16 November 2008

Teroris Bukanlah Patriot

KOLOM
Semarang, 16 November 2008
Teroris Bukanlah Patriot
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://narakushutdown.files.wordpress.com)

KITA baru saja menorehkan lembaran baru dalam peta sejarah kontemporer Indonesia. Babak panjang bom Bali I yang merenggut korban 202 jiwa tak bersalah dan lebih 200 lainnya luka-luka, berakhir sudah. Minggu, 9 November 2008 dini hari, trio pembom Bali I: Amrozi, Muklas, dan Imam Samudera; akhirnya dibedil mati.

Proses menjelang eksekusi ini memang penuh dinamika. Lihat saja, sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung RI, Jasman Pandjaitan, pernah menentukan 24 Oktober 2008 sebagai tanggal eksekusi. Namun, apa yang terjadi? Hukuman ternyata baru dilangsungkan 9 November 2008, mundur dua minggu lebih dari rencana.

Namun, strategi penundaan ini tak dinyana menguakkan fenomena yang hilang dari permukaan. Ternyata, dugaan yang selama ini terpelihara, benar: banyak orang bersimpatik pada trio bomber.

Mendekati hari eksekusi, bom waktu para kaum militan akhirnya meledak juga. Berbagai elemen ramai bermunculan menggelar aksi-aksi sporadis. Mereka menggalang kekuatan sebisanya demi menggagalkan eksekusi. Suara mereka sama: mengutuk, mengkafir-kafirkan, bahkan tak segan menzalim-zalimkan penguasa jika berani menembak mati Amrozi cs.

Di seputaran pelaksanaan eksekusi pun luas berhembus aneka teror. Mulai
dari ancaman akan adanya aksi balas dendam, teror bom di pusat perbelanjaan dan instansi asing, hingga yang terdahsyat: seruan pembunuhan Presiden SBY beserta pejabat terlibat yang disiarkan di situs internet.

Hemat penulis, ragam reaksi yang muncul menjelang pelaksanaan hukum tembak ini memang sudah dinanti-nantikan pemerintah. Ada sinyalemen, penundaan adalah skenario untuk memancing keluar jejaring radikal pro-Amrozi cs muncul di permukaan. Dengan begitu, benang kusut kordinasi teroris di Indonesia diharapkan dapat terurai.

Citra Islam

Kita semua sepakat, terorisme, apapun bentuk dan alasannya, tak patut dibenarkan. Pasalnya, ia hanya selalu akan merenggut korban orang-orang tak bersalah. Nyawa manusia dengan seenaknya mereka jadikan simbol perlawanan.

Pada bom Bali I, misalnya, semua korban tewas dan luka-luka sebenarnya bukanlah target utama. Imam Samudra, dalam bukunya, Aku Melawan Teroris (2004), mengakui bahwa target utama pemboman 12 Oktober 2002 ini adalah Amerika dan sekutunya.

Para korban, yang justru mayoritas berkewarganegaraan Australia, sekadar dijadikan sinyal bagi "musuh" supaya tidak lagi seenaknya menjajah umat Islam. Nyawa manusia dengan seenaknya mereka jadikan simbol perlawanan.

Tragedi ini mencoreng wajah Islam Indonesia. Seiring terkuaknya aneka jejaring islam radikal di Nusantara, citra Islam yang seharusnya lekat dengan toleransi, moderat, dan pluralisme, kini berubah menakutkan. Apalagi, pascabom Bali I, menyusul serangkaian aksi, seperti pengeboman JW Marriott (2003), Kedubes Australia (2004), dan bom Bali II (2005).
Motif Baru

Meski eksekusi telah berlangsung, bukan berarti perjuangan memerangi terorisme usai sudah. Aparat kini justru semakin dituntut untuk bekerja ekstra.

Berdasarkan penyelidikan kepolisian terkait pengrebekan di Kelapa Gading, kini muncul motif baru pergerakan kaum radikal. Memusuhi negara AS dan Barat, adalah cerita lama. Kini "musuh" mereka adalah pihak-pihak yang tidak sepaham/sejalan dengan kelompoknya.

Amrozi Baru

Penggagalan skenario pemboman Depo Pertamina Plumpang baru-baru ini pun semakin menguatkan sinyalemen itu. Oleh pelakunya, yang belakangan diketahui jaringan pelarian Poso, pemerintah dianggap sebagai penyebab utama terjadinya lonjakan harga BBM. Peledakan depo BBM mereka anggap simbol perjuangan.

Kalau dugaan tersebut benar, bersiap-siaplah kita menghadapi motif baru aksi terorisme. Ia tidak lagi didasari perjuangan iman seperti angkatan bom Bali I hingga II. Tetapi, mulai bergeser kepada isu kerakyatan.

"Amrozi-Amrozi" baru yang nantinya bermunculan, akan datang dengan mengatasnamakan suara rakyat. Padahal, cara begini justru merugikan masyarakat luas. Dengan pongah mereka akan merusak, kalau perlu meluluhlantahkan, fasilitas-fasilitas publik yang dianggap merepresentasikan perjuangan kerakyatan mereka.

Pemerintah harus awas menyikapi modus terorisme baru ini. Kaum militan macam begini tak takut mengancam mati seorang presiden, yang secara de-jure dan de-facto adalah simbol kekuasaan negara. Dengan ancaman ini, mereka secara tak sadar telah memroklamirkan diri sebagai musuh pemerintah dan masyarakat.

Agaknya, mereka sudah merasa pantas menantang aparat keamanan negara. Lihat saja bagaimana teror bom palsu bagitu kerap menyasar hotel ataupun pusat perbelanjaan. Dengan enteng, mereka menjadikan bom bahan mainan dan olokan kepada aparat.

Kita sebagai warga masyarakat pun hendaknya selalu tanggap lingkungan terhadap orang-orang asing yang mencurigakan. Segeralah melapor pada aparat keamanan, ketika menemukan gelagat mencurigakan. Jangan sampai kasus penangkapan Dr. Azhari di Batu, Malang -- di mana tetangganya sendiri tak tahu jika ada pelarian kelas kakap di lingkungannya--, kembali terulang.

Ingat, terorisme selamanya masuk ketegori kejahatan. Nonsens jika ia mengaku berasaskan wahyu agama, kerakyatan, apalagi patriotisme!

(Dimuat di Koran Sore Wawasan, 18 November 2008)

0 komentar:

Posting Komentar