27 Maret 2009

Kutu Loncat

SKETSA

Semarang, 26 Maret 2009
Kutu Loncat
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber Gambar: http://www.richard-seaman.com)

PEMAHAMAN akan potensi diri ramai digadang-gadang penulis-penulis buku motivasi sebagai salah satu kunci kesuksesan. Dituliskan bahwa kita harus mengetahui kepribadian, minat, dan tingkat kemampuan diri sebelum melangkah memasuki gerbang kehidupan. Bagi mahasiswa, gerbang ini berujung pada realitas yang pelik: dunia kerja.

Pasalnya, dunia kerja adalah kompleksitas yang penuh dengan serba persoalan dan pergulatan. Setidaknya, dengan mengenali diri sendiri--bersamaan dengan pemahaman kemampuan diri--kita dapat memutuskan bidang apa yang menjadi panggilan kita untuk berkarya di kehidupan.

Ada dua contoh cerita teman semasa kuliah saya dulu, Tunggul Joko (25) dan Surrahman (26). Keduanya pintar secara akademis. Mereka meraih gelar sarjana tepat waktu, empat tahun. Hal ini karena ketika kuliah, mereka memfokuskan diri pada kegiatan perkuliahan, tanpa komitmen berarti pada kegiatan-kegiatan ekstra kampus.

Hal ini berarti tak ada waktu di luar perkuliahan mereka yang hilang. Berbeda dengan para aktivis organisasi yang di luar serba tugas dan tuntutan kuliah, masih disibukkan dengan beragam kegiatan pada organisasi yang mereka ikuti.

Joko, misalnya, saat di kampus dia memang pernah turut aktif dalam teater fakultas bersama saya. Namun, entah kenapa, baru sekitar empat bulan bergabung, tiba-tiba dia menghilang. Dia tak pernah lagi terlihat datang pada latihan-latihan selanjutnya.

Suatu ketika saya tanyakan perihal kepergiannya itu. Dengan enteng dijawabnya, "Ah, tidak ada apa-apa. Saya cuma bosan, Dit! Kegiatannya begitu-begitu saja."

Praktis sejak itu, semester tiga, tak ada satupun kegiatan ekstra kampus yang dia ikuti. Dia sempat bekerja menjadi reporter di Koran Sore Wawasan, Semarang. Namun itupun tak lama. Sekitar tiga bulan bekerja, dia keluar dengan alasan tak mampu mengatur waktu. Sejak itu, kerjanya ya cuma bangun-kuliah-pulang-tidur.

Ketika masuk dunia kerja, mulai terdengar betapa seringnya dia berganti-ganti pekerjaan. Setelah lulus, pemuda asal Cilacap yang selama dua semester pernah menimba ilmu di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, ini memulai karirnya dengan menjadi reporter di Harian Suara Pembaruan, Jakarta.

Namun baru dua bulan bekerja, dia keluar. Alasannya? Lagi-lagi bosan. "Setiap hari ada kebaktian untuk para pegawai beragama Nasrani," terangnya, entah serius apa tidak.

Setelah itu dia diterima bekerja di Harian Kontan, Jakarta. Gaji awalnya pun cukup besar untuk seorang bujangan, Rp2,5 juta. Namun baru-baru ini saya dikabari bahwa per Januari 2009 mendatang lagi-lagi dia mengundurkan diri. Alasannya? Ah, sudah tertebak, lagi-lagi bosan. Tak betah? Diiyakannya.

Gorontalo

Teman saya yang kedua, Surrahman, tak jauh berbeda. Rahman, begitu dia biasa dipanggil, langsung hijrah mengadu nasib ke Jakarta begitu lulus. Temanku yang lulus dengan predikat cumlaude ini istimewa. Dia mahasiswa paling kritis di angkatanku.

Selain aktif di lembaga mahasiswa dan acara-acara debat mahasiswa, putra Magelang ini pun giat menulis. Di tingkat akhirnya, dia menjadi salah satu wakil FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, untuk turut dalam kegiatan studi banding mahasiswa Indonesia ke Filipina selama satu bulan.

Dia inilah pemacu, atau kalau tak berlebihan kusebut guruku, dalam menulis. Ini yang paling penting. Jauh sebelum aku mulai gemar menulis dan mengirimkan tulisan-tulisan opiniku pada kolom mahasiswa surat-surat kabar, sudah berulang kali tulisannya dimuat.

Pembahasan dan bahasanya jernih. Kawan ini pulalah yang mengenalkanku pada karya-karya penulis sosialis Indonesia macam Pramoedya Ananta Toer.

