21 Februari 2009

Tak Lagi Bernyali

KOLOM
Semarang, 21 Februari 2009
Tak Lagi Bernyali
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://qizinklaziva.files.wordpress.com)

PEMILU 2009 yang sedianya berlangsung pada 9 April tinggal hitungan hari. Kancah demokrasi kini memasuki jadwal kampanye yang menurut peraturan KPU No. 20/2008, antara 2 Januari-5 April 2009. Tak heran, sejumlah elite politik di seantero negeri pun sibuk ”menjual diri” demi meraup dukungan suara.

Ruang publik kini memang tak ubahnya parade atau lebih tepatnya perang kampanye. Jalanan, halte, hingga pojok-pojok pasar tak ada yang luput dari foto-foto diri dan janji-janji manis caleg. Belum lagi partai, yang dengan bendera ukuran jumbonya atau daftar prestasinya dipampang besar-besar di tiap perempatan jalan.

Menurut peraturan KPU No.19/2008, kampanye adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu termasuk mengajak memilih seseorang atau partai tertentu.

Sama seperti fungsi promosi dalam usaha, kampanye bertujuan mengenalkan kandidat atau partai tertentu kepada calon pemilih. Secara umum, ada tiga jenis kampanye berdasarkan dampak dan caranya, yakni kampanye positif (positive campaign), kampanye negatif (negative campaign), dan kampanye hitam (black campaign).

Sendi kehidupan demokrasi Indonesia, yang menemukan momentumnya sejak era reformasi bergulir, kini cedera sejak kampanye negatif susul-menyusul selama masa kampanye. Kampanye negatif di sini adalah bentuk kampanye yang semata-mata menonjolkan dirinya; dan sebaliknya, mengungkapkan kelemahan lawan dengan tujuan meyakinkan masyarakat bahwa dirinya lebih baik dibanding kandidat lain.

Manipulasi

Demokrasi memang selalu berproses dalam diskursus antara pemupukan ambisi diri/golongan dengan niat tulus memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, diskursus demokrasi tidaklah selalu identik dengan adu mulut penuh kekosongan.

Menurut Jurgen Habermas (dalam Franz Magnis-Suseno, 2000), diskursus yang berlangsung harus tetap memuat empat klaim: kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Jika salah satu klaim tak terpenuhi, yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi manipulasi.

Ya, manipulasi! Itulah yang terjadi ketika banyak partai meradang, memilih kampanye negatif dengan saling umbar keborokan dan mengolok-olok partai lain. Lihat saja iklan saling tuding antara SBY dengan Megawati yang kian heboh di media massa. Atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang hemat penulis tak kalah liciknya: memanfaatkan perang urat syaraf antarpartai dengan duduk di pinggir, lalu tiba-tiba memosisikan diri sebagai penengah yang memang ”memilih diam”.

Ironis, dua partai incumbent, Demokrat dan Golkar, kian memperkeruh suasana, mengaburkan batas antara keberhasilan parsial partai dengan negara. Memanfaatkan aji mumpung menyandang status-quo, mereka mengklaim keberhasilan bangsa semata-mata buah perjuangan kepartaian, alih-alih buah perjuangan kolektif pemerintahan. Belum lagi kampanye berkedok kegiatan sosial-keagamaan yang merambahi ruang privat publik: pengajian, rapat RT, hingga pemberian paket bantuan korban bencana.

Hemat penulis, pelanggaran-pelanggaran demikian harus ditindak tegas. Jika tidak, tak salah jika oleh publik demokrasi disetarakan pertikaian tanpa ujung. Integritas moral, meminjam istilah Matthew Collins (2003), akan lenyap jika keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengutamakan kepentingan rakyat, disepelekan.

Mekanisme kampanye harus kembali pada fungsinya semula, yakni meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Lebih dari itu berarti melanggar integritas moral; kata lain pengkhianatan demokrasi.

Kampanye positif

Kampanye positif dengan mengemukakan potensi dan kekurangan diri sekaligus, serta memuji pesaingnya, harus terus dikawal. Atmosfir demokrasi yang mengakui perbedaan harus dijunjung tinggi. Kiranya ada beberapa bentuk yang dapat ditempuh sebagai perwujudan kampanye positif.

Pertama, forum diskusi: membuka pintu dialog antara masyarakat dengan kandidat tentang permasalahan yang dihadapi suatu daerah. Bahkan jika caleg punya nyali, bukalah ruang dialog di kampus-kampus. Besar kemungkinan darinya akan memunculkan solusi. Bahkan, tidak hanya sebatas janji, kontrak politik dengan masyarakat pun dapat menjadi hasil akhir kegiatan.

Kedua, kampanye dengan terjun langsung ke lapisan masyarakat, menyentuh permasalahan sosial yang faktual, dan melihat apa permasalahan yang harus segera ditangani alih-alih ringan bercuap-cuap tanpa bukti.

Cara-cara unik namun positif yang ditempuh sebagian caleg berikut ini dapat ditiru. Dalam majalah Tempo (edisi 2/2/2009), dikisahkan bagaimana seorang kandidat Dewan untuk daerah pemilihan Bandar Lampung dari Partai Amanat Nasional (PAN), Ahmad Mukhlis (42), sampai hati berkampanye dengan berjualan siomay dan es kelapa muda di salah satu sisi jalan utama kota.

Ada juga di Surabaya, seorang kandidat dari PKS, Mudakkir Udin (34), rela pasang aksi mengayuh sepeda ontel keliling kota. Di depan stang sepedanya, terpampang selembar poster 40x40 sentimeter bertuliskan: ”Harga Diri Bukan Materi”.

Pertanyaannya, adakah lagi yang rela berpegal-pegal ria mengekor kampanye ala Ahmad dan Mudakkir? Ataukah mereka, yang mengaku-ngaku calon wakil rakyat itu, memang tak lagi bernyali untuk berhadapan langsung dengan masyarakat?

