21 Oktober 2008

Kelamnya Legitimasi Agama

FILM

Semarang, 19 Oktober 2008
Kelamnya Legitimasi Agama
Oleh Anindityo Wicaksono

Judul Film: Kite Runner
Pemeran: Khalid Abdalla (Amir dewasa), Atossa Leoni (Soraya), Shaun Toub (Rahim Kahn), Zekeria Ebrahimi (Amir kecil), Ahmad Khan Mahmidzada (Hassan kecil)
Sutradara: Marc Forster Khaleb
Durasi: 2 jam 2 menit
Distributor: Paramount Vantage
Tanggal Rilis: 14 Desember 2007 (AS), Februari 2008 (Indonesia)

PADA usia belia, Ahmad Wahib (LP3S, 1981) pernah menulis dalam buku hariannya: "Aku ingin orang memandang dan menilai aku sebagai suatu kemutlakan (absolute-entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk serta dari aliran apa aku berangkat. Sekadar memahami manusia sebagai manusia."

Wahid berani merenungkan dirinya itu "siapa" atau sekedar "apa." Ia memaknai dirinya sebagai human being (manusia) yang berproses atau belajar untuk being human (memanusiawikan dirinya). Buah pikirannya terdesak oleh pencarian jati dirinya sebagai seorang intelektual muda yang gelisah.

Wahid mampu menyadarkan bahwa dirinya pertama-tama tidak dijelaskan oleh namanya, tidak pengetahuan, tidak keterampilannya. Tidak oleh pakaian dan kendaraannya; tidak juga agamanya. Ia menyadari bahwa ia hanya manusia yang sedang berproses menjadi dirinya sendiri, mengaktualisasikan segenap potensi sebagaimana ia diciptakan (Andreas Harefa, 2000).

* * *

AGAMA memang terkadang sukar dimengerti. Ia bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia penuh damai, pengorbanan, cinta kasih, dan pengampunan; ia tanda penyertaan Sang Khalik di dunia. Di sisi lain, agama memancangkan ketakutan, absolutisme-tak terbantahkan, dan penghukuman. Tak terhitung banyaknya pertumpahan darah yang mengatasnamakan agama.

Pertanyaannya, benarkah agama menjadikan manusia menghukum sesamanya? Bolehkah "iman" mengalahkan "hati nurani", ketika penghakiman atas nama dosa shahih menjadi hukum negara?

Inilah potret yang coba dihadirkan sutradara Marc Foster Khaleb (Finding Never Land) ketika menggarap film Kite Runner (2007). Film yang diangkat dari novel laris Khaled Hosseini (2003) ini mengambil setting kehidupan masyarakat kota Kabul, Afghanistan, menjelang invasi Soviet hingga rezim Taliban berkuasa.

Adalah dua anak umur belasan, Amir Agha (Zekeria Ebrahimi), putera seorang Pashtun kaya yang terpandang, yang bersahabat dengan Hassan (Ahmad Khan Mahmidzada), anak laki-laki Hazara pelayan ayah Amir.

Amir tipikal anak orang kaya yang pintar nan santun; namun kerap menarik diri dan penakut. Amir yang pintar sering mendongengkan cerita rakyat "Roustam and Sohrab" pada Hassan yang buta-huruf. Karena suka menulis, ia memang kerap membacakan kisah buatannya pada Hassan. "Cerita-ceritamu adalah cahaya bagiku," begitu tulis Hassan dewasa di suratnya pada Amir.

Hassan berkarakter pelayan seperti ayahnya: periang, pekerja keras, jujur, dan pemberani. Hasan yang pemberani kerap melindungi Amir dari gangguan anak-anak nakal. Baginya, Amir adalah sobat sekaligus anak tuannya. Hassan amat setia dan tunduk padanya.

"Maukah kau makan tanah itu untukku?" uji Amir suatu kali.

"Kalau saja benar kau yang menyuruh, aku rela!" tegas Hassan.

Karena bersahabat sejak kecil, mereka terbiasa menghabiskan waktu bersama. Mulai dari nonton fim koboi Amerika di bioskop hingga bermain layang-layang. Yang terakhir ini memang kegemaran sebagian besar anak-anak Kabul. Saban sore, terutama saat angin sedang bagus-bagusnya, langit tak pernah sepi disesaki aneka kertas terbang ini.

Untuk hal ini, jangan tanya: Hassan jawaranya. Ia penguasa udara. Jika layangannya mulai mencakar langit, jangan harap bisa lolos dari jurus lilitan mautnya. Permainan Amir pun tak kalah ciamiknya. Bersama Hassan, anak Pashtun ini bahkan pernah memenangkan sebuah kompetisi layang-layang bergengsi se-Kota Kabul.

Ekspektasi

Baik dari alur cerita maupun jalinan gambar, film yang berdurasi dua jam dua menit ini sungguh memikat. Kisahnya cerdas menyentuh sisi sentimentil kita. Sajian gambarnya pun tak main-main. Selain banyak menyuguhkan pesona lanskap bumi-perawan Afghanistan, potret permainan layang-layang dalam medium film pun ternyata jadi mengasyikkan.

Betapa tidak, permainan layang-layang Amir dan Hassan dikemas menyerupai adegan kejar-kejaran pesawat tempur F-16: penuh gemuruh dan tehnik pengambilan gambar yang rumit. Wuuss... wuuss... wuuss..! Layangan membelah angkasa. Sampai pada suatu ketinggian, tiba-tiba ia menukik tajam menelikung musuhnya: membelit benangnya tanpa ampun hingga putus. Dahsyat menegangkan.

Permainan memikat Ahmad Khan Mahmidzada sebagai Hassan kecil di sepanjang film patut diacungi jempol. Walau terhitung debutan, aktor-cilik ini sukses menghidupi tokoh Hassan, seorang anak pelayan yang lugu, setia, dan tulus. Baik dari penjiwaan karakter maupun permainan gestur tubuh.

Sayang, permainan Khalid Abdalla ketika memerankan Amir dewasa terasa kurang greget. Adegan ketika Amir belakangan mengetahui bahwa Hassan ternyata adik kandungnya, misalnya. Sejatinya hal itu adalah pukulan hebat baginya: mengetahui Hassan adalah buah perselingkuhan ayahnya dengan istri Ali, ayah Hassan.

Saat mendengar kabar yang bagai kilat di siang bolong itu, wajah Khalid masih terlalu datar-cum-nihil penjiwaan. Entah karena kurang improvisasi atau terkungkung naskah, ia kurang berhasil menggiring empati penonton.

Di luar sedikit ganjalan itu, sang sutradara berhasil lepas dari perangkap yang kerap membentangi film-film sejenis yang berdasarkan novel: ekspektasi pembaca yang berlebihan.

Walhasil, Marc tak terjebak untuk terlalu banyak memasukkan petilan novel jika hal itu dirasa mengurangi esensi cerita, seperti yang terjadi pada film Laskar Pelangi. Ia disiplin menjaga kisah tetap runtut dan mudah diikuti. Ia sadar: tak semua penonton pernah membaca novelnya.

Tabiat Taliban

Keberhasilan film ini tak lepas dari cerita novelnya yang memang menakjubkan. The Kite Runner adalah novel Afghan pertama yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain menjadi buku terlaris sepanjang 2005 - terjual lima juta kopi di AS - novel ini dianugerahi Humanitarian Award 2006 oleh UNHCR. Novel yang diterjemahkan ke dalam 42 bahasa ini selama dua tahun lebih bertengger di daftar New York Times Bestseller.

Penulisnya, Khaled Hosseini, adalah putra pasangan guru SMA dan diplomat yang lahir di Kabul pada 4 Maret 1965. Ketika berumur 11 tahun, ia bersama keluarga meninggalkan Kabul ketika ayahnya, Hosseini, bertugas ke Paris, Perancis. Saat mereka seharusnya kembali ke Afghanistan pada tahun 1980, negeri itu telah diduduki Soviet.

Lulusan Cedars-Sinai Medical Center Los Angeles ini sejak 1996 berpraktik sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Kini pria dari keluarga terpandang suku Tajik ini aktif menjadi duta besar keliling badan pengungsi PBB, UNHCR.

Karena lama hidup di luar Afghanistan, sang novelis mampu melepaskan romantisme masa-kecilnya untuk jujur menyatir kondisi masyarakat tanah kelahirannya. Secara blak-blakan dia merekam awan gelap yang menutupi Kota Kabul sejak Taliban berkuasa: kota yang mengoyakkan pengharapan generasi mudanya dan tak lagi memanusiakan manusia.

Dia menyuguhkan tabiat-tabiat buruk Taliban tanpa tedeng-aling. Salah satunya ketika salah seorang petinggi Taliban diketahui kerap menculik anak-anak untuk dijadikan budak pemuas nafsu. Bahkan mereka tak segan-segan memaksa anak-anak itu menari eksotis di depan mereka. Ada juga adegan sepasang pelaku perselingkuhan yang mati dirajam di depan khalayak.

Tak ayal, buku kontroversial ini membuat Pemerintah Afghanistan kebakaran jenggot. Mereka kelimpungan membatasi peredarannya. Melalui kementerian informasi dan kebudayaan, pemerintah melarang pemutaran dan impor film Kite Runner.

Sampai-sampai, empat lakon cilik film ini pun diterbangkan ke AS, di tengah memuncaknya kecemasan atas keamanan mereka. Pemindahan mereka lantaran adanya kemungkinan anak-anak ini akan menjadi sasaran pembalasan atas sebuah adegan penting ketika Hassan, anak suku Hazara, diperkosa. (Kapanlagi.com)

Penghargaan

Di tengah kontroversi dan sorotan berkepanjangannya, nyatanya Kite Runner berhasil menyentuh sisi kemanusiaan kita yang mendambakan hangatnya persahabatan. Ada dua pesan utama film ini. Pertama, indahnya kisah persahabatan antara dua anak beda etnis di tengah-tengah konflik antaretnis yang memanas.

Kedua, kita kembali diingatkan pada semboyan Marxis "Religion is the opium to the people" (agama candu masyarakat). Di Afghanistan, segelintir orang telah mereduksi nilai agama sedemikan rupa untuk dijadikan penguat legitimasi. Kemuliaan agama mereka nodai untuk mereka jadikan candu: menjejali otak-otak para pengikutnya untuk menisbikan kemanusiaan.

