25 November 2008

Menantikan Sang Filsuf-Raja

KOLOM
Semarang, 24 November 2008
Menantikan Sang Filsuf-Raja
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.swaberita.com)

BAPAK filsuf Plato (428-348 SM) jauh-jauh hari mengingatkan kita bahwa demokrasi merupakan kekuasaan yang menunjukkan kemerosotan jiwa. Begitu bencinya kepada demokrasi, sampai-sampai ia menganggapnya sebagai sistem terburuk dari semua pemerintahan yang berasaskan hukum.

Seperti dijabarkan Mark Moss dalam "A Critical Account of Plato's Critique of Democracy", ada tiga alasan mengapa Plato mengecam demokrasi. Pertama, demokrasi mengarah kepada "aturan gerombolan". Dengan kekuasaannya, ia menjadi kaki tangan "pencari kenikmatan" yang bertujuan mengeruk kepuasan dari hasrat sesaat.

Kedua, demokrasi mengarah kepada aturan yang dikendalikan kaum pandir berketerampilan retorika, namun tidak berpengetahuan benar. Ketiga, ia mengarah kepada ketidaksepakatan dan pertikaian yang secara intrinsik buruk dan harus dihindarkan.

Bahkan, demokrasi, kata Plato, lebih dekat dan cenderung menuju tirani. Aristoteles, yang kerap berseberangan dengan Plato dalam wacana politik dan kemasyarakatan, pun nyaris sejalan tatkala menyinggung sistem pemerintahan ini. Murid Plato ini melihat demokrasi sebagai bentuk kemunduran dari politeia. Nilai maksimumnya hanya setingkat di atas tirani dan oligarki.

Tampaknya pemikiran kedua filsuf masyhur ini mulai mewujud pada ketatanegaraan Indonesia. Lantaran trauma terhadap militer, semangat yang dibawa reformasi membuat kita berharap banyak kepada demokrasi. Para pemimpin berbaju sipil kita jadikan ujung tombak perbaikan nasib bangsa. Namun, apa realitasnya? Gaung demokrasi yang dibawa reformasi nyatanya belum dapat berbicara banyak. Rakyat pun semakin mati rasa kepada aneka slogan demokrasi.

Ironisnya, demokrasi jugalah yang kini menghantarkan kita pada cengkeraman kaum pedagang. Kepemimpinan elit sipil yang populis ternyata kian manyerupai serigala berbulu domba. Mereka masih saja mudah disetir dan didominasi kalangan pengusaha: sibuk menjuali aset negara dan berkompromi dengan kapitalis.

Idealnya, pengusaha merupakan kelas menengah dan bagian dari civil society. Seperti di Thailand, kelas menengah semestinya otonom. Mereka punya bargaining power terhadap pemerintah. Parahnya, di Indonesia, para pengusaha merangkap pejabat. Mereka memiliki privilese dan dibenarkan berdwi-fungsi kepemimpinan: pemerintah-cum-pedagang.

Poling

Menjelang perhelatan Pemilu 2009, dinamika percaturan laga pilpres semakin marak dengan kedatangan seorang raja: Gubernur-cum-Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Sultan sendiri, dalam berbagai kesempatan pernah menyatakan keberatannya maju dalam pentas Pilpres. Bagi beliau, seperti titah Sultan HB IX, kekuasaan tidak untuk diperebutkan, tapi untuk melayani rakyat.

Namun kini, tiba-tiba dengan lugas ia membalik pernyataannya. Dalam Pisowanan Agung (pertemuan akbar raja-raja se-Nusantara) di Alun-alun Utara Yogyakarta, dengan terang-terangan dia mengumumkan kesanggupannya bekiprah dalam aras nasional: maju dalam Pilpres 2009. Penegasan sikap politiknya ini niscaya memberi warna tersendiri dalam pentas perpolitikan nasional.

Majunya Sultan ini memang sudah lama dinanti-nantikan masyarakat. Lihat saja hasil survei terakhir Lembaga Survei Nasional (LSN). Menurut poling di 33 provinsi itu, Sri Sultan menduduki peringkat ketiga figur capres dan cawapres yang diinginkan masyarakat. Meski masih di bawah SBY dan Megawati, putera Sri Sultan HB IX ini mengungguli Wiranto, Prabowo, dan Hidayat Nur Wahid (Majalah Tokoh Indonesia edisi 39).

Memang, sejatinya struktural pemerintahan Sultan hanya menjabat gubernur. Namun, suka tak suka, ketokohannya jauh melampaui kewenangannya sebagai sekadar pemimpin DIY. Ia juga seorang raja kerajaan yang berakar dengan trah Mataram-Jawa yang selama beberapa abad mengusasai tanah Jawa, khususnya DIY, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur.

Di sisi lain, kiprah Sultan HB X pada masa kekisruhan politik 1998 pun tak bisa dipandang enteng. Pamor Sultan mulai meroket sejak Sultan mendukung reformasi dalam suatu acara besar-besaran di Alun-alun Utara Yogyakarta pada penghujung kekuasaan Soeharto,

Bersama sejumlah dedengkot reformasi, seperti Amien Rais, Megawati dan Gus Dur, Sultan pun ikut andil dalam "Kelompok Ciganjur". Mereka menjadi kelompok penekan yang paling efektif memaksa sisa-sisa elit Orba melaksanakan agenda-agenda reformasi jangka pendek: pemilu multipartai dan kebebasan politik.

Filsuf-Raja

Pengikraran Sultan ini kembali mengingatkan saya kepada Plato. Dalam buku The Republic, dia menyatakan, jika hendak makmur, idealnya negara dikendalikan filsuf-raja. Plato menggambarkannya sosok ini sebagai pencinta kebijaksanaan yang mengetahui hakikat kebenaran dan keadilan. Perpaduan keduanya niscaya akan menukangi bobrok demokrasi.

Kritik Plato atas demokrasi memang sekilas menjanjikan dan sejalan dengan kondisi bangsa. Tetapi, seperti apakah manifestasi figur filsuf-raja yang dimaksudkan Plato? Apakah raja yang dimaksudkannya bermakna harafiah? Kita belum tahu dan Plato pun tak gamblang menguraikan.

Perjalanan bangsa menuju sejahtera pun tidak semata-mata berdasarkan niat baik dan citra diri positif. Pasalnya, sukses-tidaknya seorang capres di Indonesia ditentukan sedikitnya tiga aspek: popularitas, aksesibilitas (kemampuan mengakses), dan elektabilitas (kemampuan dipilih).

Berdasarkan hasil poling, kita tidak meragukan popularitas Sultan. Namun, dalam aksesbiltas dan elektabilitas, kader Partai Golkar ini masih perlu banyak bermanuver.

Meski dukungan masyarakat meningkat pesat, baik sebagai capres maupun cawapres, ia masih terganjal onak duri: belum jelas partai mana yang resmi mengusungnya sampai saat ini. Sultan bahkan masih ngotot berkutat pada ihwal pencalonan capres nonpartai.

Meski begitu, lepas dari persoalan itu dan entah bagaimana kelanjutannya, baiklah kita berharap. Bolehlah kita anggap ihwal pencalonan Sultan ini sebagai pertanda untuk keluar dari labirin demokrasi bangsa.

1 komentar:

  1. yup. pemilu makin deket. makin banyak yang deg-degan. semoga demokrasi di indonesia makin maju dan bukan makin berosot.

    buat Sultan, apapun keputusan beliau saya yakin sudah dipertimbangkan dengan sangat teliti.

    BalasHapus