(Dimuat di Koran Sore WAWASAN, 24 Februari 2009)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

19 Februari 2009

Ketika Wartawan Malas, Bias, dan Bodoh

FILM

Semarang, 19 Februari 2009
Ketika Wartawan Malas,
Bias, dan Bodoh

Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.thecinemasource.com)

Judul: Resurrecting the Champ
Genre: Drama
Sutradara: Rod Lurie
Naskah: Michael Bortman dan Allison Burnett
Pemain: Samuel L. Jackson, Josh Hartnett, Kathryn Morris, dan Alan Alda
Produksi: Yari Film Group
Tanggal Rilis: 24 August 2007 (USA), Region One DVD (April 2008)

KIAN pesatnya perkembangan media elektronik dan multimedia ditengarai mempercepat kematian surat kabar. Menurut Direktur Eksekutif Serikat Penerbit Surat Kabar, Asmono Wikan (Kompas, 2/12/2007), pada 2007, jumlah terbitan secara nasional stagnan pada angka 17 juta eksemplar. Sedangkan khusus surat kabar turun sekitar 1 juta eksemplar.

Kondisi ini tak pelak membuat para pengelola media terus menekan wartawan untuk menghadirkan tulisan-tulisan yang memikat sekaligus obyektif. Tujuannya apalagi kalau bukan mempertahankan oplah. Jurnalis yang lahir di era begini pun bagai dua sisi mata uang. Yang berhasil, "byline"-nya menjadi jaminan; namun yang tak kuat menanggung beban, jalan pintas dijadikan solusi.

Hal inilah yang dicoba diangkat film Resurrecting the Champ (2007) besutan sutradara Rod Lurie. Adalah Erik Kernan (Josh Hartnett), wartawan olah raga Denver Times, yang sedang kelimpungan gara-gara berkali-kali artikel-artikel liputannya untuk laga-laga tinju lokal dimentahkan editornya, Metz (Alan Alda).

Tulisan-tulisan Erik dianggap belum mempunyai dampak. "Kamu cuma cocok menjadi tukang ketik, bukan jurnalis," ujar Metz tajam.

Kritik pedas ini membuat Erik sengit. Apalagi statusnya sebagai anak reporter legendaris Kota Denver, Erik Kernan senior, membuat dia lama jatuh-bangun demi lepas dari bayang-bayang nama besar ayahnya.

Tekanan batin yang dirasakan Erik ini masih ditambah dengan kacau-balaunya kehidupan pribadinya. Dia duda-cerai yang hidup terpisah dari anaknya yang berumur enam tahun yang sangat disayanginya, Teddy (Dakota Goyo), hasil buah percintaannya dengan mantan istrinya, Joyce Kernan (Kathryn Morris).

Sampai ketika suatu malam selepas liputan laga tinju lokal, dia bertemu dengan seorang gelandangan yang sedang dipukuli tiga berandalan. Setelah para pengganggunya ini dihalau Erik pergi, si gelandangan mengenalkan dirinya sebagai mantan juara dunia bernama "Battling Bob" Satterfield (Samuel L Jackson).

Nama Satterfield memang tercatat harum di dunia tinju profesional, berpuluh-puluh tahun silam. Jurnalis olahraga Erik yang memang tak asing dengan nama ini pun langsung percaya. Satterfield dikenal sebagai juara tinju yang hanya beberapa periode menikmati gemilang sabuk juara dunia sebelum akhirnya menghilang setelah dihantam masa-masa tersulitnya.

Tak pelak, kehadiran sosok Satterfield ini menjadi oase di tengah padang gurun bagi kemandegan karir Erik. Ia tak ragu berkukuh memperjuangkannya di hadapan redaksi. Keraguan editornya--seperti biasanya--kini tak digubris Erik.

Bahkan ia merasa tak pernah seyakin ini ketika "mengendus" nilai berita saat mendengarkan kisah si gelandangan. Ia percaya bahwa kisah hilangnya "Battling Bob" dari legenda dunia tinju, termasuk Rocky Marciano dan Jake ‘Raging Bull’ LaMotta, yang ternyata berakhir di jalanan gelap Denver, akan mampu melambungkan namanya sebagai jurnalis handal. Terutama demi membuat anaknya bangga.

Keyakinannya terjawab. Kisahnya dimuat besar-besar sebagai headline di salah satu edisi khusus Denver Times. Foto-foto Bob Satterfield segera memenuhi sampul cover.
Full-colour pula.

Karya sensasional yang menggemparkan seantero warga Denver ini pun segera mendulang apresiasi luas. Ribuan oplah terdongkrak. Buntutnya, Erik didaulat menjadi presenter olah raga tinju di salah satu stasiun lokal nomor wahid. Sampai-sampai ia hampir dinominasikan mendapat penghargaan Pullitzer.

Nilai kejujuran

Karya Erik ini memang besar, gaya bertutur yang ia gunakan memikat, dan didahului dari proses observasi yang cukup melelahkan. Namun, ia tak menyadari bahwa sebenarnya ia sedang melakukan sebuah kesalahan fatal yang mengancam keberlangsungan karirnya.

Erik tampaknya terlalu emosional hingga lupa pada pentingnya melakukan cek-ricek. Tanpa mengecek kebenaran pengakuan sang gelandangan, baik dari para pakar ataupun teman-teman dekatnya, dia "begitu polosnya" percaya lalu menuliskan kisah Bob.

Hingga akhirnya orang-orang yang pernah mengenal Bob bermunculan, barulah terbongkar bahwa sang gelandangan bukanlah Bob Satterfield asli. Bob "aspal" (asli tapi palsu) ini nyatanya tak lebih dari seorang pemabuk yang doyan membual. Dia sebenarnya bekas lawan yang pernah dipukul jatuh Bob Satterfield.

Pesan-pesan yang hendak disampaikan Resurrecting the Champ jelas: kejujuran adalah di atas segalanya. Selain itu, ia bercerita seputar kepercayaan, hubungan anak-ayah, hingga dinamika kehidupan pekerja pers yang penuh gejolak dan aroma persaingan.