Di Jakarta, karir awalnya bermula di Indomobil Finance untuk posisi Management Trainee. Gajinya di atas Rp2 juta. Namun, baru bekerja satu bulan, dia keluar karena diterima di perusahaan manufaktur anak usaha Astra Group. Alasannya ketika itu adalah ingin menambah pengalaman dan mencari suasana kerja yang lebih "bersahabat".

Kelanjutannya mungkin sudah Anda tebak, satu bulan bekerja di perusahaan yang bertempat di Cikarang itu dia menerima panggilan dari PT HM Sampoerna. Alasannya, tak betah. Dia gerah dengan atmosfir kerja di Astra Group yang terlalu kapitalis, istilah dia untuk menggambarkan etos kerja yang superketat.

PT HM Sampoerna ini menempatkannya di Gorontalo untuk posisi pemasaran. Pasar yang masih labil di sana mengharuskan kawanku ini membuka pasar, merebut kue persaingan yang sebelumnya diisi perusahaan-perusahaan rokok lokal.

Saat kutanyakan mengapa dia menerima pekerjaan ini walaupun mengharuskannya pindah di pulau berbentuk huruf "K" ini, "Mumpung masih muda, aku ingin merasakan bekerja di ladang orang, di pulau Sulawesi yang masih asing bagiku."

Awalnya kami, teman-teman seperjuangan kuliahnya, salut dengan kegigihannya merintis kehidupan sampai-sampai nekat merantau ke pulau jauh. Siapa pula yang berani menolak pinangan perusahaan sekelas Sampoerna, perusahaan rokok nomor wahid yang identik dengan tingkat kesejahteraan pegawai yang tinggi.

Memasuki masa kerja satu bulan, Rahman mulai mengeluhkan pekerjaannya. Posisinya sebagai pemasar yang bertugas memasok produk hingga ke pedagang-pedagang kecil mulai mendapat tantangan. Ada kesalahan dalam manajemennya yang membuat harga yang ditawarkan orang-orang baru seperti Rahman menjadi tak kompetitif. Warung dan pedagang-pedagang kecil lebih memilih agen besar yang berani mematok harga jauh lebih murah.

Seperti umumnya divisi pemasaran, ada target pencapaian yang dibebankan pada tenaga pemasarnya. Perbedaan harga dengan agen besar membuat target per hari Rahman tak pernah tercapai. Dia bahkan bercerita kalau dia mau tak mau harus rela merogoh koceknya sendiri sebesar Rp15 ribu setiap hari untuk menutupi target.

Lebih runyamnya, meski Rahman sudah berulang kali menceritakan kondisi ini, supervisor lapangan seakan masa bodoh. Dia tak pernah mau memahami permasalahan para anak buahnya. Yang utama baginya, target penjualan per hari harus selalu tercapai.

"Kerjanya duduk-duduk saja di kantor ber-AC, tak pernah mau melihat langsung kondisi pasar," gerutu Rahman.

Kondisi ini menjadi dilema baginya. Ingin berganti pekerjaan, tak ada satupun saudara ia miliki di sana. Tapi kalau tidak, bisa-bisa mati muda karena terus menanggung beban moral yang berat.

Sekarang, setelah bekerja belum genap dua bulan di sana, dia memutuskan keluar dan kembali mengadu nasib ke Jakarta. "Lah kalau harus 'tombok" terus Rp15 ribu setiap hari, apa yang kudapat untuk diriku sendiri," ujarnya kesal.

Kutu loncat

Kisah Joko dan Rahman ini menyadarkanku. Dunia kerja memang dunia yang begitu kompleks. Belum terbayangkan sebelumnya, kemampuan dan kepandaian yang menjadi mahkota kesombongan para mahasiswa saat di kampus ternyata menjadi nomor sekian di dunia kerja. Sarjana lulus tepat waktu dengan IPK cumlaude sekalipun, nyatanya masih harus berjibaku dalam kompleksitas dunia kerja yang kejam.

Yang masih susah ditemukan pada lulusan-lulusan sarjana masa kini adalah kegigihan, kata lain keuletan dan ketekunan, atau mentalitas tak kenal menyerah. Banyak lulusan sarjana jaman sekarang yang alpa pada hal ini. Mereka terlalu pongah dengan predikat nilainya, syukur-syukur didapatnya dengan cara yang jujur.

Padahal, bukan orang yang sekadar pintar yang dibutuhkan negeri yang sedang sakit ini. Jumlah orang pintar di republik amburadul ini sudah banyak. Mengutip syair salah satu lagu Iwan Fals, "tak beda dengan roti". Jumlah perguruan tinggi beserta lulusannya terus membludak seiring kenaikan jumlah orang pintar.

