31 Januari 2009

Secercah Harapan dari Barry

KOLOM

Semarang, 31 Januari 2009
Secercah Harapan dari Barry
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://willnevergiveup.wordpress.com)

AMERIKA Serikat baru saja menorehkan lembar baru dalam sejarah kontemporer mereka. Barack Hussein Obama, pria keturunan Afrika-Amerika, akhirnya resmi dilantik menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat pada 20 Januari 2008. Obama yang akrab dipanggil ”Barry” oleh teman-teman masa kecilnya di Indonesia ini tercatat sebagai pria kulit hitam pertama yang mendiami Gedung Putih.

Kini pekik sukacita masyarakat pinggiran AS dan eforia global yang hadir sejak kemenangan Obama itu berakhir sudah. Berganti dengan sorotan luas dunia pada masa 100 hari pemerintahannya. Pasalnya, bertumpuk persoalan berlarut-larut warisan Presiden George W. Bush, baik dalam negeri maupun dunia internasional, kini menantinya. Ada dua tantangan pokok Obama kurun empat tahun ke depan.

Pertama, perekonomian negara adikuasa membutuhkan suatu gebrakan besar. AS sedang didera resesi hebat yang turut menyeret prekonomian global: PHK besar-besaran di sebagian besar industri manufaktur, membengkaknya utang nasional, hingga angka pengangguran yang mencapai tingkat tertinggi dalam lebih dari seperempat abad.

Kedua, kebijakan luar negerinya sedang ditunggu-tunggu dunia. Khususnya yang berpusat di kawah konflik Timur Tengah. Kawasan ini telah jenuh dan jatuh apatis akibat kebijakan Bush yang terang-terangan merestui 22 hari agresi militer Israel di Jalur Gaza. Selain itu, konflik di Irak dan Afghanistan pun masih berlarut-larut tanpa sikap yang jelas.

Proaktif

Hemat penulis, optimisme adalah langkah bijak dalam menyikapi semua duri onak yang menghadangnya. Sebab, apalah artinya dunia tanpa pengharapan. Stephen Covey, dalam bukunya yang masyhur, Seven Habits of Hoghly Effective People, menyebutkan, proaktif adalah salah satu kebiasaan efektif yang harus selalu dikembangkan dalam mencapai tujuan.

Proaktif yang dimaksudkan Covey adalah sikap yang memandang bahwa segala keadaan yang berlaku pada seseorang tidaklah dapat menggoyahkan visi semula. Kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri. Masalah boleh saja menghadang. Kritik kaum pesimistis tak akan pernah hilang. Namun, selama teguh berpatokan pada prinsip ”we are what we think” (kita adalah apa yang kita pikirkan), seburuk apapun keadaan di luar sana, sikap positif yang konsisten lambat laun akan menuai hasilnya.

Nampaknya Obama tahu benar prinsip ini. Di tengah sorotan negatif yang dihembuskan sebagian besar pengamat, dia pelan namun pasti terus menempuh manuver-manuver yang sesuai dengan kebijakan ambisius dalam dan luar negeri yang menjadi bahan kampanyenya.

Untuk konflik di Gaza, kedekatan Obama dengan tokoh Yahudi dan Palestina di Amerika bisa menjadi modal utamanya untuk menyikapi konflik secara lebih arif. Konflik ini adalah sentral persoalan yang tak dapat ditunda-tunda. Pasalnya, penyelesaian konflik Israel-Palestina sangat menentukan hubungan AS dengan 1,4 milyar umat Muslim dunia.

Memang, keberpihakan Obama dengan organisasi lobi Yahudi sangat besar. Lihat saja, sehari setelah ditetapkan menjadi capres Partai Demokrat awal Juni 2008, Obama berpidato di hadapan AIPAC—sebuah organisasi pelobi Yahudi di Amerika—untuk menepis keraguan dukungan Obama terhadap negara Israel.

Dukung AIPAC

Tak dapat dipungkiri, Obama pun cenderung memilih hemat bicara kala diperhadapkan pada persoalan Timur Tengah. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis seorang presiden di sebuah negara adikuasa yang sarat tarik-ulur kepentingan dan ekspektasi besar masyarakat dunia. Namun, penulis melihat, Obama adalah sosok yang lebih mengedepankan politik diplomasi dan lobi.

Walaupun terang mendukung AIPAC, Obama juga diberitakan dekat dengan tokoh-tokoh Palestina di AS. Bahkan kedekatan ini membuat Rashid Khalidi, salah satu cendekiawan Palestina berpengaruh di AS, pernah menggalang dana untuk Obama ketika mencalonkan diri sebagai senator. Konon pula, Obama sering hadir dalam kuliah-kuliah cendekiawan besar Palestina.