Emosi penonton berhasil diaduk intens melalui rajutan adegan-adegannya. Dengan menghadirkan cuplikan-cuplikan pertandingan Bob Satterfield sebagai pembuka, misalnya. Di sepanjang sekelebatan laga tinju klasik itu, terdengar hentakan tuts mesin ketik, sambil terdengar suara melankolis Erik:

"Jurnalis tak ubahnya petinju. Saat pertama kali menurunkan tulisannya, ia seperti petinju memasuki ring tinju; menunggu apakah ia keluar sebagai pemenang, kalah, atau terkapar KO."

L.A. Times

Dalam kisah nyata yang diangkat berdasarkan sebuah artikel di L.A. Times Magazine yang ditulis J.R. Moehringer ini, para pecinta film akan dimanjakan permainan gemilang aktor kawakan Samuel L. Jackson. Perannya sebagai gelandangan terlihat mengalir wajar tanpa dipaksakan. Tak heran jika film ini disebut-sebut sebagai salah satu permainan terbaik dalam karirnya.

Film ini terbilang sukses di pasaran. Ia mampu menghasilkan total pundi US$3.172.573 di USA dan Kanada. Belum lagi hasil penjualannya di seluruh dunia yang mencapai US$69.854.

Meski begitu, bukan berarti film ini luput cela. Hemat penulis, pemilihan Josh Harnett sebagai Erik Kernan kurang tepat. Sebagai jurnalis, terutama ayah satu anak yang berumur enam tahun, pembawaan Erik terlihat terlalu "bersih" dan muda.

Penjiwaan Harnett pun masih terasa kurang maksimal. Apalagi dalam adegan ketika Erik dihantam berita terkuaknya bualan sang gelandangan. Wajahnya terlalu datar. Kurang memperlihatkan konflik batin yang intens.

Lalu apa kata wartawan senior dengan reputasi mendunia, Bill Kovach, tentang jurnalis seperti Erik Kernan? Mengutip bukunya yang menjadi "kitab suci" pekerja pers, The Elements of Journalism (2001), "wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu." Nah, lho!

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

11 Februari 2009

Kronologi Perkembangan Pers Lokal di Solo

JURNALISME
Semarang, 11 Februari 2009
Kronologi Perkembangan Pers Lokal di Solo
Oleh Anindityo Wicaksono


Monumen Pers Surakarta
(Sumber gambar: http://www.panoramio.com)

TAK salah jika Kota Solo disebut-sebut menempati posisi sangat unik sekaligus istimewa dalam kehidupan pers Indonesia. Denyut nadi pers di kota kecil tersebut pada pertengahan abad XIX ternyata jauh lebih maju dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan, pujangga Jawa termasyhur, Ronggowarsito (1802–1873), adalah mantan wartawan di Solo, tepatnya Pemimpin Redaksi surat kabar mingguan berbahasa Jawa, Bromartani (1855-1856).

Sebuah penelitian menyebutkan, antara 1855-2006, lebih dari 110 koran sudah pernah terbit di Solo (Mulyanto Utomo, 2007). Bahkan, tak hanya tercatat sebagai kota pertama di Indonesia yang mempunyai surat kabar “pribumi”, tetapi juga di Solo, tahun 1946, di tengah perang kemerdekaan, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dilahirkan.

Yang lebih membuat kota ini unik, ternyata selain mencatat prestasi, Solo jugalah kota yang menyandang julukan sebagai “tempat kuburan koran”. Dinamika yang begitu hidup ini membuat saya tak tahan untuk tak menguraikan data kronologi perkembangan pers lokal Solo yang saya temukan di salah satu buku terbitan Harian SOLOPOS dalam masa perayaan 1o tahun berdirinya SOLOPOS. Selamat membaca!

1. Bromartani (1855-1856)
Bermula Johannes Portier di Kampung Mondokan Banjarsari Solo mendatangkan satu unit percetakan lengkap, kemudian Harteveldt mendirikan suatu kongsi yang dinamakan Harteveldt & Co. Atas persetujuan Sunan Pakubuwono VII, Harteveldt & Co dapat terlaksana menerbitkan surat kabar mingguan umum dengan nama Bromartani, yang terbit tiap hari Kamis, dengan bahasa dan aksara Jawa. Mulai terbit bulan Maret.

Pada hari Kamis tanggal 29 Maret 1885, Bromartini edisi 1 terbit, sekalipun sebelumnya sudah beredar pula. Surat kabar ini sudah membuka diri untuk iklan. Surat kabar ini sudah berkantor di Kampung Kebonan Belakang Sriwedari.

Johannes Portier bertanggungjawab atas penerbitan dan isi surat kabar tersebut. Merupakan surat kabar untuk pribumi pertama, ditulis dalam huruf Jawa. Hanya berumur satu tahun karena terkena delik pers. Salah seorang anggota redaksi adalah Ronggowarsito. Surat kabar ini didirikan orang Belanda. Nomor terakhir 20 Maret 1856.

2. De Nieuwe Vorstenlanden (1858)
Pada 15 Januari 1858 firma Johannes Portier & Co di Solo menerbitkan majalah Bahasa Belanda dengan nama De Vorstenlanden. Karena pailit perusahaan ini sempat dibeli beberapa pengusaha salah sorang Vogel van de Heyde & Co, surat kabar ini lantas diganti nama De Nieuwe Sukartasche Courant dengan pimpinan T.H. Reoland Landouw.

Kemudian pada 1883 dijadikan harian dan namanya diganti De Nieuwe Vorstenlanden, dengan pimpinan redaksi T.H. Roeland Landouw. Harian ini pernah menjadi surat kabar harian yang paling besar di seluruh Jawa Tengah. Pada 8 Januari 1938 pernah mengadakan peringatan 80 tahun usianya. Tetapi empat tahun berikutnya berhenti terbit menjelang Jepang masuk Kota Solo.

3. Bromartani (dari Djurumartani-Semarang 1858) (1870-1932)
Sesudah sembilan tahun tidak ada penerbitan di Solo, atas usaha De Groot-Kolf & Co di Semarang dapat menerbitkan surat kabar untuk daerah Solo dengan nama Djurumartani dengan bahasa dan aksara Jawa. Redakturnya C.F. Winter Jr. juru bahasa di keraton Solo.