Apalagi tak sedikit universitas, baik negeri ataupun swasta sekalipun, yang masih perlu dibenahi kualitasnya di sana-sini. Kualitas pengajar maupun output yang dihasilkannya masih perlu dipertanyakan.

Lihat saja bagaimana universitas-universitas "kacangan" yang mem-branding dirinya layaknya produk sabun mandi makin tumbuh subur. Anda tentu tak asing dengan spanduk-spanduk universitas yang berbunyi: "Lulus 3 tahun", "Satu mahasiswa satu laptop". Sasaran mereka adalah orang-orang yang mendambakan gelar sarjana demi sekadar status dan pengakuan masyarakat. Yang penting punya gelar di belakang nama; isi nol besar.

Yang paling dibutuhkan masyarakat sekarang adalah orang-orang yang mau berkomitmen tinggi pada bidangnya masing-masing. Yang mau membangun dan mencerahkan secara kontinyu, seberat apapun risikonya. Bukan tipe mental tempe dan kutu loncat yang sedikit-sedikit mengeluh, mengaku tak betah, lalu seenaknya keluar dari pekerjaan untuk memimpikan dunia yang lebih santai.

Kutu loncat adalah sejenis hewan kecil yang oportunis, mendekati apapun yang dapat memberinya keuntungan paling besar. Hidupnya di kepala manusia. Ketika kepala yang ia diami itu tak lagi menguntungkan, atau sudah habis dihisap, loncatlah ia pada kepala lain yang lebih menjanjikan. Masa bodoh ia dengan kerusakan yang sudah ia sebabkan pada sumber penghidupannya yang lama.

Sebagai teman, aku ingin mengutipkan kata-kata Thomas Alva Edisson: "Kesuksesan hanya 1 persen kejeniusan, sisanya, 99 persen, kerja keras." Dalam bahasa Thukul, sang master di bidang ketekunan itu, "Buah kristalisasi keringat tanpa henti." (*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

22 Maret 2009

Sapi dan Kapitalisme Mutakhir

SKETSA
Semarang, 22 Maret 2009
Sapi dan Kapitalisme Mutakhir
(Sumber: itemic@gmail.com)

PEMBAHASAN mengenai sistem perekonomian terbaik di suatu negara memang tak habis-habisnya. Aneka kepentingan selalu saja menemukan titik pergulatannya di sini. Antara mementingkan rakyat, mendewakan kesetaraan, atau menganggap penguasa adalah sosok tunggal penentu kesejahteraan rakyatnya.

Berikut ini anekdot yang saya kutip dari sebuah posting di milis. Dengan jenaka tergambarkan perbedaan tipis di antara masing-masing sistem perekonomian mutakhir yang dianut di banyak negara. Untuk memudahkan pemahaman, ilustrasinya menggunakan hak kepemilikan atas sapi. Lho, lho ... kok sapi? Simak saja.

SOSIALISME
kau punya 2 sapi
1 sapi kau berikan untuk tetanggamu

KOMUNISME
kau punya 2 sapi
negara mengambil alih keduanya dan memberimu 2 kaleng susu

FASISME
kau punya 2 sapi
negara mengambil alih keduanya dan menjual susu padamu

NAZISME
kau punya 2 sapi
negara mengambil keduanya dan menembakmu

KAPITALISME TRADISIONAL
kau punya 2 sapi betina
kau jual satu dan beli satu sapi jantan
ternakmu bertambah, dan ekonomi tumbuh

MODEL THE ANDERSEN
kau punya 2 sapi
kau cincang-cincang dua-duanya

SISTEM EKONOMI AMERIKA
kau punya 2 sapi
kau jual satu, dan satunya kau paksa untuk memproduksi susu sebanyak 4 sapi. kemudian, kau menyewa konsultan untuk menganalisa mengapa sapinya mati

SISTEM EKONOMI PERANCIS
kau punya 2 sapi
kau turun ke jalan, menyusun massa, memblokade jalanan, karena kau
ingin punya 3 sapi

SISTEM EKONOMI JEPANG
kau punya 2 sapi
kau medesainnya ulang hingga bisa menghasilkan 20 kali lipat susu
kemudian kau buat profil kartun sapi pintar "Cowkemon" dan menjualnya ke seluruh dunia

SISTEM EKONOMI JERMAN
kau punya 2 sapi
kau merekayasanya supaya bisa hidup lebih dari 100 tahun,
makan cukup sebulan sekali
dan mereka bisa saling memerah susu sendiri

SISTEM EKONOMI ITALIA
kau punya 2 sapi, tapi kau tak tahu dimana mereka
kau putuskan untuk makan siang saja