Dari sederet pesan moral yang ditabuhnya, sekaligus penggarapan film yang memikat, tak heran berjibun penghargaan menanti mereka. Golden Globe menominasikan film ini sebagai film berbahasa asing terbaik dan "Best Original Score" (tata musik terbaik). Malah di Satellite Award, ajang awarding film dari para jurnalis se-Amerika, film ini sudah memenangkan katagori tersebut.

Sementara di ajang anugerah film versi Critics Choice Award, yang diselenggarakan para kritikus film se-Amerika dan Canada, selain dinominasikan sebagai "Best Picture", ia mendapat nominasi "Best Young Actor" untuk Ahmad Khan Mahmidzada, si pemeran Hassan kecil.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

19 Oktober 2008

Mereka Mengaku Pasrah

FEATURES
Semarang, 7 Oktober 2008
Mereka Mengaku Pasrah
*Drainase sebagai Solusi Alternatif Rob
Oleh Anindityo Wicaksono


WARGA Kota Semarang yang menetap di kawasan resapan air laut hanya bisa pasrah ketika rob (limpasan air laut) mengenai areal permukiman. Sebab, upaya peninggian jalan dan lantai bangunan, selama ini belum mampu menyelesaikan masalah ini secara permanen.

"Segala upaya peninggian lantai rumah hingga jalan kampung sia-sia. Ditinggikan berapa meter pun, tanah perlahan ambles lagi. Nyatanya, saban air laut pasang, kawasan perumahan selalu tergenang," kata Andono Karyo (43), warga Kampung Blusuk 58C RT 02/RW 11, Kelurahan Kemijen, Semarang Timur, kemarin.

Ketika pertama menetap di kampung ini tahun 1993, ia dan warga lain belum pernah mengalami rob. Namun, ketika kawasan industri Pelabuhan Tanjung Mas mulai dibangun tahun 1995, setiap terjadi air laut pasang, air selalu merembes. Jalan-jalan tergenang hingga masuk ke dalam rumah-rumah warga.

Sejak 1995 rob terjadi hampir setiap sekali sebulan. Sejak itu, Andono meninggikan rumahnya lima kali dengan akumulasi ketinggian satu meter. "Karena kondisi ekonomi warga berbeda, koordinasi upaya peninggian jalan tidak dapat dilakukan bersama-sama warga satu RT," katanya. Berbeda dengan RT lain yang kondisi ekonomi warga memungkinkan, katanya, bisa dilakukan peninggian secara swadaya dengan iuran sebesar Rp50 ribu per KK.

Tahun 1997 Andono bersama tetangga dekat meninggikan permukaan jalan dan menutup dengan paving blok hingga setengah meter. Namun, lanjutnya, upaya itu tidak membuahkan hasil memuaskan, karena setelah lima tahun peninggian permukaan jalan, rob kembali terjadi. "Dibanding ketika saya pertama kali tinggal di sini, permukaan jalan sudah ambles sekitar satu meter," kata dia.

Menurut pantauan, pada rumah-rumah warga kurang mampu, ada rumah yang ketinggian lantai dengan langit-langitnya tinggal tersisa 1,5 meter akibat tanah yang terus ambles. Untuk masuk rumah, pemilik rumah pun terpaksa membungkukkan badan.

Andono mengaku, hingga sekarang, rob selalu datang tiap kali air laut pasang. Biasanya, air laut pasang sekitar pukul 16.00 dan surut 23.00. "Ketinggian air mencapai 30-50 sentimeter dan masuk dalam rumah," kata dia.

Iuran Warga

Hal serupa dirasakan Tumini (34), warga Tegalrejo Gang 6 RT 06/RW 09, Kelurahan Kemijen, Semarang Timur. Ia mengaku, selama tinggal di sana sudah tiga kali meninggikan lantai rumahnya dengan akumulasi ketinggian mencapai satu meter.

Namun, lanjut dia, permukaan tanah perlahan-lahan ambles lagi, sekitar setengah meter tiap tahunnya, sehingga ketinggian rumah yang tadinya melebihi tinggi jalan, perlahan turun hingga di bawah ketinggian badan jalan.

Ia mengatakan, permasalahan yang selalu dibicarakan dalam setiap rapat pertemuan RT itu akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk meninggikan jalan secara swadaya. "Pengurukan jalan sesetinggi setengah meter itu selesai dilakukan pada Desember 2006 lalu. Biaya dan tenaga dilakukan ditanggung swadaya warga," kata dia.

Tumini mengatakan, untuk peninggian jalan, per KK iuran Rp50 ribu untuk membeli bahan-bahan material, seperti tanah, pasir, dan paving blok. Untuk menghemat biaya, tambah dia, pengerjaannya dilakukan oleh kepala keluarga secara gotong royong.

"Peninggian jalan ini hanya dilakukan sebatas per RT, tergantung koordinasi warga masing-masing. Kalau di RT lain, peninggian dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing warga. Di RT 02 koordinasinya dapat cepat dilakukan karena hanya terdiri dari 17 KK, sehingga rembug warganya tidak terlalu sulit dilakukan," kata dia.

Namun, lanjut dia, permasalahan peninggian jalan itu mempunyai dampak buruk yang lain. "Setelah ditinggikan, ketinggian jalan sekarang melebihi tinggi rumah, maka tiap kali hujan deras, giliran air hujan yang masuk ke dalam rumah. Mau tidak mau rumah harus ditinggikan kembali, untuk itu tentu perlu dana lagi," kata dia.

Ia mengatakan, walaupun selalu kebanjiran, ia mengaku tidak akan berpindah rumah. "Walau pas-pasan, penghasilan saya menghidupi anak-anak saya sudah berpuluh-puluh tahun dari usaha warung di sini. Kalau pindah rumah, nanti mau cari uang di mana," kata dia.

Permukaan tanah yang ambles dan rob juga sering terjadi di Kelurahan Mlatiharjo. Banyak bangunan lama di daerah ini kondisinya memprihatinkan karena ketinggian bangunan menurun drastis.

Beberapa kusen jendela pada bangunan lama tersebut terlihat hampir menyentuh permukaan tanah. Bagi warga yang mampu, untuk menghindari genangan rob, mereka terpaksa beberapa kali meninggikan permukaan lantai dan atap.

Di daerah ini, pemukaan jalan di gang sebagian besar memang sudah dibangun dengan konstruksi paving blok, namun jalan utama Mlatiharjo saat ini masih dalam proses peninggian permukaan.

Drainase

Terpisah, staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kota Semarang Sarbidi mengatakan, selama ini pemerintah dan masyarakat wilayah pantai kota Semarang mengandalkan sistem drainase, yang menjadi kesatuan dengan sistem drainase perkotaan, untuk menangani masalah rob dan banjir karena hujan.

"Sistem drainase disinergikan dengan normalisasi sungai, pembangunan tanggul sungai, pembagunan kolam penyimpan air, pompa dan pintu air," tuturnya.

Prasarana dasar yang harus ada bagi permukiman di daerah pantai adalah sistem drainase, mengingat kawasan tersebut rawan genangan air akibat rob dan banjir."Sistem drainase permukiman pantai yang ada di Semarang masih menjadi satu kesatuan dengan sistem drainase perkotaan, dan terbagi menjadi empat wilayah pelayanan," tambah dia.

Wilayah-wilayah pelayanan tersebut adalah drainase Tugu mencakup areal seluas 35,4 kilometer persegi, drainase Semarang Barat 12,4 kilometer persegi, Drainase Semarang Tengah 27,2 kilometer persegi, dan drainase Semarang Timur 47,8 kilometer persegi. "Total biaya proyek pembangunan sistem drainase mencapai Rp940 milyar," ungkap Sarbidi.

Mengenai penanganan rob yang mempengaruhi, merusak, rumah dan bangunan, kata dia, antara lain dilakukan dengan pengurugan lahan secara bertahap, peninggian lantai rumah setiap lima tahun sekali, peninggian lantai halaman atau pemasangan bendung pengendali agar tidak memasuki rumah, dan, alternatif terakhir, pembuatan rumah bertiang / rumah panggung.

"Setelah dilakukan peninggian lahan dua sampai tiga kali, biasanya rumah terpaksa harus dibongkar," pungkas dia.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Anda Pasti Lebih Bisa!

OLAHRAGA

Semarang, 14 Oktober 2008
Anda Pasti Lebih Bisa!
Sebuah Memoar Kegiatan Pelatihan Outbound
Oleh Anindityo Wicaksono


"TERUUSS… Teruuss...! Asyiiiikkk...!" teriak Joko Susilo (36) ketika menuruni deras seutas kawat pada permainan Flying Fox. Walau meluncur tajam dari ketinggian sekitar 10 meter di atas tanah, tak sedikit pun tampak kengerian di wajahnya.

Joko dan 180 orang karyawan PT. Berkah Utama Sentosa lainnya sedang mengikuti pelatihan outbound di kawasan wisata Citra Asri, Gonoharjo, Kendal, Jawa Tengah, belum lama ini. Mereka menggandeng trainer dari Diponegoro Outbound Training (DOBT), fasilitator outbound milik UNDIP Semarang.

PT. Berkah Utama Sentosa adalah jawatan outsourcing (sistem kontrak) mitra kerja Perusahaan Listrik Negara ( PT PLN). Sebagai pemenang tender urusan personalia, ia bertanggung jawab menyediakan dan meningkatkan kualitas SDM para petugas pembaca meter (cater) PT PLN.

Peningkatan kualitas SDM yang mereka bawahi mencakup kesiapan teknis, moral, hingga administrasi para pegawainya. Pekerja asuhannya berasal dari daerah Pekalongan, Blora, Kendal, dan Semarang.

Menurut Manajer PT. Berkah Utama Sentosa, Harryawan, acara pelatihan outbound seperti ini sangat berguna bagi peningkatan kinerja karyawan. Selain kegiatan refreshing bagi pegawai, lanjutnya, pelatihan ini mampu meningkatkan kesolidan, kerjasama, dan komunikasi antarkaryawan.