Mulanya Djurumartani yang terbit di Semarang dari kelompok surat kabar De Locomotif yang dimiliki pengusaha Belanda. Kemudian terkena delik pers, akhirnya pindah ke Solo dan atas anjuran Paku Buwana IX berganti nama menjadi Bromartani. Memiliki usia cukup panjang hingga 1932.

4. Jawa Kandha (1891-1919)
Diterbitkan oleh Percetakan dan Penerbitan Albert Rusche & Co di Solo dengan Bahasa Jawa dan Melayu. Terbit tiap seminggu dua kali pada hari Selasa dan Jumat. Redakturnya F.L. Winter. Nomor pertama terbit pada hari Selasa Pahing tanggal 28 April 1891. Surat kabar ini berbahasa Jawa dan dimiliki orang Belanda.

5. Jawi Hiswara (1891-1919)
Penerbit yang sama dalam tahun ini menerbitkan juga surat kabar berbahasa Jawa dan Melayu dengan nama Jawi Hiswara, terbit tiga kali seminggu pada hari Selasa, Rabu, dan Jumat. Tiap minggu sekali diberi lampiran yang diberi nama Cakrawarti dengan aksara dan bahasa Jawa bergambar, empat halaman ukuran buku. S

alah seorang pengikut Raden Ronggowarsito bernama Suwardi yang lebih dikenal sebagai Ki Padmosusastro setelah pulang kembali ke Solo dari Belanda pada tahun 1891 membantu redaksi Jawi Kandha dan Jawi Hiswara.

Banyak memuat laporan perjalanan dan pengalaman Ki Padmosusastro di negeri Belanda. Karena kesibukan Ki Padmosusastro, tahun 1900 Raden Dirdjoatmodjo menggantikan menjadi redaktur Jawi Kandha, Jawi Hiswara, dan Cakrawarti. Pada tahun 1902 resmi menjadi pimpinan redaksi surat kabar tersebut.

Surat kabar ini diterbitkan Albert Rusche & Co, awalnya berkantor di Kampung Musen, lalu pindah ke sebelah selatan loji Karesidenan yang sekarang menjadi gedung Balai Kotapraja Surakarta, kemudian pindah lagi ke Kampung Loji-warung yang sekarang menjadi kantor Jawatan Sosial.

Tiga surat kabar ini berhenti terbit 1919, akan tetapi surat kabar tersebut besar sekali jasanya terhadap masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk membimbing penerbitan ke arah kemajuan dan kebebasan berpikir, pun juga di dalam pekembangan dunia persuratkabaran swasta nasional. Selanjutnya Raden Martodarsono menerbitkan majalah bahasa dan aksara Jawa dengan nama Sesuluh dan Pancajannya.

Juga percetakan Sie Dhian Hoo di Pasar Besar Solo juga menerbitkan bulanan ukuran buku dengan bahasa dan aksara Jawa diberi nama Cakrawala, memuat cerita-cerita dari luar negeri disalin ke dalam bahasa dan aksara Jawa.

6. Sasadara (1900)
Diterbitkan Paheman Radya Pustaka, suatu badan resmi pemerintah Keraton Kasunanan Surakarta yang berkantor di Museum Sriwedari Solo. Merupakan majalah bulanan dengan bahasa dan aksara Jawa terbit tiap tanggal 15 bulan purnama, dengan diberi nama Sasadara. Ki Padmosusastro menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.

Nomor pertama terbit hari Rebo Wage tanggal 15 bulan Jumadilakhir tahun 1830 windu sancaya atau 10 Oktober 1900 M, dicetak di Vogel van der Heyde & Co di Solo. Majalah ini banyak menampung serba serbi ilmu pengetahuan.

7. Candrakanta (1901-1903)
Merupakan majalah bulanan ukuran buku, dengan aksara dan bahasa Jawa yang juga diterbitkan Paheman Radya Pustaka yang khusus berisi pengetahuan modern. Ki Padmosusastro juga menjadi pemimpin redaksinya. Majalah ini terbit edisi perdana 20 Juni 1901 dicetak di Albert Rusche & Co di Surakarta dan dapat hidup sampai akhir tahun 1903.

8. Ik Po (1904)
Merupakan surat kabar Tionghoa.

9. De Solo Post (1942)
Surat kabar berbahasa Belanda dengan Pemimpin Redaksi K Henk Abrams. Surat kabar ini terkenal namun terpaksa menghentikan penerbitannya menjelang datangnya balatentara Jepang di Kota Solo. Surat kabar ini milik Belanda.

10. De Niewe Vorsten Landen (1900-1919)
Pada periode 1900 dipimpin Vogel Van der Heyde. Selanjutnya pada periode 1919 dikendalikan oleh H Roeland Landauw.

11. Darmo Kandha (1913)
Diterbitkan Nieuwe Drukkerij di Warung Pelem yang sekarang menjadi poliklinik Tiong Hoa. Pemiliknya Tjo Tjoe Kwan, seorang letterzetter di percetakan Albert Rusche & Co. Belum dapat diketahui nomor bukti pertama terbit terbitan pertama. Sedang terbitan kedua dapat kita temukan di museum Jakarta.

Surat kabar Darma Kandha dengan bahasa dan aksara Jawa dan bahasa Melayu aksara latin. Terbit seminggu dua kali pada Senin dan Kamis. Nomor 1 tahun ke 1 terbit pada hari Senin Kliwon tanggal 4 Januari 1914. Surat kabar ini milik Tionghoa yang kelak dibeli Boedi Oetoemo (1920) dan pindah ke Kampung Kauman Carikan Jalan Secoyudan Solo.

12. Sarotama (1914)
Berkantor di Jagalan Kabangan, Lawiyan, Surakarta. Redaksi administrasi dipegang oleh Raden Sostrokornia dan penanggung jawab redaksi oleh Oemar Said Tjokroaminoto yang juga Pemimpin Umum SI. Marco Kartodikromo pernah menjadi pimpinan redaksi mingguan Sarotama sekitar 1919-1920. Media ini milik Syarikat Islam.