Latar belakang ini mampu membuat Obama berani menawarkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang sangat ”pro-Israel”. Dia mau memetakan kebijakan luar negeri, khususnya Timur Tengah, dengan perhatian utama pada Arab dan dunia Islam. Dalam KTT Arab yang diadakan pasca-agresi Israel, Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah mengundang Iran (Presiden Mahmoud Ahmadinejad) untuk urun rembug. Suatu hal yang jarang sekali terjadi di masa kepemimpinan presiden sebelumnya.

Kita semua berharap, resolusi perdamaian dunia bisa mulai dirajut di bawah kepemimpinan Obama. Dengan komitmen yang kuat dan berkesinambungan, serta keterampilan diplomasi semua pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah mendesak dan status final, solusi di Gaza mendekat dalam jangkauan.

Obama pernah menegaskan dukungannya pada prinsip ”dua negara (Israel-Palestina) yang hidup berdampingan dengan damai”. Obama pun berjanji memilih jalur diplomasi, bukan konfrontasi. Penulis melihat, ada sinyalemen Obama mau memainkan perannya melibatkan Hamas, mengakui Israel, dan berkomitmen terhadap pengawasan cara-cara non-kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

Jika Obama konsisten memegang ucapannya seperti dalam pidato pelantikannya, "Kepada dunia muslim, kami mencari jalan ke depan baru berdasarkan kepentingan timbal-balik dan saling menghormati," maka secercah harapan mulai terlihat mengisi lembaran baru dunia Islam.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

06 Januari 2009

Ortoddok, Enak Ditonton dan Perlu

FEATURES

Semarang, 6 Januari 2009
Ortoddok, Enak Ditonton dan Perlu
Oleh Anindityo Wicaksono

TIBA-TIBA serombongan gelandangan berlarian memasuki ruangan. Wajah mereka riang. Sejurus kemudian, mereka semua bernyanyi menirukan lagu yang sedang diputar di radio yang dipanggul orang terdepan: "Ada nggak ada, yang penting kita gembira .... Sekarang miskin, siapa tahu besok kaya. Sekarang bokek, siapa tahu besok ... tokek ...."

Sekelumit adegan jenaka di atas adalah pembuka pementasan teater berjudul "Oge-Oge" (Opera Gembala, Opera Gelandangan) yang dibawakan Teater Ortoddok UNDIP Semarang, pada malam natal 2008, di Gereja Kristen Jawa Tengah, Tegal.

Pementasan yang berdasarkan naskah gubahan Agus Merdeka ini hendak mengingatkan penonton untuk selalu mensyukuri hidup. Penonton diajak untuk berkaca diri melalui kehidupan para gelandangan. Bagimana orang-orang "terbuang" itu tetap dapat bersukacita merayakan kehidupan dalam kondisi apapun.

Salah satu adegan yang paling baik menyampaikan pesan itu adalah ketika mereka melelang organ tubuh salah satu teman mereka. Hal itu bermula ketika sang pemimpin--gelandangan yang paling sok tahu--ingin membuktikan, bahwa pada konkretnya, mereka para gelandangan adalah orang-orang kaya.

"Siapa yang mau menawar 'ginjal' orang ini?" tanya sang pemimpin sambil menarik seorang teman di dekatnya.

Mendengar tawaran itu, dengan segera para gelandangan lain antusias menawar. Rp50 juta, Rp100 juta, Rp150 juta, dan ... akhirnya ditutup pada Rp200 juta.

"Nah, habis ginjal ... sekarang kita ganti dengan model 'ganti rugi'. Bagaimana kalau kedua matamu, saya ganti dengan rumah besar dan mewah di real estate?"

"Mau, mau, Kang! Ada kolam renangnya, lho!" bujuk gelandangan lain.

"Iya, mau, ada parabolanya, tuh ...!" timpal yang lainnya.

Si gelandangan yang dilelang terdiam. Berpatut diri. "Ah, ya saya tidak mau! Meskipun punya rumah besar dan mewah, tetapi kalau tidak punya mata ... ya, sama juga bohong! Saya tidak mau!"

Pekabaran Injil

Pementasan teater yang berdurasi 30 menit itu hendak membangunkan penonton dari fatamorgana kehidupan yang acapkali menjauhkan kita dari rasa bersyukur. Mereka hendak mengingatkan, betapa kita masih seringkali salah dalam memandang hidup dan kehidupan.

Kita terlampau sering mengeluh. Makanan buatan ibu kurang asin sedikit, mengeluh. Udara panas, mengeluh. Hujan deras tak henti-henti, mengeluh. Bahkan kalau kaki ini bisa kita tinggalkan, mungkin setelah capai berjalan jauh kita juga akan mengeluh dan meninggalkannya. Ah, manusia ....