Namun jangan bayangkan peserta outbound kali ini para pegawai muda. Kegiatan ini tak cuma ditujukan bagi pegawai baru mereka. Semua pegawai, tak terkecuali mereka yang sudah berkali-kali diperpanjang kontraknya, wajib ikut saban kegiatan pelatihan yang diadakan perusahaan.

Maka tak heran peserta outbound kali ini banyak yang berusia 30-40-an tahun. Bahkan, usia peserta paling tua tercatat 50 tahun.

Susun Menara

Permainan outbund ini total memiliki enam pos permainan yaitu Flying Fox, Petak Lipat, Si Buta-tuli, Rantai Manusia, Susun Menara, dan Jaring Laba-Laba.

Dalam areal seluas satu lapangan sepakbola, semua tim peserta diharuskan menyelesaikan seluruh wahana di tiap pos permainan. Tiap game menekankan pentingnya kerjasama, kekompakan, dan komunikasi.

Masing-masing wahana memiliki tingkat kesulitan dan peraturan permainan sendiri-sendiri. Pos Susun Menara misalnya, peserta diminta menyusun gelas-gelas dalam satu bentuk menara. Gampang? Tunggu dulu.

Peraturan permainan melarang peserta menggunakan tangannya dalam memegang gelas. Semua partisipan harus memanfaatkan alat tersedia, yaitu jalinan tali yang ujungnya berupa lingkaran berbahan karet.

Teknis permainannya cukup membutuhkan kesabaran dan kekompakan tim. Pertama, setelah memegang ujung tali, peserta bergerak perlahan secara bersamaan dan menggunakan ujung lingkaran karet untuk mengunci gelas. Gelas lalu ditelungkupkan satu persatu hingga membentuk satu bangunan. Permainan dianggap selesai jika susunan gelas berbentuk menara atau piramida utuh.

Apa lagi yang seru? Adu yel-yel mereka yang beraneka ragam. Di awal acara memang dibuat peraturan, tiap tim harus membuat slogan yang nantinya menjadi semacam kode untuk memasuki pos permainan.

Bentuknya bebas, tergantung kreatifitas tim. Ada yang berupa lagu, gerakan, ejekan pada lawan, hingga yang cuma teriakan lantang singkat: "Outbound, yes!"

Tingginya antusiasme para peserta sepanjang permainan, serta lantangnya yel-yel semua tim meninggalkan kesan tersendiri. Tua-muda tak ada bedanya. Semua bahu-membahu menyelesaikan permainan dengan usaha terbaik yang mereka miliki.

Api Unggun

Permainan outbound biasanya ditaruh pada acara pungkas sebelum penutupan. Pada hari pertama, diadakan pelatihan teknis pembacaan KWh meter yang diisi pemateri senior PT PLN Distribusi Jateng-DIY.

Setelah itu, dibuka sesi diskusi. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang masing-masing berisikan 10 orang. Acara yang difasilitasi para mahasiswa Fakultas Psikologi UNDIP Semarang ini berbentuk focus group discussion (FGD).

Materi pembahasan FGD adalah kendala-kendala teknis di lapangan berdasarkan pengalaman mereka. Di sini peserta bebas mengemukakan serba persoalan yang terjadi selama mereka bertugas di lapangan.

Pada malam harinya, diadakan acara api unggun. Namun jangan bayangkan api unggun-nya anak sekolahan atau Pramuka. Acara di lahan seluas setengah lapangan sepakbola ini menyajikan peserta studi-kasus cara menghadapi berbagai tipe pelanggan. Penyelesaiannya harus disuguhkan dalam bentuk drama (role-play).

Jenis pelanggan yang dihadapi bervariasi. Mulai dari yang cerewet, curigaan, hingga yang selalu menyilakan petugas mampir dan menikmati suguhan mereka. Kasus terakhir dianggap kendala lantaran dapat menghambat kerja petugas di tengah tanggungan banyak rumah yang belum disatroni.

Sesi api unggun memang sengaja dibuat semiformal agar peserta tidak tegang. Karena para petugas cater yang notabene orang-orang lapangan mayoritas gemar bercanda dan membikin seloroh, maka selalu saja ada celetukan-celetukan yang meledakkan tawa. Ditambah skenario memang sengaja mengangkat kejadian-kejadian lucu di lapangan, tambah semaraklah malam itu.

Putar Film

Pada sesi penghujung, diadakan pelatihan motivasi dengan pemutaran film pendek. Kisahnya tentang perjuangan para penyandang kekurangan fisik-mental dalam perhelatan Olimpiade khusus penyandang cacat, Paralympics Games.

Dalam film berdurasi sekitar 15 menit ini, digambarkan bagaimana para penyandang kebutuhan-khusus saling berjuang menjadi yang terbaik. Nomor-nomor yang dilombakan hampir sama dengan Olimpiade. Nomor lari, misalnya, ada nomor srpint 100 meter, 400 meter, 600 meter dan marathon.

Untuk tiap nomor pertandingan, atlit digolongkan sesuai jenis kekurangannya. Taruh misal, antar-tuna netra, tuna daksa, hingga tuna rungu.

Ada juga nomor renang yang diikuti oleh para tuna daksa. Digambarkan bagaimana mereka tetap berjuang keras di tengah ketidaksempurnaan beberapa anggota tubuh seperi tangan dan kaki. Jalinan adegan menggunakan gambar-gambar yang sangat memilukan: bagaimana mereka jatuh-bangun demi mengukir prestasi di tengah keterbatasan mereka.

Selama pemutaran film, suasana sontak berubah hening. Seluruh peserta terdiam berkaca diri. Terpaku. Merenungi gambar demi gambar di layar berukuran 2x2 meter itu. Tak sedikit yang terlihat berlinangan air mata, walau tak sampai sesenggukan.

Lagu latar Hero-nya Mariah Carey di sepanjang film makin menambah bobot perenungannya. Dalam epilog, tertera kalimat: "Kalau mereka saja bisa, Anda pasti lebih bisa!"

Gabungan antara pelatihan teknis, motivasi, dan outbound seperti yang diikuti petugas cater PT PLN ini memang bukan sekadar kegiatan refreshing. Ia bukan formalisme.

PT Berkah Utama Sentosa berharap, perhelatan ini menjadi momentum yang mampu menggugah atmosfir kebersamaan dan kesolidan kerja antarkaryawan yang selama ini mungkin sempat pudar.

Menurut Joko Susilo, pelatihan ini mampu meninggalkan kenangan manis akan arti pentingnya kebersamaan. "Juga hangatnya antusiasme positif yang berujung pada kompetisi yang sehat antarpegawai," katanya.

Walhasil, tersisa ruang perenungan panjang dalam sanubari peserta. Ruang itu berbisik lirih namun menggugah: "Kalau mereka saja bisa, Anda pasti lebih bisa!"

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Korban Kedua Jatidiri

OLAHRAGA
Semarang, 12 Oktober 2008
Korban Kedua Jatidiri
*PSIS 1 - PSM 0, Diwarnai Insiden Ofisial Vs Wasit
Oleh Anindityo Wicaksono

KEJAR WASIT: Asisten Manajer PSM Faisal Ma­na­ing yang berupaya
memukul wasit Yandri usai pertandingan, terkapar setelah dipukul Yandri lebih dulu.
(FOTO: Suara Merdeka/Sutomo)

STADION
Jatidiri Semarang kembali menunjukkan keangkerannya pada tim-tim kuat. Setelah Persipura Jayapura pada laga 10 September 2008, kini giliran PSM Makasar menjadi korban. Tampil dengan kekuatan penuh, "Juku Eja" digasak PSIS Semarang dengan skor 1-0.

Pada laga lanjutan Indonesian Super League (ISL) 2008, semalam, skuad besutan Bambang Nurdiansyah dengan motor serangan Gaston Castano dan Jules Basile Onambele ini akhirnya mengantarkan kemenangan kedua bagi "Mahesa Jenar" di sepanjang musim ini.

Kemenangan ini tak lepas dari buah eksperimen Bambang yang terbukti tepat. Mantan Pelatih Arema Malang ini memajukan Basile yang semula berposisi gelandang bertahan menjadi juru dobrak bersama Castano.

Pemain asal Kamerun ini didaulat menempati posisi kosong yang ditinggalkan bomber Salomon Bengondo yang sengaja dibangkucadangkan. Hal ini menyusul akibat tindakan tak simpatik Salomon dalam pertandingan terakhir PSIS melawan PSMS Medan.

Strategi ini ternyata ampuh. Basile berhasil menjawab tantangan sang arsitek. Bukan hanya tampil garang, ia juga menjebolkan gol semata wayang penentu kemenangan kesebelasan tuan rumah.

Di tengah kondisi lapangan yang becek akibat guyuran hujan sesaat sebelum pertandingan, Juku Eja yang tampil dengan sederet nama pemain bintang macam Julio Lopez "J-Lo", Aldo Bareto, Ali Khadafi, Syamsul Haeiruddin, Irsyad Aras dan Samsidar langsung menggebrak dengan tempo permainan cepat.

Sejak menit pertama, lni pertahanan PSIS dengan jangkar Idrus Gunawan dan Bangun Permana berkali-kali dibuat kerepotan. Duet J-Lo-Bareto yang disokong gelandang sayap Claudio Pronetto bermain gemilang sepanjang pertandingan, mengancam jala tuan rumah.

Pada menit 17, skuad asuhan Raja Isa mendapat peluang emas lewat tusukan J-Lo di sisi kanan pertahanan. Lepas dari perangkap offside, eks-bomber PSIS ini sukses melewati kiper Basuki Setiabudi yang meninggalkan sarangnya.

Sayang, bola terlalu lama di kaki J-Lo. Si kulit bundar terlalu lambat disodorkan kepada Pronetto yang terlanjur ditutup pergerakannya oleh pemain belakang PSIS.

Pelipis Basuki

Rentetan serangan di sepanjang babak pertama ternyata menjadi bumerang bagi tim tamu. Akibat asyik menyerang, konsentrasi pertahanan PSM kendur. Kelengahan ini dimanfaatkan Idrus dkk dengan menggebrak balik lewat umpan-umpan panjang.