13. Tjoendhamanik (1914)
Surat kabar mingguan bahasa dan aksara Jawa yang diterbitkan Perkumpulan Kaum Buruh dan Tani yang pimpinan redaksinya Djoyosantosa.

14. Taman Perwarta (1914)
Milik Tionghoa

15. Pradja Surakarta (1914)

16. Doenia Bergerak (1914)
Merupakan surat kabar yang dirintis dari pendirian IJB oleh Dr Tjipto Mangunkusumo dan Mas Marco. Kelak Guntur bergabung dengan media ini.

17. Guntur (1915)
Mingguan yang dipimpin oleh Darnokusumo yang kelak menggabungkan diri dengan Doenia Bergerak dan namanya menjadi Guntur Bergerak.

18. Medan Bergerak (1916)

19. Kumandang Jawi (1916)

20. Medan Muslimin (1916)
Surat kabar bulanan bahasa Jawa dan Melayu dipimpin dan diterbitkan H Misbach di Kauman Solo dengan pembantu utamanya Sastrosiswoyo dan pembantu-pembantu tetap Marco Kartodikromo redaktur Doenia Bergerak, Raden Sosrokornia redaksi administrasi Sarotama, Mas Ngabehi Sastrosadargo dari Jawi Kondho. Media ini merupakan suatu bentuk kerja sama surat kabar-surat kabar yang menjadi kebanggaan pada waktu itu.

Pada pertengahan tahun 1916 Medan Muslimin menerbitkan buku bahasa dan aksara Jawa dengan nama Hidayatul Awam, pedoman Islam untuk para kaum muslimin sebagai sisipan untuk para pembaca setia. Medan Muslimin terbit tiap tanggal 15. Nomor pertama tahun 1 terbit pada tanggal 15 Januari 1916. Medan Muslimin membawakan suara-suara revolusioner dari SI Merah, akibatnya Haji Misbach pada tahun 1925dihukum buang ke Boven Digul. Diasuh oleh KH Misbach dan H Fachrudin.

21. Islam Bergerak (1917)
Surat kabar dengan sebagian aksara dan bahasa Jawa dan sebagian aksara latin bahasa Jawa. Nomor 1 tahun I terbit di Surakarta pada hari Senin Legi tanggal 1 Januari 1917. Terbit tiga kali sebulan dengan redaktur Djoyodikromo, Tohir dan Kusen. Surat kabar Islam Bergerak juga membawakan suara-suara revolusioner.

22. Penggoegah (1919)
Surat kabar mingguan berbahasa dan Aksara Jawa. Redaksi dan penanggung jawab Dokter Tjipto Mangunkusumo.

23. Darmo Kondho (1920)
Berhaluan Nasional, terbit Rabu dan Sabtu. Redaktur Raden Mas Soleman. Pada tahun 1935 menjadi Pewarta Oemoem. Sementara Darmo Kondho bahasa Jawa disebut Pustaka Warti.

24. Wiwara Raya (1920)

25. Kumandhang Theosofie (1921)
Didirikan oleh perkumpulan theosofie Cabang Solo dalam bentuk buku biasa, bahasa aksara Jawa, dan terbit bulanan. Redaksi oleh RM Partowiroyo, administrasi R. Ng. Hartokretarto. Sebagaimana dengan bulanan lain (Mahabharata dan Babad Serang) dapat hidup sampai balatentara Jepang masuk di Solo.

26. Pustaka Jawi (1922)

27. Mardi Siwi (1922)
Bulanan bahasa Jawa aksara latin untuk pendidikan para pelajar dan para muda-mudi. Diasuh oleh staf redaksi Literair Paedagogishce Club dengan alamat Sunaryo di Mangkunagaran dan administrasi S Sastroatmodjo di Badran Solo. Bulanan ini dapat hidup subur dan lama, sampai akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

28. Al Islam (1923)
Milik Muhammadiyah Solo

29. Bintang Islam (1923)

30. Mambangul Ngulum (1923)

31. Darah Mangkunagaran (1923)

32. Narpo Wandoyo (1923)

33. Janget Kinatelon (1925)

34. Gentha Kekeleng (1925)

35. Mawa (1925)
Milik kalangan radikal

36. Wara Susila (1925)
AB Siti Syamsiyah menerbitkan majalah bahasa dan aksara Jawa bentuk buku ukuran umum yang mengutamakan kepentingan wanita Islam, dengan pemuka redaksi S. Hadiwiyoto, staf redaksi: 1. Sukati, 2. Sukarni, 3. Suparmini, 4. Wadining, 5. Sumartinah Danusubroto. Juga menerbitkan majalah bahasa Jawa dengan nama Pusaka.

37. Suara Aisyiah (1925)
Berbarengan dengan itu (Pusaka dan Wara Susila, peneliti) atas kerja sama dengan Muhammadiyah, AB. Siti Syamsiyah menerbitkan Suara Aisyiah dengan bahasa Jawa aksara latin.

38. Jawa Tengah (1926)
Terbit bulanan berbahasa Indonesia oleh percetakan Ang Sioe Tjing di Slompretan 4 Solo.

39. Mahabharata (1927)
Diterbitkan oleh Loge Theosofie Solo pada bulan Januari 1927 yang merupakan bulanan dan bahasa aksara Jawa. Diasuh oleh RM Partowiroyo. Sebagaimana dengan bulanan lain (Babad Serang dan Kumandhang Theosofie) dapat hidup sampai balatentara Jepang masuk di Solo.

40. Kawi (1928)

41. Djanget (1928-1929)
Merupakan mingguan bahasa Jawa yang radikal dan berani menghadapi peraturan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah peristiwa atas tulisan Suprapto, tidak lama mingguan Djanget terpaksa berhenti terbit.

42. Darul Ulum (1928)
Diterbitkan oleh pedagang buku dan batik AB. Siti Syamsiyah sebagai anggota Muhammadiyah Solo yang berjasa dalam menerbitkan buku dan majalah keislaman. Merupakan media bulanan yang mulai terbit 25 Januari 1928 dengan moto ‘majalah islamiyah yang menjadi sumbernya sekalian ilmu atau pengajaran dan pergerakan Islam seluruh dunia’.

