25 November 2008

Momentum Pemacu Etos Kerja

KOLOM
Semarang, 23 November 2008
Momentum Pemacu Etos Kerja
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://farm4.static.flickr.com)

DI TENGAH
terpaan krisis ekonomi jilid dua, nasib buruh negeri semakin tergencet. Pemicunya, tak lain dari surat keputusan (SK) empat menteri per tanggal 22 Oktober 2008 tentang "Pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi global".

Sekilas, SKB yang berisikan total lima pasal ini terkesan menjanjikan, terutama di pasal 1 dan 2. Awalan SKB yang ditandatangani Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Perdagangan Maria Elka Pangestu ini hendak menunjukkan niat baik pemerintah menangkal serbuan krisis finansial global.

Lihat saja poin pembukanya: "Dalam menghadapi dampak krisis perekonomian global, pemerintah melakukan berbagai upaya agar ketenangan berusaha dan bekerja tidak terganggu." (Pasal 1 Alinea 1).

Lihat juga isi poin penjelasan pasal 1 tentang tugas menteri perindustrian ini: "Mendorong efisiensi proses produksi, optimalisasi kapasitas produksi dan daya saing produk industri," dan "menyusun kebijakan penggunaan produksi dalam negeri dan melaksanakan monitoring pelaksanaannya".

Poin penjabaran tugas dan kewenangan menteri perdagangan pun selintas menyiratkan kebijaksanaan pemerintah: "Upaya peningkatan pencegahan dan penangkalan penyelundupan barang-barang dari luar negeri", "memperkuat pasar dalam negeri dan promosi penggunaan produk dalam negeri," dan "mendorong ekspor hasil industri padat karya".

Poin-poin di atas seakan memang sengaja dibuat demi memperlihatkan keberpihakan pemerintah kepada ekonomi dalam negeri. Peningkatan efisiensi dan daya tahan perekonomian domestik yang ditekankan pemerintah dalam SKB ini merupakan langkah bijak yang patut kita apresiasi. Apalagi kini kita sedang was-was menghadapi serbuan krisis perekonomian global yang bermula dari Negeri Paman Sam.

Namun, jika kita teruskan membaca poin-poin selanjutnya, barulah tersingkap maksud sejati penerbitan SKB ini. Disebutkan, tugas menaktertrans adalah "melakukan konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum LKS tripartit nasional dan daerah..." dan "mendorong komunikasi bipartit yang efektif antarunsur pekerja.buruh dan pengusaha di perusahaan" (pasal 1 poin a).

Lihat juga isi pasal 1 pon b tentang tugas mendagri ini: "Upaya agar gubernur dan bupati/walikota, dalam menetapkan segala kebijakan ketenagakerjaan di wilayahnya, mendukung kelangsungan berusaha.."

Kesemua poin-poin di atas bertolak belakang dengan maksud awal penerbitan SKB, seperti yang diuraikan pembukaannya. Pasalnya, pemerintah terkesan cenderung lepas-tangan dalam penentuan upah minimum provinsi. Semuanya diserahkan begitu saja kepada konsolidasi pengusaha dan pekerja.

Poin b tentang tugas mendagri bahkan dengan gamblang menyebutkan: "gubernur diminta melihat kepentingan keberlangsungan usaha (para pengusaha) dalam menetapkan upah minimum". Di sini, sangat jelas pemerintah memandang sebelah mata peran buruh dalam dinamika rantai industri. Buruh dianggap sekadar faktor produksi yang tidak dimanusiakan. Sebaliknya, kepentingan pengusaha (baca: pemodal) dianggap menempati titik sentral dunia usaha.

Padahal, buruh adalah pribadi kompleks yang menentukan keberhasilan industri. Ilmu Sosiologi Industri pun mengajarkan demikian. Pemahaman faktor sosial atau interaksi sosial, seperti hubungan industri dengan manusia, adalah kunci meningkatkan produktitas.

Dalam bekerja, buruh pun amat dipengaruhi faktof-faktor pribadi, baik intrinsik maupun ektrinsik. Kinerja dan produktifitas pekerja amat bertalian dengan kondisi di luar dirinya. Pekerja bermotivasi tinggi pastilah pribadi yang telah mendapatkan keamanan kerja dan pemenuhan kebutuhan. Kondisi ini persis seperti penjabaran Abraham Maslow tentang Teori Kebutuhan.

Dengan menyerahi tanggung jawab kepada konsensus bipartit (pekerja dan pengusaha), polemik berkepanjangan, terutama di tingkat buruh yang berposisi tawar lebih rendah, menjadi keniscayaan. Kedua kutub ini adalah dua hal yang selalu berseberangan. Bagi perusahaan, efektifitas berarti menekan upah seminim mungkin. Sedangkan buruh berkata sebaliknya: "Kalau tidak sejahtera, bagaimana bisa rajin bekerja?"