Menjelang turun minum, lewat serangan balik, tusukan Basile setelah menerobos masuk kotak pinalti menelurkan sontekan manis pada Castano. Beruntung, sepakan deras striker asal Argentina ini masih bisa dimentalkan Samsidar.

Bola mental yang mengarah ke Basile ini pun tak disia-siakannya. Lewat sepakan deras, tanpa ampun Basile melesakkan si kulit bundar dan merobek jala PSM yang dikawal Samsidar.

Setelah turun minum, PSM bangkit dan tampil menggebu demi mengejar ketertinggalan. Daya gedor Juku Eja makin garang menyusul masuknya Diva Carkas di menit 60 menggantikan Pronetto. Gelandang muda ini terbukti berhasil menambah kreasi serangan lewat kelincahan dan agresifitas tusukan-tusukannya ke jantung pertahanan lawan.

Menjelang akhir permainan, permainan agresif Juku Eja menjurus ke arah kasar. Baru satu menit Diva masuk, PSM diganjar kartu kuning menyusul pelanggaran keras Irsyad Aras kepada Basuki.

Dalam satu kemelut di dalam kotak pinalti, sepatu Irsyad menghantam keras kening Basuki yang maju menghalau bola. Walhasil, pelipis kiper utama PSIS ini robek hingga segera dilarikan ke rumah sakit. Ia digantikan Agus Murod. DIperkirakan, minimal sepekan ke depan Basuki akan absen.

Solidnya jangkar pertahanan, ditambah kondisi lapangan yang kian becek akibat derasnya guyuran hujan, membuat serangan Bareto dkk gagal berujung gol. Hingga peluit panjang, skor stagnan 1-0.

Dengan kemenangan ini, PSIS mengumpulkan poin 9 dari 12 pertandingan. Sedang PSM terpancang di posisi 9 dengan poin 19 dari 13 kali main.

Tak Puas

Laga kali ini kembali diwarnai insiden kekerasan. Wasit Yandri asal DKI Jakarta yang memimpin pertandingan, hampir saja menjadi sasaran amukan sejumlah ofisial dan pemain PSM.

Awalnya, ketika Yandri meniup peluit panjang dan hendak meninggalkan lapangan, tiba-tiba dua orang ofisial PSM mengharu-biru ke lapangan. Mereka mengejar dan berupaya menjotosinya.

Untung Yandri mampu menyelamatkan diri. Demi membela diri, justru dia yang lebih dulu mendaratkan bogem mentah lewat tangan kirinya tepat ke rahang Asisten Manajer PSM Faizal Manaeng. Faizal pun terkapar jatuh dengan mulut penuh darah.

Melihat temannya "KO", sejumlah pemain dan ofisial PSM lainnya turut berupaya balas menyerang Yandri. Namun, dengan sigap, petugas keamanan mengamankan wasit ini sebelum keributan meluas.

Usaha pemukulan wasit sudah dua kali terjadi di Stadion Jatidiri Semarang. Sebelumnya, usaha penyerangan kepada pengadil lapangan hijau ini dilancarkan General Manajer PSIS Yoyok Suykawi terhadap wasit Sunarjo Joko asal Jember saat PSIS menjamu PSMS Medan di Semarang, Kamis (9/10).

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Berkah Sampah Terpadu

FEATURES

Semarang, 15 Oktober 2008
Berkah Sampah Terpadu
Oleh Anindityo Wicaksono


TAHUKAH Anda, jumlah sampah Kota Semarang yang masuk ke tempat penampungan akhir (TPA) Jatibarang, Mijen, Semarang mencapai 600 ton/hari? Keterbatasan kapasitas membuat jumlah ini tak tertampung sepenuhnya. Sebagai satu-satunya di Jawa Tengah, TPA seluas 40 ha ini pun lambat laun akan mencapai titik jenuhnya.

Hal inilah yang mendasari berdirinya pengelolaan sampah terpadu di Perumahan Bukit Kencana Jaya Semarang pada Januari 2007. Di tempat penampungan sementara (TPS), tumpukan sampah sisa yang selama ini tak terangkut ke TPA dapat diolah menjadi pupuk kompos.

Pengelolaan sampah terpadu swadaya-warga yang pertama di Jawa Tengah ini bermitra dengan GTZ Jerman dan Yayasan Bintari. Kedua LSM lingkungan hidup ini menanggung sepenuhnya biaya operasional dan sosialisasi program untuk tiga bulan pertama.

Menurut Ketua Pokja Pengelolaan Sampah Terpadu, Ari Sulistyono, belum lama ini, visi program ini adalah mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA. Hal ini timbul dari kekhawatiran warga melihat tumpukan sisa sampah di TPS yang menggunung akibat volume sampah yang sanggup terangkut ke TPA hanya 60 persen.

"Dalam sehari, volume sampah yang masuk ke TPS diperkirakan 1,5-2 ton. Perhitungan ini dari jumlah pembuangan sampah di lima RW yang dihuni 1.016 KK. Asumsinya, per KK menghasilkan 1,5-2 kg sampah per hari," terangnya.

Jumlah sampah sebanyak ini, lanjutnya, dapat menjadi permasalahan yang serius jika tidak ditangani dengan baik oleh seluruh masyarakat.

Selain mengurangi volume sampah sisa, pengolahan terpadu ini ternyata sanggup membuka lapangan kerja. Lihat saja, untuk mengurusi pengelolaan, pihaknya mempekerjakan dua tenaga kerja baru di TPS. Satu pekerja digaji Rp 750 ribu/bulan, sedang satu lagi selain gaji pokok, masih ditambah persentase hasil penjualan produk pengolahan.

Pembagian Area

Di tempat pengolahan, area dibagi menjadi tiga petak. Masing-masing area memuat sampah-sampah yang telah dipilah menurut jenisnya.

Jenis pertama, sampah kering (organik) yaitu kardus, botol minum, dan plastik. Kedua, sampah basah (non-organik) yaitu sisa makanan, sayuran, dedaunan, dan sisa buah. Terakhir, sampah beracun (un-recycle) yaitu pembalut wanita, semprotan bahan kimia, dan baterai.

Untuk memudahkan proses pemilahan, seluruh warga diharapkan partisipasinya dengan memilahkan sampah pada kantong yang telah disepakati. Kantong kain untuk sampah kering, kantong plastik hitam untuk sampah basah, dan untuk sampah beracun boleh kantong apa saja selain dua di atas.

Sampah yang dapat diproses menjadi kompos hanya jenis non-organik. Sisanya, sampah organik dapat langsung dijual, sedang sampah beracun dikumpulkan untuk diangkut ke TPA Jatibarang.

Proses mengolah kompos, pertama-tama pada sampah basah dicampurkan bakteri pengurai (monukulen). Bahannya antara lain bekatul, air tebu, ragi, humus pohon pisang, dan air secukupnya. Aduk hingga warna sampah basah berubah hijau. Lalu, tambahkan dengan sampah coklat (serbuk gergaji, sekam, daun kering) dengan perbandingan 1:1.

Setelah itu, tambahkan kompos yang sudah jadi atau lapisan tanah atas, kemudian diaduk. Jangan lupa sirami sedikit air untuk menjaga kelembaban, lalu endapkan tumpukan ini antara tiga hari hingga satu minggu. Setelah hasil penguraian ini dirajang di dalam mesin penggiling, endapkan lagi selama satu minggu.

Kini kompos telah siap dan tinggal diayak dan dikemas. Ia dapat dipasarkan pada pedagang-pedagang tanaman hias, pupuk tanaman, dan pada program penghijauan

“Untuk sementara ini proses pemasaran belum sepenuhnya berjalan karena jumlah kompos yang didapat masih sedikit. Namun, Yayasan Bintari telah menyatakan kesiapannya menggunakan pupuk kami untuk program penghijauan mereka," terang Ari.

Mesin Lokal

Mesin pengayak sampah yang mereka gunakan buatan LPTP Surakarta. Berkekuatan 16 pk, mesin ini sanggup berproduksi hingga 400 kg/jam.

Menurut Koordinator Teknik Pokja Pengelolaan Sampah Terpadu, Sucipto, mesin seharga Rp 14 juta ini didesain mampu menggunakan bahan bakar minyak bekas (jelantah) menggantikan solar.

"Sisa sampah yang tidak terangkut ke TPA mencapai 800 kg per hari. Dengan kapasitas produksi 400 kg/jam, maka mesin akan beroperasi selama dua jam per hari," ungkap staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang ini.

Dikatakannya, sementara ini mesin belum maksimal berfungsi karena pihaknya masih kewalahan mengurusi sisa sampah yang belum terangkut ke TPA.

"Agar efektif, tumpukan sisa sampah harus terangkut semuanya dulu ke TPA. Hingga jumlah sampah di TPS kembali nol, barulah mesin dapat beroperasi normal dua jam/hari," ujarnya.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Jalan Panjang Bu Guru Gruwell

FILM
Semarang, 10 Oktober 2008

Jalan Panjang Bu Guru Gruwell
Oleh Anindityo Wicaksono


BANYAK hal didapat dari film Freedom Writers (2007), sinema besutan sutradara Richard LaGravenese. Awalan film yang digawangi Hilary Swank, Patrick Dempsey, dan Scott Glenn ini cukup cukup menggugah. Mengenai kehidupan di SMA Long Beach, California, sekolah tempat anak-anak bermasalah yang terlibat perkelahian antargeng.

Sinema yang mengadaptasi buku best seller The Freedom Writers Diary ini mengisahkan sekelumit dinamika kehidupan geng ini terbentuk atas dasar kesamaan ras. Suasana ini amat terlihat di waktu istirahat sekolah. Ada geng ras Asia (kebanyakan Kamboja), kuilt putih, kulit hitam, hingga Latin.

Masing-masing geng saling mempertahankan kedudukan dan eksistensinya. Banyak kasus perkelahian antargeng yang bermula dari kejadian-kejadian sepele: olokan perbedaan ciri tubuh dan perebutan wilayah. Namun, tingkat kenakalan yang anak-anak umur 13-15 tahun sudah sangat mencemaskan. Mereka tak segan-segan menggunakan senjata api dalam perkelahiannya. Bahkan ada anak yang selalu membawa pistol hingga dalam kelas, tersembunyi di balik bajunya.