SISTEM EKONOMI RUSIA
kau punya 2 sapi
kau menghitungnya dan berandai bagaimana kalau punya 5 sapi
kau menghitungnya lagi dan berandai bagaimana kalau punya 42 sapi
kau menghitungnya lagi dan menemukan bahwa sapimu cuma dua
kau berhenti mengitung, lalu buka sebotol vodka

SISTEM EKONOMI SWIS
kau ada 5000 sapi. tak satupun adalah milikmu
kau mengenakan biaya adaministratif kepada pemiliknya untuk menyimpannya

SISTEM EKONOMI CINA
kau punya 2 sapi
kau punya 300 orang untuk memerah susunya
kau nyatakan bahwa tak ada pengangguran, dan nilai produksi susu tinggi
kau menangkap wartawan yang melaporkan kenyataanya

SISTEM EKONOMI INDIAN
kau punya 2 sapi
kau sembah mereka

SISTEM EKONOMI INGGRIS
kau punya 2 sapi
dua-duanya sapi gila

SISTEM EKONOMI IRAK
semua orang berpikir kau punya banyak sapi
kau bilang ke mereka kau cuma punya satu
tak ada yang percaya, maka mereka mengebom daerahmu dan menginvasi negaramu
kau masih tak punya sapi satupun, tapi setidaknya sekarang kau bagian dari demokrasi

SISTEM EKONOMI NEW ZEALAND
kau punya 2 sapi
sapi yang di kiri kelihatan sangat atraktif

SISTEM EKONOMI AUSTRALIA
kau punya 2 sapi
bisnis kelihatannya sedang bagus
kau tutup kantor dan pergi mencari bir untuk merayakannya

SISTEM EKONOMI INDONESIA
kau punya 2 sapi
dua-duanya curian
lalu kau jual dua-duanya
kemudian kau simpan uangnya di acount nonbudgeter yang tak jelas
kemudian kau gunakan beberapa untuk mendanai kampanye partaimu
tapi sebagaian besar kau simpan untuk anak cucumu

SISTEM EKONOMI MALAYSIA
kau punya 2 sapi
dua-duanya kau curi dari indonesia

(*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Mantan Dosen yang Bersahaja Itu

SKETSA

Semarang, 22 Maret 2009
Mantan Dosen yang Bersahaja Itu
(Sumber: iwansams@gmail.com)
MAHMOUD Ahmadinejad, dalam sebuah sesi wawancara di TV Fox (AS) ditanyakan perihal kehidupan pribadinya: "Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?"

"Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya: 'Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran,'" ujar mantan dosen Tehran University of Science and Technology itu.

Berikut adalah gambaran kebersahajaan Ahmadinejad, seorang Presiden Iran, yang membuat banyak orang ternganga tak percaya:

1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan, dia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada masjid-masjid di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.

2. Ketika mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan dua kursi kayu. Alasannya, meski sederhana tetap dapat terlihat impresif.

3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.

4. Di bawah kepemimpinannya, saat meminta para menterinya untuk datang kepadanya, ia memberikan mereka masing-masing sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan-arahan darinya. Arahan tersebut terutama sekali menekankan para menterinya untuk tetap hidup sederhana. Disebutkan juga, rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi. Sehingga pada saat menteri-menteri berakhir masa jabatannya, mereka dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.

5. Langkah pertama ketika menjabat presiden adalah mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977 dan sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Selain itu, rekening banknya bersaldo minimum, dan satu-satunya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.

6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.

7. Sebagai tambahan informasi, Ahmadinejad masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinya sebagai seorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan. Dia bahkan tidak mengambil gajinya, dengan alasan bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.

8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan: roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya. Ia selalu memakannya dengan gembira. Ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.

9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan pesawat terbang kepresidenan. Dia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya. Dia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.

10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri-menterinya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang telah dilakukan. Ia juga memotong protokoler istana sehingga menteri-menterinya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan. Ia juga menghentikan kebiasaan upacara seremonial seperti karpet merah, sesi foto atau publikasi pribadi, dan hal-hal lain semacam itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.

11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yang tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut. Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden? Tidak sama sekali.

Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari para pengawalnya yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Menurut koran Wifaq, foto-foto yang diambil adiknya tersebut, kemudian dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk Amerika.

12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka bila datang terlambat. Dia juga terbiasa antri makan dengan tertib bila hadir di sebuah pesta pernikahan.

13. Ketika suara azan berkumandang, ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa.

14. Ia juga tidak mau bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya. Dia cukup menundukkan kepala dalam-dalam sebagai tanda rasa hormatnya seraya menjaga pandangannya.

Akankah nanti dari pemilu republik ini yang kabarnya diundur itu dapat hadir sesosok presiden amat bersahaja seperti itu? Bisa jadi. Tapi, ah, entah kapan....

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...