SKB ini pun kontradiktif. Salah satu pasal menyebutkan, gubernur dan bupati/walikota harus mempertimbangkan kepentingan pengusaha dalam menentukan UMK. Namun, pasal 3 justru semakin membuat jengah pada buruh: "Gubernur, dalam menetapkan upah minimum, mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional".

Saat ini, angka pertumbuhan nasional per tahun sebesar 6 persen. Jika UMK 2009 dipatok tidak boleh melampaui itu, maka artinya, berapapun besaran kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditentukan Dewan Pengupahan tidak akan memengaruhi UMK 2009. Padahal, UU No 13.2003 tentang Ketenagakerjaan jelas mengatur bahwa UMK ditentukan Dewan Pengupahan.

Apalagi trauma krisis ekonomi jilid satu belum juga reda, kini kita sedang was-was menghadapi krisis jilid dua. Inflasi terus meroket. Harga-harga yang naik pasca-Lebaran pun tak menunjukkan sinyalemen bakal turun. Kenaikan BBM juga belum lama berselang. Penurunannya per 1 Desember 2008 pun hanya Rp500, benar-benar tak sebanding imbasnya pada lonjakan harga kebutuhan pokok.

Bibit Waluyo

Masyarakat Jateng boleh berbesar hati dipimpin seorang gubernur baru yang arif, Bibit Waluyo. Kamis (20/11), Bibit menandatangani surat keputusan (SK) yang mengesahkan kenaikan UMK 2009 sebesar rata-rata 12,9 persen dari UMK 2008 di semua kabupaten/kota. Angka ini melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6 persen.

Tak pelak, keluarnya SK ini yang disambut hangat kalangan buruh ini, membuktikan janji gubernur bahwa penentuan besaran UMK berdasarkan rekomendasi bupati/walikota. Keputusan ini hadir setelah Bibit mendengar masukan-masukan dari unsur gabungan stakeholder industri, yakni Serikat Pekerja, Apindo, Dewan Pengupahan, BPS, dan perguruan tinggi, malam sebelumnya (Rabu, 19/11).

Memang baru dua daerah yang usulan UMK-nya mencapai 100 persen, yakni Kota Semarang (Rp835 ribu) dan Surakarta (Rp723 ribu). Namun, gubernur ternyata tak ragu menujukkan keberpihakannya kepada kepentingan rakyat ketimbang berpatok pada SKB 4 menteri.

Bibit pun tidak bisa dicap sebagai pembangkang oleh pemerintah. Pasalnya, selain memerhatikan aspek normatif, yaitu sesuai pengajuan bupati/walikota, dia juga cerdik mempertimbangkan aspek hukum. SKB justru dinilainya cacat hukum karena melanggar UUD '45 dan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di era otonomi daerah, tingkat kesejahteraan suatu daerah berpulang kepada kebijaksanaan masing-masing kepala daerahnya. Kini tinggal bagaimana provinsi lain menyikapi SKB 4 menteri. Mereka diperhadapkan dua pilihan: memegang teguh poin per poin SKB yang berarti memihak pengusaha, atau berdiri bersama-sama buruh dan mengutamakan hajat hidup orang banyak?

Pasalnya, faktor eksternal hubungan-hubungan sosial dalam industri mencakup hubungan perusahaan/masyarakat/pekerja dengan pemerintah. Kepala daerah, yang kini diserahi tanggung jawab penuh berkenaan terbitnya SKB 4 menteri, bertugas menjadi regulator yang menentukan kelangsungan perekonomian daerah. Salah-salah, polemik berkepanjangan antara pekerja dengan perusahaan, jika dibiarkan berlarut-larut, dapat mengancam kesinambungan industri.

Begitupun dengan buruh. Jika mereka tak ingin selamanya masuk kategori faktor produksi, yang hanya dihargai keringatnya, para buruh harus mulai meningkatkan etos kerjanya. Hanya menuntut kelayakan upah, tanpa memerhatikan kontribusinya bagi budaya perusahaan, tidak dapat membalikkan stigma faktor produksi yang melekat pada mereka.

SKB memang tidak pas dengan kondisi rakyat saat ini. Ia pun cacat hukum di depan UUD '45 dan UU Ketenagakerjaan. Namun, baiklah mpmentum ini kita jadikan pemicu peningkatan kinerja dan etos kerja buruh. Maka jadikan seruan Ronald Reagan ini sebagai buah perenungan: "Jangan tanyakan apa yang sudah negara lakukan, namun tanyakan apa yang sudah kita lakukan bagi negara!"

0 komentar:

Posting Komentar