Adalah Erin Gruwell (Hillary Swank), guru baru bahasa Inggris, yang ditugasi mengajar kelas bahasa Inggris di kelas 203 , kelas para murid bermasalah. Berbagai kejadian tak mengenakkan terjadi pada guru baru ini di awal-awal masa mengajarnya. Saling mencela antarmurid, tak mendengarkan pelajaran, hingga saling membuat olokan yang menjatuhkan atas nama perbedaan ras. Baru beberapa hari mengajar, Ibu Guru Gruwell melihat penyerangan geng di sekolahnya.

Hal ini akibat unsur kekerasan yang memang tak lepas dari kehidupan mereka. Kehidupan sehari-hari yang tak jauh dari keributan antargeng hingga kekerasan rumah tangga, amat berperan membentuk karakter keras meraka.

Mengerti

Gruwell adalah sosok optimistis. Ia percaya keadaan ini dapat dirubah untuk memberi mereka harapan hidup yang lebih baik. Walau mengubah mereka adalah persoalan yang tak mudah, seperti diyakini semua guru hingga kepala sekolahnya sendiri, ia tetap tak undur diri.

Sebelum mereka menjadi diri sendiri dan bijak merayakan perbedaan, mereka akan selamanya menjadi pembenci yang tak bisa berdamai dengan masalalu.

Cerita film ini terjalin begitu bagus. Diceritakan bagaimana usaha Gruwell menyatukan mereka, walau terus mendapat pertentangan dari sana-sini. Awalnya, dia suka membuka kelas dengan bahan-bahan yang tak jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Dia menggunakan album-album rapper Tupac Shakur dan Snoop Dog untuk memancing ketertarikan mereka pada pelajaran bahasa.

Ia menunjukkan bahwa pengertian adalah awal dari kepercayaan. "Mengerti lebih dulu, baru minta dimengerti" adalah prinsip ia pegang dalam mengajar anak-anak tipe bermasalah.

Berbagai pola terus ia kembangkan untuk mempersatukan mereka, kunci utama yang ia yakini demi kegiatan mengajar dapat berjalan. Dikisahkan bagaimana Gruwell membuat satu permainan, yang menurut saya amat brilian.

Pertama, ia membuat satu garis merah di tengah-tengah ruangan yang membagi kelas menjadi dua bagian. "Peraturannya sederhana, kalian dapat maju hingga garis merah jika saya membuat pernyataan yang kalian anggap sesuai dengan kalian," katanya riang menjelaskan peraturan permainan.

Ia sengaja membuat semua pertanyaan seputar kehidupan anggota geng. Semisal: "Siapa di antara kalian yang pernah memiliki teman yang mati akibat perkelahian geng, silahkan maju." atau "siapa yang memiliki teman yang dipenjara akibat perkelahian geng, atau bahkan kalian sendiri."

Pernyataan-pernyataan Gruwell ini ternyata mampu membuat para murid menyadari bahwa ada banyak kesamaan di antara mereka, terlepas perbedaan ras yang ada. Akhirnya mereka menyadari, bagaimana persoalan kekerasan dan perkelahian yang amat membekas dalam kehidupan mereka, ternyata turut dirasakan semua anak.

Setelah kebersamaan perlahan mulai terjalin di antara para-murid, Gruwell mengenalkan para murid pada buku Catatan Harian Anne Frank, Autobiografi terbitan tahun 1947 ini mengenai seorang anak yang lolos dari kekejaman rezim Nazi. Dari buku ini, ia hendak mengajarkan: dalam keadaan bagaimanapun, seburuk apapun, harapan akan perubahan tak akan pernah sia-sia.

Keterbatasan

Film ini amat menyentuh sisi kemanusiaan kita. Ia mampu menginspirasi dan menggugah kesadaran arti penting mengerti dahulu sebelum kita hendak dimengerti.

Betapa suatu tindakan kecil ternyata mampu mengubah kehidupan. Seperti Gruwell yang menanamkan rasa aman pada murid dengan membuat mereka lebih dulu percaya padanya. Dia menggugah para murid, mereka bisa memutuskan masa depannya sendiri.

Saatnya mereka memilih: mati sia-sia demi kejayaan geng, atau mengembangkan diri dan berpotensi menjadi satu-satunya orang dalam keluarga yang menyelesaikan sekolah. Di bagian akhir, ada epilog: sebagian besar dari para murid mampu lulus dengan angka yang memuaskan, bahkan tak sedikit yang melanjutkan hingga pendidikan tinggi.

Bagi saya, selain beberapa kali membuat mata saya 'brambang' alias berkaca-kaca, film ini makin meneguhkan niat mimpi saya dalam meraih kehidupan. Penolakan bukanlah tanda-tanda langit bakal runtuh.

Seperti tindakan Gruwell, keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Dari semua tindakan beraninya, ia menyiratkan keterbatasan dan penolakan hanyalah bagian dari proses pembentukan diri. Ia menguji kesungguhan kita dalam perjuangan hidup, dan sejauh mana keteguhan hati kita memperjuangkan apa yang kita anggap benar.

Dalam bukunya, Seven Habits of Highly Effective People, Stephen Covey membuat pernyataan yang amat bagus tentang hal ini. "TUHAN tahu menempatkan harga yang paling pas pada setiap anugerah yang IA sediakan bagi kita." Masalahnya, katanya, seberapa jauh kita mau membayar harga itu?

Benar juga kata Alexander Supertramp di film Into The Wild: "Jika akal ini dibatasi, kehidupan akan terhenti." Jika kita mampu menggunakan akal ini sebaik-baiknya, lanjutnya, akan ada banyak pintu yang tak terduga akan terbuka bagi kita.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Warna Baru Jurnalisme Indonesia

BUKU
Semarang, 9 Oktober 2008

Warna Baru Jurnalisme Indonesia
Oleh Anindityo Wicaksono

Judul: Jurnalisme Sastrawi (Antologi Liputan Mendalam dan Memikat)
Penulis: Tim Yayasan Pantau
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta
Cetakan: Kedua (Edisi Revisi), Mei 2008
Tebal: XXV+324 halaman

JURNALISME sastrawi atau jurnalisme literair adalah satu genre yang awalnya diperkenalkan wartawan-cum-novelis, Tom Wolfe. Setelah luas berkembang di Amerika Serikat di tahun 1960-an, beberapa pemikir jurnalisme lalu mengembangkan temuan Wolfe ini. Ada yang pakai nama "narrative reporting", "passionate reporting", hingga "explorative journalism".

Apapun sebutannya, genre ini adalah disiplin terberat dalam jurnalisme. Ia menelanjangi persoalan lebih dalam dari in-depth reporting. Risetnya pun mendalam, melibatkan ratusan narasumber dan memakan waktu berbulan-bulan.

Inilah yang membedakannya dari reportase sehari-hari. Gaya bertuturnya menggunakan pemaparan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.

Dengan begitu, ia tak lagi sekadar melaporkan seseorang melakukan apa, namun lebih menukik ke dalam psikologi tokohnya. Hasilnya: ada karakter, drama, babak, adegan, dan konflik.

Di Amerika Serikat, genre ini adalah jawaban media cetak ketika media elektronik membanjiri ruang publik. Karena kalah dalam kecepatan dan visualisasi dengan televisi, media cetak unggul dalam kedalaman.

Indonesia sendiri sudah mulai mengembangkan tehnik baru jurnalisme ini. Salah satunya seperti yang dilakukan majalah Pantau, majalah yang mengulas tentang media.

Delapan kisah di buku ini adalah kumpulan hasil tulisan di majalah Pantau pada medio tahun 2001-2004. Temanya beragam. Ada kisah pembunuhan orang-orang Aceh oleh tentara Indonesia di Lhoksumawe-Aceh, persaingan media di tengah konflik Maluku, hingga hikayat seorang pemulung yang mati dibakar warga di Jakarta Barat.

Panggilan Mulia

Ada perbedaan amat mencolok karya di buku ini dibandingkan karya-karya jurnalis Indonesia lainnya. Salah satunya di tulisan berjudul "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah. Alfian mengangkat kisah yang belum pernah ditulis wartawan Indonesia: keseharian tentara Indonesia di daerah-konflik Aceh.

Demi menghadirkan kisah bertutur yang memikat, dua bulan penuh Alfian mengikuti tentara Indonesia di Aceh. Dari hidup bersama di barak, keluar-masuk hutan mencari target operasi, hingga menyisiri desa-desa yang dicurigai tempat persembunyian GAM.

Hasilnya, karyanya mampu merekam sisi jenaka serdadu seperti di film Forest Gump atau pertentangan batin mereka merindukan keluarga seperti film Casuality of War dan Saving Private Ryan. Juga serunya dar-der-dor gencatan senjata dengan GAM seperti di film We Are Soldiers.

Sebutan prosa terbaik dan paling orisinal yang pernah ditulis jurnalis Indonesia, testimoni penerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003 Maria Hataningsih., tampaknya tak berlebihan.

Keseluruhan tulisan di antologi liputan ini mengesankan. Walau cerita dijalin dengan kata-kata panjang, ia sukses membuat pembacanya betah berlama-lama. Penggambarannya penuh detail. Bahasanya pun memikat, penuh emosi.

Bukan hanya itu, karya-karya ini tak cuma mewakili sesuatu yang baru dan menarik dalam jurnalisme di Indonesia. Namun juga memenuhi panggilan mulia setiap wartawan: melayani warga.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Mahesa Jenar Terpuruk di Zona Degradasi

OLAHRAGA
Semarang, 7 Oktober 2008
Mahesa Jenar Terpuruk di Zona Degradasi
*Dipecundangi Tim Tamu Sriwijaya FC 1-2
Oleh Anindityo Wicaksono


PSIS SEMARANG dipaksa mengakui keunggulan Sriwijaya FC dengan skor 1-2 di depan pendukungnya sendiri. Kekalahan kedua di kandang ini membuat tim "Mahesa Jenar" makin terpuruk di zona degradasi dengan peringkat ke-17 klasemen sementara.