43. Cakrawarti (1919)
Berkaitan dengan Jawa Kandha-Hiswara yang diterbitkan oleh Radya Pustaka.

44. Woro (?)
Media ini diusahakan sendiri oleh Ki Padmosusastro; merupakan majalah bulanan bahasa dan aksara Jawa, yang memuat kesusasteraan, pedoman-pedoman hidup, pengetahuan umum, piwulang, dan lain-lainnya.

45. Timbul (1931)
Merupakan berkala bahasa Indonesia yang diasuh Dr. Radjiman Widyodiningrat dan Mr. Singgih. Selain memuat tulisan bersifat pengetahuan dan kebudayaan, juga mengetengahkan tulisan-tulisan yang membakar semangat jiwa pergerakkan kebangsaan yang waktu itu banyak pemimpin pergerakan kebangsaan yang ditangkapi dan dihukum pemerintah kolonial.

46. Risalah Islam (1931)
AB. Siti Syamsiyah menerbitkan Risalah Islam merupakan bulanan dengan bahasa dan aksara Jawa. Pimpinan redaksi Samsu Hadiwiyoto.

47. Pustaka Surakarta (?)
Diterbitkan bersamaan dengan Risalah Islam oleh AB. Siti Syamsiyah. Merupakan majalah bulanan terbit sepuluh hari sekali yang berisi Qur’an Jawen dan tafsir hadis.

48. Purnama (?)
Juga terbitan AB. Siti Syamsiyah yang berisi roman picisan. Terbit bersamaan dengan Risalah Islam dan Pustaka Surakarta.

49. Sadya Tama (1931)

50. Jagad (1931)

51. Hudaya (1931)
Dokumentasinya terdapat di perpustakaan Mangkunegaran.

52. Api Rakyat (1932-1933)
Diusahakan oleh Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) cabang Surakarta yang merupakan mingguan bahasa Jawa aksara latin yang diasuh oleh Samino. Hanya berusia satu tahun.

53. Adil (1932)
Diusahakan Muhammadiyah di Solo terbit harian berbahasa Indonesia. Nomor 1 terbit pada 1 Oktober 1932 diasuh Syamsudin Sutan Makmur dan Suyitno. Selain isi berita-berita umum dan ajaran agama Islam, juga sebagai terompet pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Perjalanan Adil mengalami suka-duka pasang surut akan tetapi terus hidup sampai mencapai usia lima puluh tahun lebih (sumber rujukan ini ditulis tahun 1985, peneliti). Adil pernah berhenti terbit, pernah menjadi bulanan, tengah bulanan, mingguan, dan juga pernah terbit stensilan. Milik Muhammadiyah.

54. Aksi (1933)
Berkaitan dengan Adil.

55. Pepadanging Jagad (1934)
Terbit bulan Oktober 1934 bulanan aksara bahasa Jawa diasuh oleh R.Ng. Sastrosadargo dan R.Ng. Djiwopradoto. Bulanan ini tidak dapat berusia panjang.

56. Suara Kesehatan (1934)
Merupakan bulanan bahasa Indonesia yang terbit Oktober 1934 oleh penerbitaKristen Uitgever Maatschappij ‘Tradju Budi’. Tujuan bulanan ini dengan tujuan tertentu yang ternyata dapat hidup subur dan lama sampai menjelang pendudukan balatentara Jepang.

57. Darmo Woro (1934)
Bulanan bahasa Jawa diterbitkan pemerintah Mangkunegaran untuk kepentingan pemerintahannya. Diasuh oleh R.M. Notosuroto. Nomor 1 diterbitkan pada November 1934. Namun tidak terbit lama, karena R.M. Notosuroto kemudian ke Belanda dan menerbitkan Opgang atau Udaya di negeri Belanda.

58. Sikap (1934)
Berkaitan dengan penerbit Darmo Woro.

59. Bedug (1934)
Pada bulan November atas usaha kaum buruh di Klaten menerbitkan tengah bulanan bahasa Jawa-Dipa, untuk membimbing kaum buruh menuju kesadaran pergerakan kebangsaan. Suaranya keras, maka berkali-kali mendapat peringatan dari yang berwajib, dan juga pernah kena persdelict yang berakibat ditutupnya media ini.

60. Rahayu (1934)
Terbit bulan Juli 1934 merupakan bulanan bahasa aksara Jawa berisi pengetahuan tentang kesempurnaan hidup, kesusasteraan, kesusilaan, dan kebudayaan Jawa pada umumnya. Diasuh R.M.Ng. Dutodilogo dengan alamat redaksi dan administrasi di Tamtaman Baluwarti Solo.

61. Pedalangan (1935)
Untuk memenuhi kebutuhan para siswa dalang di “Pasinaon Dalang Surakarta” yang menempati sebelah timur gedung Museum Radya Pustaka Sriwedari Surakarta, dan bagi para dalang pada umumnya. Didirikan oleh R.M.Ng. Dutodilogo. Terbit pertama 15 Juli 1935. Pada Januari 1941 digabung menjadi satu dengan Rahayu dan berhenti tebit menjelang akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

62. Bangun(1935)
Majalah bahasa Indonesia dan Belanda diterbitkan Intelectueelen Club di Solo yang diketuai Mr. Wongsonagoro.

63. Mahabharata Kawedar (1936)
Muncul Januari 1936 oleh R.M. Sutarto Hadjowahono di Timuran Solo. Merupakan bulanan bahasa Jawa aksara latin dalam bentuk buku biasa. Isi khusus mengenai cerita wayang dari Mahabharata dengan tafsiran dan keterangannya.

Karena sangat laku, maka kemudian disusul dan berbarengan terbitnya bulanan Mahabharata Kawedar bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Pada masa Jepang, majalah ini berhenti terbit dan sesudah kemerdekaan Indonesia, Oktober 1950 diterbitkan lagi lanjutannya. Akhirnya berhenti terbit pada 1956.

