit ini sungguh memikat. Kisahnya cerdas menyentuh sisi sentimentil kita. Sajian gambarnya pun tak main-main. Selain banyak menyuguhkan pesona lanskap bumi-perawan Afghanistan, potret permainan layang-layang dalam medium film pun ternyata jadi mengasyikkan.

Betapa tidak, permainan layang-layang Amir dan Hassan dikemas menyerupai adegan kejar-kejaran pesawat tempur F-16: penuh gemuruh dan tehnik pengambilan gambar yang rumit. Wuuss... wuuss... wuuss..! Layangan membelah angkasa. Sampai pada suatu ketinggian, tiba-tiba ia menukik tajam menelikung musuhnya: membelit benangnya tanpa ampun hingga putus. Dahsyat menegangkan.

Permainan memikat Ahmad Khan Mahmidzada sebagai Hassan kecil di sepanjang film patut diacungi jempol. Walau terhitung debutan, aktor-cilik ini sukses menghidupi tokoh Hassan, seorang anak pelayan yang lugu, setia, dan tulus. Baik dari penjiwaan karakter maupun permainan gestur tubuh.

Sayang, permainan Khalid Abdalla ketika memerankan Amir dewasa terasa kurang greget. Adegan ketika Amir belakangan mengetahui bahwa Hassan ternyata adik kandungnya, misalnya. Sejatinya hal itu adalah pukulan hebat baginya: mengetahui Hassan adalah buah perselingkuhan ayahnya dengan istri Ali, ayah Hassan.

Saat mendengar kabar yang bagai kilat di siang bolong itu, wajah Khalid masih terlalu datar-cum-nihil penjiwaan. Entah karena kurang improvisasi atau terkungkung naskah, ia kurang berhasil menggiring empati penonton.

Di luar sedikit ganjalan itu, sang sutradara berhasil lepas dari perangkap yang kerap membentangi film-film sejenis yang berdasarkan novel: ekspektasi pembaca yang berlebihan.

Walhasil, Marc tak terjebak untuk terlalu banyak memasukkan petilan novel jika hal itu dirasa mengurangi esensi cerita, seperti yang terjadi pada film Laskar Pelangi. Ia disiplin menjaga kisah tetap runtut dan mudah diikuti. Ia sadar: tak semua penonton pernah membaca novelnya.

Tabiat Taliban

Keberhasilan film ini tak lepas dari cerita novelnya yang memang menakjubkan. The Kite Runner adalah novel Afghan pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain menjadi buku terlaris sepanjang 2005 - terjual lima juta kopi di AS - novel ini dianugerahi Humanitarian Award 2006 oleh UNHCR. Novel yang diterjemahkan ke dalam 42 bahasa ini selama dua tahun lebih bertengger di daftar New York Times Bestseller.

Penulisnya, Khaled Hosseini, adalah putra pasangan guru SMA dan diplomat yang lahir di Kabul pada 4 Maret 1965. Ketika berumur 11 tahun, ia bersama keluarga meninggalkan Kabul ketika ayahnya, Hosseini, bertugas ke Paris, Perancis. Saat mereka seharusnya kembali ke Afghanistan pada tahun 1980, negeri itu telah diduduki Soviet.

Lulusan Cedars-Sinai Medical Center Los Angeles ini sejak 1996 berpraktik sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Kini pria dari keluarga terpandang suku Tajik ini aktif menjadi duta besar keliling badan pengungsi PBB, UNHCR.

Karena lama hidup di luar Afghanistan, sang novelis mampu melepaskan romantisme masa-kecilnya untuk jujur menyatir kondisi masyarakat tanah kelahirannya. Secara blak-blakan dia merekam awan gelap yang menutupi Kota Kabul sejak Taliban berkuasa: kota yang mengoyakkan pengharapan generasi mudanya dan tak lagi memanusiakan manusia.

Dia menyuguhkan tabiat-tabiat buruk Taliban tanpa tedeng-aling. Salah satunya ketika salah seorang petinggi Taliban diketahui kerap menculik anak-anak untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Bahkan mereka tak segan-segan memaksa anak-anak itu menari eksotis di depan mereka. Ada juga adegan sepasang pelaku perselingkuhan yang mati dirajam di depan khalayak.

Tak ayal, buku kontroversial ini membuat Pemerintah Afghanistan kebakaran jenggot. Mereka kelimpungan membatasi peredarannya. Melalui kementerian informasi dan kebudayaan, pemerintah melarang pemutaran dan impor film Kite Runner.

Sampai-sampai, empat lakon cilik film ini pun diterbangkan ke AS, di tengah memuncaknya kecemasan atas keamanan mereka. Pemindahan mereka lantaran adanya kemungkinan anak-anak ini akan menjadi sasaran pembalasan atas sebuah adegan penting ketika Hassan, anak suku Hazara, diperkosa. (Kapanlagi.com)

Penghargaan

Di tengah kontroversi dan sorotan berkepanjangannya, nyatanya Kite Runner berhasil menyentuh sisi kemanusiaan kita yang mendambakan hangatnya persahabatan. Ada dua pesan utama film ini. Pertama, indahnya kisah persahabatan antara dua anak beda etnis di tengah-tengah konflik antaretnis yang memanas.

Kedua, kita kembali diingatkan pada semboyan Marxis "Religion is the opium to the people" (agama candu masyarakat). Di Afghanistan, segelintir orang telah mereduksi nilai agama sedemikan rupa untuk dijadikan penguat legitimasi. Kemuliaan agama mereka nodai untuk mereka jadikan candu: menjejali otak-otak para pengikutnya untuk menisbikan kemanusiaan.

Dari sederet pesan moral yang ditabuhnya, sekaligus penggarapan film yang memikat, tak heran berjibun penghargaan menanti mereka. Golden Globe menominasikan film ini sebagai film berbahasa asing terbaik dan "Best Original Score" (tata musik terbaik). Malah di Satellite Award, ajang awarding film dari para jurnalis se-Amerika, film ini sudah memenangkan katagori tersebut.

Sementara di ajang anugerah film versi Critics Choice Award, yang diselenggarakan para kritikus film se-Amerika dan Canada, selain dinominasikan sebagai "Best Picture", ia mendapat nominasi "Best Young Actor" untuk Ahmad Khan Mahmidzada, si pemeran Hassan kecil.

3 komentar:

  1. Saya setuju bos! Memang terkadang agama sukar dimengerti. Maka jadikanlah KEBENARAN, HATI NURANI, dan KEMASHLATAN SESAMA menjadi TUHAN kita!

    BalasHapus
  2. film yang termasuk kategori bagus...

    :two thumbs up:

    BalasHapus
  3. Luar biasa, Anda benar2 penulis yang hebat, mampu memaparkan sedemikian detailnya atas apa yang di lihat. Luar biasa...!! Salam. Seno.

    BalasHapus