Pada laga lanjutan Indonesian Super League (ISL) 2008 di Stadion Jatidiri Semarang, semalam, PSIS gagal memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah. Sebaliknya, Sriwijaya FC menunjukkan kelasnya sebagai juara bertahan liga dengan sukses mereguk poin penuh di partai tandangnya.

Sejak menit-menit awal, kedua kesebelasan saling bergantian mengambil inisiatif serangan. Umpan-umpan panjang dan tempo permainan yang lambat diperagakan kedua skuad di awal pertandingan.

Bersama permainan cantik playmaker Zah Rahan sebagai pengatur ritme, jalinan serangan yang digalang ketiga motor "Laskar Wong Kito" yaitu Keith Kayamba, Ngon A Djam, dan Obiora mendobrak hingga jantung pertahanan lawan.

Namun, lini pertahanan tim tuan rumah dengan palang pintunya Idrus gunawan, tak mudah ditembus. Rongrongan serangan lawan mampu diredam lewat jebakan perangkap offside yang terjaga rapi.

Para pemain belakang PSIS sempat membikin frustasi striker Ngon A Djam dan Keith Kayamba yang berkali-kali kena jebakan offside. Walhasil, tekanan Sriwijaya FC lebih banyak dilakukan lewat tendangan-tendangan spekulasi jarak jauh.

Selama babak pertama, PSIS beberapa kali merepotkan pertahanan lawan. Terutama lewat sektor sayap kiri oleh Prananda Aditya dan Castano yang disokong bek sayap Deny Rumba. Namun, faktor ketidaktenangan dan kurangnya kordinasi antar-lini membuat tekanan demi tekanan kandas di barisan belakang lawan.

Meski tak diperkuat bek tengah andalnya Amrizal akibat akumulasi kartu, lini belakang Sriwijaya FC terbukti tetap solid. Bek Charis Yulianto, Christian Warobay, Toni Sucipto, dan Safrudin disiplin dalam mengamankan daerah pertahanan. Ditambah pemain tengah bertahan Wijay yang bermain gemilang, serangan tuan rumah kerap dipatahkan sejak di tengah lapangan.

Skill di atas rata-rata yang dimiliki para pemain ekspatriat mereka, terutama dalam mengeksekusi bola-bola mati, menjadi kunci kemenangan tim tamu. Gol pertama bermula dari pelanggaran pada Wijay di luar kotak pinalti pada menit ke-28. Hadiah tendangan bebas ini tak disia-siakan Ngon A Djam dalam mengeksekusi.

Lewat sepakan akurat ke pojok kanan gawang, si kulit bundar meluncur deras menjebol gawang kiper Agus Murod.

Kecolongan

Memasuki babak kedua, Idrus dkk berusaha mengejar ketertinggalannya. Bambang memasukkan Anwaruddin menggantikan Prananda Aditya demi menyuntikkan daya dobrak dan kreasi serangan sektor sayap.

Strategi ini terbukti ampuh. Mahesa Jenar berulangkali menekan tim tamu dengan memanfaatkan lebar lapangan. Sejak menit pertama babak kedua, inisitif serangan ganti diambil PSIS. Baru 12 menit babak kedua, tim asuhan Bambang ini berhasil menyamakan kedudukan.

Gol berawal dari tusukan Anwarudin di menit ke-57 setelah berhasil menembus masuk kotak 12 pass. Bola lalu disontekkan Salomon yang sedang dikawal ketat. Menang di duel udara, Salomon berhasil melepaskan tandukan ke kiri gawang dan sukses memperdaya kiper Fery Rotinsulu.

Gol tersebut justru melecutkan semangat para skuad Sriwijaya FC. Anak-anak binaan Rahmad ini bangkit dengan menyuguhkan tempo permainan cepat. Permainan umpan-umpan pendek satu-dua dari kaki ke kaki diperagakan Laskar Wong Kito ini.

Demi meredam serangan Keith Kayamba dkk, Bambang memasukkan bek Edson menggantikan Idrus. Namun keputusan ini ternyata membawa celaka. Pada menit ke-62, satu menit setelah Edson masuk, gawang PSIS kembali bobol lewat tendangan-kanon Zah Rahan dari luar kotak 12-pass.

Awalnya, Sriwijaya FC mendapat hadiah tendangan bebas di luar kotak pinalti. Keith Kayamba yang menjadi eksekutor. Melihat kelengahan lawan, lalu dengan cerdik Keith cepat-cepat menyodorkan bola kepada Zah Rahan yang tak terkawal.

"Set piece" ini diteruskan Zah Rahan dengan tendangan-mendatar keras ke pojok kanan gawang. Si kulit bundar menembus pagar hidup dan menggetarkan jala kiper Basuki yang menggantikan Agus Murod di akhir babak pertama. Dengan gol ini, Zah Rahan menambah pundi golnya menjadi lima di musim ini bersama Sriwijaya FC, sekaligus skor penentu kemenangan tim tamu.

Ketinggalan satu skor, PSIS bangkit mengejar ketertinggalan. Sektor sayap kembali merongrong lini belakang lawan. Demi mengawal kemengangan, Rahmad memasukkan bek Nasuha dan Slamet Riyadi menggantikan Isnan Ali dan Christian Waroba.

Di sisa waktu yang ada, usaha kesebelasan Mahesa Jenar dalam mengejar ketertinggalan tak berbuah gol. Skor 1-2 untuk kemenangan Sriwijaya FC bertahan hingga peluit panjang dibunyikan.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Pasar Johar Mulai Ramai

BERITA

Semarang, 7 Oktober 2008
Pasar Johar Mulai Ramai
*Harga Daging Masih Tinggi
Oleh Anindityo Wicaksono


MEMASUKI H+6 Lebaran, Selasa (7/10), di Pasar Johar Semarang mulai terlihat ramai. Setelah sempat sepi akibat ditinggalkan para pedagangnya pulang kampung, transaksi perdagangan di pasar induk Kota Semarang ini berangsur normal. Para pedagang mulai menempati los-los pasar.

Kusminah (48), salah seorang pedagang, kemarin, mengatakan, meski ada sejumlah pedagang yang belum berjualan, keramaian pembeli mulai terlihat normal seperti hari biasa.

Pantauan di lapangan, harga-harga kebutuhan yang naik selama Ramadan, belum turun. Namun ada juga yang mengalami penurunan cukup signifikan dibanding ketika Lebaran. Harga kelapa parut misalnya, dari Rp 7.500 per kg selama Ramadan, kini turun jadi Rp 5.000 per kg.

Jumini (45), pedagang daging, mengatakan, untuk daging ayam dan sapi, harganya masih tinggi, sama ketika Lebaran. Harga ayam utuh Rp 25 ribu per kg, sedang ayam potong Rp 35 ribu per ekor. Harga daging sapi, lanjutnya, juga belum turun sejak mengalami kenaikan saat menjelang Lebaran. Masih Rp 60 ribu per kg.

Kurang Pasokan

Lonjakan harga ini, katanya, akibat jumlah pasokan daging dari peternak yang memang berkurang sejak Ramadan. "Jumlahnya berkurang hingga 30 persen dibanding biasanya," ujarnya.

Dikatakannya, pascakenaikan harga, banyak pedagang daging seperti dirinya yang merugi. "Total nilai kerugian saya, terhitung sejak Ramadan, mencapai sekitar Rp 1,5 juta. Omzet pembelian terus menurun akibat melemahnya daya beli masyarakat yang tak sanggup mengikuti kenaikan harga," tuturnya.

Aminah (37), seorang pembeli, mengeluhkan tingginya harga daging. "Kalau selama Ramadan hingga hari raya harga daging melambung tinggi, saya lumrah," sambatnya, "tapi kalau sudah seminggu pasca-Lebaran belum juga turun, tentunya memberatkan pembeli," kata warga Jagalan Semarang ini.

Dia meminta pemerintah supaya menindaklanjuti kondisi ini. "Jangan sampai kurangnya pasokan daging dari peternak membuat harga di pasar menjadi tak terkendali. Pembeli dan pedagang kecil yang jadi korbannya," pungkasnya.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Pemudik Keluhkan Kondisi Terboyo

BERITA
Semarang, 23 September 2008

Pemudik Keluhkan Kondisi Terboyo
Oleh Anindityo Wicaksono


BEBERAPA pemudik mengeluhan kondisi Terminal Terboyo Semarang yang kian kotor dan tak nyaman. Selain itu, hingga siang hari, masih terlihat sejumlah titik genangan limpasan air laut (rob) di areal pelataran parkir bus.

Menurut Sulaiman (28), pemudik tujuan Gresik, Jawa Timur, kemarin, kondisi ini menjadikan sebagian besar penumpang tak betah berlama-lama di terminal. Padahal, seharusnya terminal dapat menjadi tempat beristirahat bagi para penumpang. "Terutama yang kelelahan akibat menempuh perjalanan jauh," katanya.

Menurut pantauan, selain kotor, kios-kios dalam terminal juga terkesan tak teratur. Ruang tunggu tak nyaman karena panas dan sempit. Selain itu, limpasan rob pun masih terlihat menggenang di pelataran parkir bus, khususnya emplasemen bus jurusan selatan.

Menurut Kepala Terminal Terboyo Ganin Bimantoro, rencana peninggian sebanyak 20 cm untuk emplasemen bus jurusan selatan, baru akan dilaksanakan di pertengahan 2009. Hingga kini, peninggian baru selesai untuk emplasemen bus jurusan timur. "Untuk areal bus kota, proses pengerjaannya baru selesai 50 persen," katanya.

Menurut dia, genangan rob terjadi akibat belum ratanya permukaan jalan. "Permukaan tanah ambles antara 5-10 cm. Hal ini mulai terjadi sejak sekitar tahun 2000, ketika pembangunan industri mulai marak di sekitar terminal," ujarnya.

Dia mengakui, perbaikan infrastruktur yang tak kunjung selesai telah mengurangi kualitas pelayanan bagi masyarakat pengguna terminal. Keluhan yang sering diterimanya antara lain genangan rob, bau kurang sedap, hingga kerusakan jalan dan bangunan pendukung seperti ruang tunggu dan toilet umum.