64. Pancara Siddhi (1937)

65. Nusantara (1937)

66. Babad Serang (1938-1942)
Diterbitkan oleh Loge Theosofie dalam bentuk bulanan bahasa Jawa. Sebagaimana dengan bulanan lain (Mahabharata dan Kumandhang Theosofie) dapat hidup sampai balatentara Jepang masuk di Solo.

67. Kabar Paprentahan (1938)
Milik Keraton Kasunanan Surakarta.

68. Pawarti Surakarta (1938)

69. Pusaka Indonesia (1939)
Media ini terbit 25 Oktober 1939 dan merupakan majalah bergambar bahasa Indonesia yang memuat tentang perekonomian, kesusasteraan, dan lain-lain.

70. Ratna Dumilah (1939)
Pada bulan itu juga terbit majalah bahasa Jawa aksara latin dengan nama Ratna Dumilah yang memuat khusus tentang kewanitaan. Kedua majalah tersebut dapat hidup sampai akhir pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

71. Sarawedi (1941)
Terbit 25 Oktober 1941 bulanan yang mementingkan kesusasteraan Jawa dengan aksara latin. Pengayoman K.G.P.A.A. Mangkunagoro VII dengan redaksi komisi R. Sutopo Hadisaputro dan kawan-kawannya sampai 1942.

72. Hidup (1942)

73. Hidayah Awam (?)

74. Merah Putih (1945)
Pada Sabtu pahing 22 September 1945 waktu pagi hari beredarlah secara gelap surat kabar Merah Putih ke seluruh penjuru Kota Solo, disambut dengan sangat gembira waspada oleh segenap rakyat.

75. Indonesia Raya (1945)
Hari Senin Legi 1 Oktober 1945 dengan dicetak di percetakan Albert Rusche & Co pagi hari terbitlah surat kabar dengan nama Indonesia Raya. Pimpinan redaksi dipercayakan kepada Surono Wirohardjono, dibantu Subekti. Harian Indonesia Raya dapat terbit lancar dan terang-terangan diterbitkan oleh Barisan Pelopor dengan alamat Purbayan Solo.

76. Lasjkar (?)
Merupakan penggabungan Merah Putih dan Indonesia Raya di mana Surono Wirohardjono ditunjuk menjadi pimpinan redaksinya Lasjkar yang terbit pertama pada hari Sabtu Pahing 1 Desember 1945.

77. Pasific (?)
Harian Lasjkar yang oleh Subekti diserahkan kepada Markas Besar Barisan Banteng, namanya diubah jadi Pasific dengan pimpinan redaksi Imam Sutardjo. Tahun 1947 Surono setelah bebas dari tahanan kembali memimpin Pasific.

78. Suluh Tani (1947)
Terbit Februari 1947 dan pencetak Krishna Solo.

79. Warta Indonesia (1947)
Terbit nomor 22 tanggal 7 Juni 1947.

80. Guntur (1947)
Diterbitkan Masjumi.

81. Penggugah (1947)
Mingguan bahasa Jawa yang diedarkan ke pamong desa, seperti koran masuk desa, dengan pimpinan umum Darmosugondo dan pelaksana redaksi Suyadi. Mingguan ini berhenti terbit ketika serbuan Belanda ke II tahun 1948. Terbit pada masa pemerintahan residen Sudiro (Banteng).

82. Merdeka (1947)
Merupakan cabang Merdeka di Jakarta yang diterbitkan di Solo.

83. Revolusi Pemuda (?)
Terbit di sekitar media di atas.

84. Suara Pemuda (?)
Terbit di sekitar media di atas.

85. Udaya (1949-1950)
Merupakan bulanan yang diterbitkan pada bulan Mei tahun 1949 dengan alamat redaksi dan administrasi di Bromantakan 41 Solo. Bulanan ini hanya dapat bertahan sampai usia satu tahun. Merupakan kelanjutan dari Opgang atau Udaya yang diterbitkanRM Notosuroto berbahasa Belanda dan Indonesia. Pada tahun 1950 terbit lagi dan 1956 berhenti.

86. Boelan Sabit (?)
Dimiliki Gerakan Pemuda Islam (GPI) Solo.

87. Yudha (?)
Milik Hisbullah.

88. Dwi Warna (1950-1957)

89. Gelora Berdikari (1960)
Surat kabar ini memiliki moto: Melaksanakan Ampera berdasarkan Pancasila. Mulai terbit 28 Oktober 1960. Penerbit Jajasan Kesejahteraan Nasional, Sala.

90. Berita Ekonomi (1962)
Surat kabar ini memiliki moto: Pembawa Suara Pedagang dan Pengusaha Rakyat non Partai. Mulai terbit 21 Agustus 1962. Penerbit CV. Bericko Press, JL. Ngebrusan 7 Solo. Pimred: Soerowijono.

91. Patria (1965)
Alamat di jalan Pasar Kliwon 180 Solo. Penanggung jawab Budiman S. Hartojo dan Pimpinan Redaksi R. Soengkar.

92. Adil (1968)
Surat kabar milik kalangan Muhammadiyah ini memiliki moto: Mengemban Amanat Tuhan dan Rakjat. Mulai terbit 1 Oktober 1932, PT. Adil Sala, Jl. Slamet Riyadi 90 Solo. PU H. Soerono

93. Bharata (1968)
Surat kabar ini bermoto: Manudju pengamanan masjarakat tata tentrem karta raharja. Penerbit CV. Bhinneka Bharata Sala, mulai 1 Djuli 1969, Jl. Dr. Muwardi 45, Solo. Pimpinan Nj. Beny Notosubioso.

94. Andika (?)

95. Dharma Kandha (1969)
Memiliki moto: Muljo Kondang Kusumaning Bawana. Mulai terbit 22 Oktober 1969. Penerbit Jajasan Dharma Pantjasila Solo, di jl. Yosodipuro 38 Solo.

96. Solo Minggu (1970)
Mingguan Independen yang mulai terbit 1 April 1970. Penerbit CV. Manggarsari Press Jl. Marconi 22 Solo.