Kita juga seringkali menganggap hidup sebagai sekadar urusan pemupukan aneka harta dan barang. Tujuannya, apalagi kalau bukan kepuasan dan prestise yang tak berujung. Segala cara dilakukan demi tujuan ini. Hidup yang begitu berharga ini kita sia-siakan demi harta benda duniawi yang tak akan dibawa ketika kita mati itu.

Kita lupa bahwa tubuh beserta seluruh organ di dalamnya yang kita punyai ini sendiri adalah salah satu harta yang tak ternilai. Kita lupa mensyukuri tubuh, yang dengan segala kekompleksan penciptaanya, adalah anugerah TUHAN yang tak terkira.

Tingkah polah para aktor dalam memerankan gelandangan memang jenaka. Dengan kostum compang-camping sekadarnya ala gelandangan, para mahasiswa itu sukses merepresentasikan kaum marjinal yang lugu, polos,. dan sok tahu--demi menutupi kebodohan mereka. Kisahnya ringan. Mudah dicerna.

Menurut Bayu (21), Ketua Ortoddok, naskah cerita memang sengaja dibuat ringan namun padat pesan. "Teater kami berkiblat pada Teater Gandrik Yogyakarta yang memang tak terlalu mengandalkan bahasa-bahasa gerak yang penuh simbol. Kelemahan bahasa gerak yang mulitafsir adalah masih susah dimengerti publik awam. Bagi kami, yang terpenting adalah pesan. Prinsip ini persis moto kami, yaitu 'enak ditonton dan perlu'," tukasnya yang malam itu juga menjadi aktor.

"Karena kami teater Kristiani yang memfokuskan diri pada pekabaran injil, sebagian besar ruang lingkup pementasan kami masih di lingkungan gereja atau komunitas Nasrani. Namun, tak jarang juga kami diundang pentas di berbagai tempat bertepatan momentum sosial-budaya, seperti Hari AIDS atau pagelaran budaya di kampus," terang Bayu.

Visi teater yang berdiri pada 16 Desember 1992 itu adalah menjadi lembaga pekabaran injil dengan media teater yang eksis. Nama "Ortoddok" sendiri adalah singkatan dari "Teaternya Orang-Orang yang Dididik dan Diberkati oleh Kristus".

Nakal dan Nyeleneh

Menurut Agus Merdeka (36), pendiri Ortoddok, teater ini berangkat dari keinginan para mahasiswa Kristen untuk membuat dobrakan bagi dunia drama gerejani yang selama ini terkesan monoton. Awal pertemuan para pendirinya terjadi di Perkantas, sebuah komunitas mahasiswa Kristen Semarang.

"Di banyak gereja, hingga kini drama-drama yang dipentaskan masih sebatas rutinitas setiap Natal dan Paskah. Penggambarannya pun standar. Kalau Natal, ya tentang Maria yang mencari tempat melahirkan. Paskah, ya sudah pasti seputar kisah penyaliban Yesus," tukas Agus yang kini menjadi sutradara-cum-penulis naskah lembaga pelayanan film Kristen Christopherus ini.

Atas dasar itulah, lanjutnya, mereka hendak membalikkan keadaan bahwa kisah rohani yang digelar di tempat ibadah tak selamanya harus kaku. Bisa diangkat dari kehidupan sehari-hari agar mengena penonton. "Kalau penonton saja sudah bosan, bagaiman pesannya bisa sampai?"

Teater Ortoddok sendiri hingga kini punya sembilan naskah unggulan yang dijadikan andalannya ketika berpentas di berbagai tempat. Naskah-naskah yang kesemuanya ditulis Agus Merdeka itu terdiri dari beragam kisah.

Di antaranya tentang pergulatan cinta sepasang muda-mudi, kehidupan bebas anak muda, pertengkaran rumah tangga, masa-masa kematian seorang raja, hingga kepongahan seorang pemuka daerah yang menyebabkan pertempuran antarkelompok.

Judul-judulnya pun dibuat nyeleneh agar menarik rasa penasaran. Tengok saja nama-nama ini: "Memomamimurtad", "Sedulur Mulur", "Kirab", "We Lha Dalah!", hingga "Lonceng Jatuh".

Ada benang merah yang dapat ditarik dari kesemua naskah-naskah mereka: keseimbangan antara pesan-pesan yang bernas, petilan dialog-dialog nakal, dan pergerakan teatrikal yang nyeleneh namun mudah dimengerti. Maka tak heran, dalam setiap pementasan mereka, gelak tawa selalu memenuhi arena pertunjukan.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...