Walau begitu, dia menganggap tudingan anggota komisi V DPR-RI Adjie Massaid yang menyatakan kondisi terminal jauh dari layak dan tidak memanusiakan manusia, terlalu berlebihan. Seperti diberitakan, hal ini dikemukakan Adjie ketika bersama anggota komisi V DPR meninjau kesiapan arus mudik dan arus balik di Terminal Terboyo, Mangkang, dan Stasiun Tawang, Sabtu (20/9).

Diakuinya, walau dari segi estetika dan kenyamanan, terminal masih perlu mendapat perhatian, fungsi utama pelayanan terminal seperti kelaikan jalan, kemanan, ketertiban tarif, serta kesiapan armada, selama ini telah cukup terpenuhi. "Tinggal dari mana kita memandang persoalan ini," katanya.

Menurut dia, tolok ukur keberhasilan utama fungsi terminal dalam angkuran Lebaran ada dua. Pertama tertib tarif, kedua tidak ada keluhan penelantaran penumpang di jalan oleh pengemudi bus.

Mangkang

Terpisah, pakar transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, meski cenderung berlebihan, masukan dari anggota komisi V DPR ini patut menjadi perhatian pemerintah. "Selama ini, kesan kotor, tergenang rob, tidak nyaman, serta jalanan yang selalu macet, masih menjadi citra buruk Terminal Terboyo," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah perlu melakukan inovasi bagi peningkatan kualitas pelayanan Terminal Terboyo. Dicontohkannya, karena udara daerah Terboyo panas, ruang tunggu terminal perlu diberi AC. "Selain itu, toilet umum pun harus bersih," katanya.

Pemkot bisa mencontoh pengelolaan di terminal induk Surabaya dan Purwokerto yang membaik setelah diserahkan pada pihak swasta yang profesional. Terbukti, lanjutnya, langkah ini mampu membuat terminal menjadi tempat yang lebih nyaman.

"Selain itu, seiring pelayanan meningkat, potensi pendapatan asli daerah (PAD) pun akan terdongkrak," ujar staf pengajar Tehnik Sipil Unika Soegijapranata Semarang ini.

Dia mengkhawatirkan Terboyo akan makin tak terurus ketika nantinya pembangunan Terminal Mangkang selesai. "Jangan sampai ketika Mangkang jadi, Terboyo ditinggalkan. Fungsinya penting untuk menunjang pelayanan transportasi. Jika Mangkang untuk jurusan ke barat, Terboyo ke timur," tuturnya.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Pelajaran dari Galabo Solo

KULINER

Surakarta, 22 September 2008
Pelajaran dari Galabo Solo
Oleh Anindityo Wicaksono


MALAM tadi saya berkunjung ke pusat wisata kuliner Kota Solo: Gladag Langen Bogan (Galabo). Letaknya di sepanjang Jl Mayor Sunaryo, Gladag, Solo (utara kawasan alun-alun utara). Bukanya cuma malam hari, dengan menutup jalan umum di depan pusat batik Pusar Grosir Solo (PGS) dan Beteng Trade Center (BTC).

Galabo? Ya, walau pusat jajanan ini baru buka sejak Januari 2008, namanya sudah terkenal seantero Solo dan sekitarnya. Ditambah publikasi dari salah satu televisi swasta belum lama ini, tambah masyhurlah tempat ini menjadi ikon para pecinta wisata-kuliner.

Sebagai pusat kuliner terbesar dan terlengkap di Solo, segala macam makanan bisa kita temui di titik pusat kota atau nol KM dari Solo ini. Dari makanan tradisi gudeg, nasi liwet, tiwul goreng, es dawet, hingga masakan mancanegara macam martabak Mesir, nasi goreng India, hingga kebab Turki.

Pengunjung di arena foodcourt ini selalu membludak, terutama di musim liburan. Jika di hari biasa jumlah pengunjung sebanyak 1.500-2.000 orang, di malam libur mencapai 3-4 ribu pengunjung.

Tak sedikit para pengunjung yang berasal dari kota-kota besar. Hal ini terlihat dari banyaknya kedaraan berplat luar Solo di areal parkiran. Pengunjungnya pun berasal dari segala golongan; mulai sepeda motor butut sampai mobil-mobil mewah.

Berdasarkan papan informasi, total ada 43 pedagang kaki lima (PKL) makanan di situ. Menurut seorang pedagang, Widodo (25), tempat itu diprakarsai Pemkot Surakarta. Agar tertib dan memudahkan pemantauan, kata Widodo (25), salah satu pedagang, tak sembarang pedagang boleh berjualan di situ.

Gerobak besi dan kursi serta payung peneduh disediakan gratis pemkot. "Pedagang hanya diwajibkan membayar pajak penghasilan (PPH), serta sewa listrik dan air," ujar warga Nusukan Solo ini.

Dari nama-nama di plang kios, sebagian besar adalah PKL makanan yang namanya sudah tak asing. Kios susu segar "Si Jack", misalnya. Kios yang khusus menjual susu segar ini memang sudah legendaris bagi warga Solo pecinta-makan.

Di cabang pusatnya, kios ini selalu ramai pengunjung. Sesuai namanya, menu yang tersaji sebagian besar susu segar dengan aneka variasinya. Ada susu stroberi, coklat, sundae, milkshake, hingga susu soda gembira yang berbahan susu segar. Bukan susu kaleng seperti umumnya tempat lain.

Harganya terbilang relatif murah. Dawet misalnya, dijual seharga Rp 4 ribu per porsi. Sedang nasi goreng paling murah mulai Rp 6 ribu per porsi.

Selain akrab dengan kantong dan beraneka ragam jenis makanannya, kawasan pusat wisata kuliner Gladag sangat nyaman. Terutama dijadikan tempat berkumpul. Tempatnya teduh, jalannya sudah di-pavling semua, dan, yang terutama: aman.

Gerobak makanannya berjejer teratur secara paralel. Rapi di satu baris. Penjaja kiosnya ramah-ramah. Bahkan, sebagai penarik, tak sedikit wanita-wanita muda yang tampil modis dengan baju batik atau rok mini 'mejeng' menjadi penjaga kios.

Kutha Budaya

Solo memang sedang banyak berbenah akhir-akhir ini. Terutama sejak ia mengusung slogan "Kutha Budaya" atau "City of Heritage" (kota warisan-budaya) dengan punggawanya: Walikota Solo, Djoko Widodo.

Bersih, nyaman, dan berbudaya. Itulah kesan yang saya tangkap dari wajah baru kota ini.

Persoalan PKL liar tampaknya perlahan mulai terselesaikan di kota Keris ini. Sejak dari Jl Slamet Riyadi hingga alun-alun kota, kita sepi mendapati tumpuk-menumpuknya PKL liar di sepanjang jalan. Seperti yang biasa kita temui di Jakarta, Semarang, atau kota besar lainnya.

Menurut teman saya warga Solo, Terminal Tirtonadi Solo kini juga makin nyaman dan sedap dipandang. Para PKL dan aneka kios yang tadinya saling berhimpit di areal depan maupun dalam terminal kini sudah direlokasi. Akibatnya, saluran-saluran air yang tadinya tertutup akibat menjadi tempat berjualan, sekarang bisa direnovasi.

Menurut saya, pengelolaan model begini patut kota besar lain tiru. Terutama Kota Semarang sebagai ibukota provinsi yang sedang gencar menuju kota perdagangan dan jasa. Walikota Semarang Sukawi Sutarip sepatutnya "berguru" pada Joko Widodo. Sebagai punggawa daerah, Joko terbukti mampu memegang komitmenn dalam membenahi kotanya. Terutama dalam urusan pembangunan fasilitas umum dan PKL.

Persoalan PKL yang selama ini menjadi momok penghambat pembangunan, toh dapat teratasi jika mau bijak disikapi. Kesalahan terbesar para kepala daerah selama ini adalah cenderung memberlakukan kebijakan satu-arah yang kerap terlalu memihak pemodal.

Walhasil, para pedagang tak diberi ruang menyampaikan pendapatnya. Penggusuran pedagang (baca: penertiban) jarang yang memberi solusi. Pemkot sebagai pengayom daerah, justru menjadi kerikil penghambat gerak roda perekonomian rakyat.

Seperti di Gladag, ternyata PKL mampu menjadi pesona kota dan saling bersinergi menjadi sumber pemasukan daerah. Galabo telah menepis segala anggapan miring tentang mental pedagang-pinggiran yang tak mau kalah cum antikompromi. Ketika pemda setempat mau memfasilitasi sarana-prasarana bagi pedagang, ternyata mereka siap memberi pelayanan prima.

Saya yakin, Galabo kelak dapat menjadi salah satu pusat percontohan revitalisasi PKL Apalagi sektor ini selama ini yang menjadi PR di banyak daerah. Kini pertanyaannya, bisakah Semarang punya kawasan wisata kuliner terpadu yang merakyat? Bukan seperti kawasan pecinan Semawis atau Tanah Mas yang makanannya serbamahal? Semoga.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Menyusuri Asal-usul Lunpia Semarang

KULINER
Semarang, 18 September 2008

Menyusuri Asal-usul Lunpia Semarang
Oleh Anindityo Wicaksono

MENUNGGU PEMBELI: Purnomo Husodo (70), generasi ketiga lunpia Semarang,
tampak sedang menunggui pelanggan di kios miliknya. (FOTO: Anindityo Wicaksono)

KOTA Semarang dijuluki kota lunpia karena kekhasan lunpia miliknya yang tidak ditemui di daerah lain. Namun, tahukah Anda, sebelum dikenal luas masyarakat, lunpia berasal dari Tiongkok dan memiliki tradisi turun termurun keluarga?

Awalnya, lunpia pertama kali dibawa ke Semarang oleh pemuda Tiongkok, Jwa Dayu, pada tahun 1930. Sesuai kemampuan yang dia miliki, dia mengadu nasib di Semarang dengan berdagang keliling lunpia dari kampung ke kampung.

Pada tahun 1940, usaha makanan yang terbuat dari bahan rebung (bambu muda) ini diteruskan anaknya, Siem Gwan Sing. Siem lalu meneruskan estafet usaha keluarga ini dengan membuka sebuah kios lunpia di Jl Gang Lombok 11.