97. Warta Niaga (1970)
Memiliki moto: Menuju Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pantjasila. Mulai terbit 10 November 1970. Penerbit Biro Penerbit dan Perpustakaan JPN Kertanegaran Jl. Kartotijasan 17/228 Solo.

98. Kentjana (1971)
Memiliki moto: Mengisi generasi dengan moral Pantjasila. Mulai terbit 1 Februari 1971, Penerbit Rilan Jl. Mangkubumen Wetan gg. III RT. 22 Solo.

99. Dharma Nyata (1971)
Pendiri Yayasan Dharma Nyata. Mulai terbit 1 Juni 1971. PU: W. Wandawa, PR: N. Sakdani, PP: W. Wandawa. Alamat Wirengan 20 Solo.

100. Perikesit (1972)
Penerbit Yayasan Perikesit. Mulai terbit 29 November 1972. PU/PR: Soemardi, PP: Maktal Suprapto. Alamat Sidomulyo 30 B Solo.

101. Suara Bengawan (1986)
Mulai terbit 16 Juni 1986 dan pada tahun 1988 sempat berhenti terbit 1988. Pada tahun 1991 terbit lagi dan tidak lama akhirnya juga tutup sampai sekarang.

102. Medium (1989-1997)

103. Jawa Anyar (?-1997)

104. SOLOPOS (1997- sekarang)

105. Pos Kita (1998)
Berubah menjadi Bengawan Pos, kemudian tutup.

106. Bengawan Pos (Idem)

107. The Surakarta Post (2004)
Terbit di Karanganyar pada tahun 2004 – tutup.

108. Radar Solo (2000)
Merupakan sisipan di Harian Jawa Pos.

109. Radar Nusantara (2005)
Terbit mingguan

110. Trisula (2006)
Terbit mingguan.

* * *
(Disarikan dari buku SOLOPOS, Satu Dasawarsa Meningkatkan Dinamika Masyarakat. Surakarta: HU SOLOPOS, 2007)

SUMBER
:
Tesis: Antoni, "Pers Lokal di Surakarta. Analisis Wacana Konstruksi Sosial atas Realitas Sosial Surakarta dalam Praktik Pers Lokal pada Harian SOLOPOS."

Data diolah dari berbagai sumber (Shiraishi, Probodiharjdo, Surjomiharjo, Riyanto dokumentasi Perpustakaan Mangkunegaran, Perpustakaan Keraton Kasunan, Monumen Pers Nasional) ditambah pengamatan peneliti.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

05 Februari 2009

Kekeliruan Paradigma Iklan Politik

KOLOM

Semarang, 5 Februari 2009
Kekeliruan Paradigma Iklan Politik
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.inilah.com)

MENJELANG Pemilu 2009, partai-partai partisipan pemilu berlomba-lomba melakukan sosialisasi ke khalayak ramai. Bentuknya pun beragam. Mulai dari yang murah-meriah seperti spanduk dan baliho, hingga yang merogoh kocek dalam-dalam seperti membeli ruang iklan di media massa.

Dalam ilmu ekonomi, sosialisasi atau promosi—mencakup iklan—memang menjadi salah satu bauran pemasaran (marketing-mix) yang mendapat peran sentral. Menurut Basu Swastha (1990: 353), ada empat tujuan promosi, yaitu: (1) memodifikasi tingkah laku, (2) memberitahu, (3) membujuk, dan (4) mengingatkan.

Tujuan promosi untuk menumbuhkan kesadaran publik akan merek dan citra produk memang sudah menjadi hal yang jamak diterima. Namun, hal ini menjadi persoalan ketika diterapkan dalam ranah politik. Mengapa demikian?

Paradigma berpikir iklan komersial jauh bertolakbelakang dengan politik. Sedikitnya ada dua perbedaan esensial antara promosi produk komersial dengan produk politik. Pertama, jika iklan komersial mempunyai “filter”, yakni lembaga perlindungan konsumen yang berwenang menindak kebohongan publik, tidak halnya iklan politik.

Kedua, iklan komoditas komersial bersifat memperkenalkan barang dagangan konsumsi pribadi. Artinya, ia tidak memengaruhi kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Iklan politik, sebaliknya, karena memengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih, ia amat menentukan arah pergerakan bangsa.

Iklan-iklan politik yang kini beredar luas nyatanya mengacu pada paradigma komersial, alih-alih mengutamakan jejak rekam yang valid. Ironisnya, hal ini justru diprakarsai partai incumbent.

Lihat saja bagaimana iklan televisi Partai Demokrat--kendaraan politik SBY—dengan pongah mengklaim 14 pencapaian dalam masa pemerintahan SBY sebagai andil tunggal mereka. Di antaranya yakni, penurunan harga BBM, pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen per tahun, swasembada beras, hingga proses hukum terhadap 500 pejabat publik terkait kasus korupsi.

Hemat penulis, hal ini adalah preseden buruk bagi kehidupan demokrasi bangsa. Partai Demokrat perlu disadarkan, semua keberhasilan yang mereka klaim sebagai komoditas iklan itu sebenarnya buah konstituen segenap penyelenggara negara. Bukan semata-mata buah perjuangan partai.

Benar bahwa kampanye dengan medium iklan lebih sehat ketimbang mobilisasi massa yang berpotensi mengeruhkan suasana. Namun, jika iklan politik model unjuk klaim keberhasilan dibiarkan, bangsa ini akan terus berkutat pada kehidupan demokrasi kekanak-kanakan, demokrasi yang hidup dari pengakuan dan mau menang sendiri.

Segenap elemen bangsa, termasuk mahasiswa dan para aktivis yang melek politik, harus mau turun ke kantung-kantung pemilih. Pembodohan publik dan pengaburan jejak-rekam calon yang diperagakan beberapa partai dalam iklan-iklannya harus diimbangi dengan pendidikan politik bagi rakyat.

Lebih jauh lagi, perang iklan hanya akan membidani para elit politik yang menghamba pada pasar. Mereka yang jungkir-balik mendulang dukungan demi kejayaan golongan. Setelah jaya, ujung-ujungnya, mereka akan meninggalkan para pemilih terjerembab dalam lubang kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan (politik).

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...