Ketika dia wafat pada tahun 1956, usahanya diteruskan tiga orang anaknya yaitu Siem Swie Kiem, Siem Swie Hie, dan Siem Hwa Nio. Namun hanya Siem Swie Kiem yang meneruskan kios lunpia di Gang Lombok milik bapaknya.

Dua anak lainnya membuka usaha serupa di tempat lain dengan maksud ingin mandiri. Siem Swie Hie membuka kios lunpia di Jl Pemuda dan Siem Hwa Nio di Jl Kampung Baris 501 Mataram.

Walau sampai kini ketiga kios ini masih bertahan, tinggal Swie Hie atau Purnomo Usodo (70) seorang yang masih hidup. Dia adalah satu-satunya generasi ketiga perintis lunpia Semarang yang hingga kini setia meneruskan usaha tradisi keluarga.

Menurut Purnomo, pedagang lunpia yang tersebar luas di kawasan Jl Mt Haryono dan Jl Pandanaran, pada mulanya adalah para karyawannya. "Setelah dirasa mampu, saya dorong mereka untuk membuka usaha sendiri," katanya.

Untuk menghindari pencantuman nama tanpa ijin pada kios lunpia miliknya, pada tahun 1996 dia mendaftarkan hak paten usahanya dengan nama "Lunpia Semarang Gang Lombok."

Cita Rasa

Kios ini setiap harinya buka pukul 08.00-17.00. Dalam kios berukuran 3x5 meter ini, Purnomo selalu ditemani dua pegawainya yang setia membantunya sejak kali pertama ia berjualan, Djafar (50) dan Suparman (50). Selain mereka, ada tiga orang pegawai lain di rumahnya yang bertugas meracik isi lunpia.

Keistimewaan lunpia Gang Lombok yang gurih terletak pada isinya. Sebelum digoreng dengan dilapisi kulit, rebung terlebih dulu dicampur ikan pihi, telur, dan udang. Cita rasa gurih berasal dari ikan pihi. "Inilah yang membuat lunpia di sini gurih dan tidak amis seperti di tempat lain," ungkapnya.

Racikan yang berbeda ini membuat lunpia di sini lebih mahal dibanding tempat lain. Untuk setiap porsinya, lunpia basah maupun goreng dijual seharga Rp 9 ribu. Sedangkan harga lunpia di kios-kios lain seperti di Jl Mataram dan Jl Pandanaran yaitu Rp 5 ribu-Rp 7 ribu per porsi.

Namun harga yang terhitung lebih mahal dibanding kios-kios serupa ini tak mengurangi minat para pelanggannya. "Meski mahal, rasanya lebih spesial dibanding tempat lain," kata seorang pembeli Dita (25), "selain racikan rebungnya gurih, campuran telur dan udangnya tidak berbau amis."

Menurut Purnomo, kiosnya selalu ramai pengunjung di masa liburan Lebaran atau Tahun Baru. “Jika hari biasa menjual 400-500 lunpia sehari, pada masa liburan saya mampu menjual hingga 1.500 lunpia sehari,” katanya.

Dia mengatakan, pada masa liburan, banyak pengunjung yang berasal dari luar kota seperti Jakarta dan Surabaya. Bahkan, katanya, ada pelanggan lamanya yang sedang tinggal di Singapura dan Jerman, selalu membeli lunpia miliknya ketika sedang pulang ke Semarang.

Meski dari hasil berdagang lunpia selama 56 tahun ini membuatnya berhasil menyekolahkan anaknya hingga universitas, dia tidak sombong. Hingga kini, Purnomo masih tetap melayani sendiri pelanggannya.

Kesuksesan ini, katanya, tak lepas dari peran Jwa Dayu dan Siem Gwan Sing. “Mereka pasti bangga, usaha lunpia yang mereka rintis, kini menjadi makanan khas kebanggan warga Semarang," ujarnya.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Ketika Gamelan Tak Lagi Diminati

FEATURES
Semarang, 17 September 2008

Ketika Gamelan Tak Lagi Diminati
Oleh Anindityo Wicaksono

BERMAIN DEMUNG: Mbah Parjo (78), sedang memainkan alat musik
tradisonal Demung buatannya, Rabu (17/9).
(FOTO: Anindityo Wicaksono)

TRADISI kuno menyebutkan, irama gamelan Jawa berasal dari kepribadian asli Jawa yaitu keselarasan. Berbeda dengan ritme gamelan Bali yang rancak dan Sunda yang didominasi seruling, gamelan Jawa lebih lembut. Dengan memainkannya, kita diharapkan mampu mengatur keseimbangan emosi dan menata perilaku yang laras dan harmonis.

Kini, di tengah gempuran budaya modern, musik tradisi bernilai luhur ini kian terpinggirkan, terutama oleh kaum muda. Seiring menurunnya peminat, pengrajin gamelan pun nyaris selalu sepi orderan.

Kondisi ini ternyata tak mengurangi kesetiaan Mbah Parjo (78) pada alat musik tradisi ini. Kini, Mbah Jo Gong, begitu dia dikenal masyarakat, terus berusaha melestarikan aset budaya Jawa ini dengan bertahan menjadi satu-satunya pengrajin gamelan di Semarang.

“Sudah selama 56 tahun saya setia membuat gamelan,” katanya ketika ditemui di kediamannya di Jalan Dworowati Raya 4, Kelurahan Krobokan, Semarang, kemarin.

Awalnya, pria asli Bekong Surakarta ini mulai belajar pembuatan gamelan di Desa Gendingan, Mangkunegaran, Surakarta. Ketika berusia 18 tahun, dia bekerja pada seorang pembuat gamelan ternama yang bernama Mpu Kartopandoyo.

Ketika itu, katanya, dia hanya boleh ikut membantu, belum boleh belanja bahan dan membuat sendiri. Setelah dua tahun bekerja, barulah dia diperbolehkan menempa logam dan 'nglaras' (menyetel nada gamelan). "Oleh guru saya, saya dijuluki 'Darso Berdhonggo', artinya Darso si tukang gamelan," kenangnya.

Ketika dianggap mampu mandiri, Mpu Kartopandoyo menyuruhnya ke Semarang untuk membuka usaha sendiri. Syaratnya, dia tidak boleh buka usaha lain selain membuat gamelan dan harus menurunkan ilmunya pada orang lain. "Ketika itu saya dipinjami modal sebesar Rp 10, jaman sekarang nilainya sekitar Rp 2,5 juta," ujarnya.

Di Semarang, seiring namanya makin dikenal penikmat gamelan, usahanya berkembang pesat. Pesanan terus berdatangan dari dalang, sekolah-sekolah, hingga instansi-instansi daerah. Cukup sering dia mendapat order dari kota-kota lain di Jawa Tengah selain Semarang.

Ketika itu, sempat dia mengantongi ijin usaha untuk kerajinan timah dan tembaga. Nama perusahaannya, Perusahaan Gamelan "Gotong Royong". Area di belakang rumah, dia jadikan tungku pembakaran bahan baku. "Waktu itu belum ramai penduduk seperti sekarang. Asap dari tungku tidak terlalu mengganggu warga," kata ayah lima putra ini.

Tergantung Bahan

Sekitar tahun 1980-an, ketika omzet usahanya terus mengalami penurunan, ijin itu dia kembalikan karena pendapatannya tidak sanggup menutupi pajak tiap tahunnya. Bahkan, aku dia, sudah tiga bulan terakhir ini tak ada pesanan maupun panggilan jasa nglaras gamelan sama sekali.

Menurut dia, peminat gamelan mulai sepi sejak campur sari marak. “Apalagi ketika musik barat dan karaoke mulai digandrungi," jelasnya yang mengaku hanya sekolah sampai kelas tiga Sekolah Rakyat (setingkat SD) ini.

Harga satu set gamelan beragam tergantung jenis bahan bakunya. Untuk bahan perunggu, misalnya, mencapai Rp 360 juta. Sedangkan besi lebih murah yaitu sekitar Rp 40 juta.

Bahan baku amat menentukan warna dan ketepatan nada gamelan. Gamelan paling baik suaranya, berbahan perunggu. “Tapi karena biayanya sangat mahal, biasanya digantikan kuningan atau besi kualitas unggul, meski tak bisa semerdu perunggu," ungkapnya.

Selain nada, besarnya selisih harga dikarenakan kualitas bahan sangat menentukan usia alat sebelum berkarat. Dia mencontohkan, umur gamelan dari besi mencapai 10 tahun, kuningan 50 tahun, dan perunggu bisa sampai 80-100 tahun.

Dia menuturkan, untuk satu set gamelan bahan perunggu, proses pembuatannya memakan waktu satu bulan dengan pekerja 12 orang. Bahan kuningan lebih cepat yaitu 20 hari. "Gamelan perunggu komposisi bahannya 10:3, yaitu 10 perunggu, 3 timah," katanya.

Satu set lengkap gamelan khas Jawa, lanjutnya, terdiri dari gambang, senthem, bonang, tenong, peking, saron, gender, demung, siter, kempul, dan gong.

Prihatin

Laras dalam gamelan Jawa adalah nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog.

Slendro, terangnya, memiliki 5 nada per oktaf dengan perbedaan interval kecil yaitu 1-2-3-5-6. Sedangkan pelog, memiliki 7 nada per oktaf dengan perbedaan interval besar yaitu 1-2-3-4-5-6-7. "Untuk nglaras gamelan, saya harus berkiblat pada satu demung yang dijadikan patokan, tidak boleh meleset," ungkapnya.

Dia mengaku masih kesulitan untuk memasarkan sendiri. Kendala pemasaran dan modal kerap menjadi hambatan usahanya. "Pernah karena lama tak mendapat order, saya coba titipkan gamelan pada toko barang antik. Namun hingga 1,5 tahun tak laku-laku," tuturnya.

Selain karena usaha gamelannya yang terus merugi, ada lagi yang menjadi keprihatinan Mbah Jo Gong. Sebagai pengrajin gamelan tertua di Semarang, dia mengkhawatirkan masa depan musik gamelan akibat mulai ditinggalkan generasi muda.

Dari kelima anaknya, ujarnya, hanya satu yang hingga kini membantunya ketika ada orderan. "Sisanya, lebih memilih pekerjaan lain yang lebih menguntungkan ketimbang sekadar membuat gamelan,” pungkasnya.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...