29 November 2008

Bina Mereka, Bukan Binasakan!

KOLOM
Semarang, 29 November 2008
Bina Mereka, Bukan Binasakan!
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.kompas.com)

PERSEPSI bahwa moderenisasi adalah sumber melejitnya angka kriminalitas ternyata tak berlaku bagi Jepang. Meski menyandang julukan sebagai negara industri termoderen, nyatanya angka kriminalitas di negeri sakura ini terendah di antara negara-negara industri lain, seperti; AS, Perancis, Jerman dan Inggris.

Bahkan, ibu kota negara, Tokyo, dengan jumlah penduduk 12 jutaan di siang hari dan 9 jutaan di malam hari, luas disebut-disebut sebagai salah satu kota metropolis teraman di dunia. Menurut Jurnal Studi Kepolisian Edisi 66/Mei-Agustus 2008, pada 2004, reputasi kecepatan polisi dari koban (jejaring pos polisi di wilayah ketetanggaan) mencapai tempat kejadian kriminal setelah pelaporan, hanya memakan waktu 7 menit 15 detik (Jurnalnet.com).

Itulah mengapa citra polisi Jepang di mata masyarakatnya menjadi begitu positif. Tidak mengherankan, ada banyak cerita yang menyebutkan bahwa sudah biasa di Jepang, ketika seseorang yang menemukan dompet tergeletak di jalanan, lantas menyerahkannya kepada pos polisi terdekat.

Keadaan ini jauh bertolakbelakang dengan polisi kita. Di sini, citra pekerjaan polisi sudah terlanjur negatif. Polisi dianggap kaki-tangan rezim dalam menangkapi rakyat kelas teri yang dianggap melanggar hukum. Atau bahkan, semacam centeng yang berpihak kepada siapapun yang mampu menyokong kesejahteraanya.

Segala usaha seperti "Polisi Sahabat Anak" yang bertujuan mendekatkan imej baik polisi, ternyata tak banyak merubah keadaan. Polisi lalu lintas masih tetap lekat dengan pameo "semua bisa diatur". Ketika seseorang pengguna jalan melanggar peraturan, kita sudah akrab dengan pilihan ekstra selain tilang: "berdamai" dengan imbalan beberapa lembar uang ribuan.

Cita negatif ini pula yang membuat operasi pembersihan preman yang kini dilakukan serentak di seluruh Indonesia disambut skeptis oleh masyarakat. Bahkan, operasi yang diperintahkan langsung oleh Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri ini seakan kembali membangkitkan kenangan buruk masyarakat pada kasus penembakan misterius ("petrus").

Kasus "petrus" yang terjadi di paruh awal dekade 1980-an ini memang masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian masyarakat. Pasalnya, meski bertujuan mulia-pengurangan angka kriminalitas-nyatanya cara yang diambil aparat mengangkangi rasa kemanusiaan. Mereka membunuhi satu persatu orang-orang yang disinyalir sebagai preman yang telah lama membuat resah masyarakat.

Sepanjang 1984--1985, tercatat 181 orang tewas, 43 orang diantaranya ditembak. Para preman yang sebagian besar bertato ini ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan mereka dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun (Wawasan, 26 Januari 2008). Tampaknya, rezim berkuasa waktu itu punya prinsip: "Kalau tak mau dibina, ya, kita binasakan!"

Premanisme

Kita semua tentunya sepakat, premanisme adalah kegiatan yang meresahkan masyarakat. Mulai dari yang beroperasi di jalanan, mencopet di pasar-pasar, hingga yang tergabung dalam semacam geng yang berjejaring, semuanya harus diberantas tuntas hingga ke akar-akarnya.

Jika ditanya, siapapun pasti sepakat bahwa rasa keamanan adalah sesuatu yang didambakan dari sebuah negara. Dengan tingkat keamanan yang tinggi, aktivitas ekonomi, bisa berjalan tanpa tersendat. Sebaliknya, membiarkan premanisme berlarut-larut hanya akan menciptakan atmosfir yang memungkinkan mereka terus berkembang secara sistematis.

Namun, kita tak boleh lupa pada aspek lain yang menjadi faktor tumbuhnya premanisme. Dalam menegakkan keamanan, para petugas harus mendalami pula keseluruhan permasalahannya. Mereka tak boleh melupakan realitas bahwa premanisme bisa lahir dan bertunas di masyarakat karena berbagai faktor, seperti lingkungan, ekonomi, hingga sosial-budaya.

Maka dari itu, operasi pemberantasan pelaku kejahatan seperti sah-sah saja dilakukan, sepanjang tetap di bawah koridor hukum. Syarat sebagai negara hukum harus tetap terpenuhi. Jangan mentang-mentang penjahat kerah-dekil langsung ditembak. Adili mereka. Meskipun mereka masuk kategori penyakit masyarakat, mendapatkan keadilan adalah hak asasi segenap manusia yang harus dipenuhi negara. Yang salah itu tindakannya, bukan orangnya.

Kita juga menghimbau bahwa operasi preman harus diikuti dengan penyadaran, pembekalan mental, dan pembekalan ketrampilan. Pasalnya, tak ada preman yang lahir atas dasar panggilan hidup. Semua yang memilih hidup dari kejahatan pastilah karena terpaksa. Selain memilih lingkungan salah, mereka juga tak memunyai keterampilan lain selain mencuri, merampoki, atau menodong dalam menghidupi diri dan keluarga.

Tidak mengherankan, mayoritas penghuni penjara adalah penjahat kambuhan: mereka yang keluar-masuk bui begitu cepatnya. Tenggelam sebentar, pascaoperasi kemudian muncul lagi.
Kewajiban untuk mengatasi masalah preman tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada polisi. Operasi penjaringan harus diteruskan pada institusi lain yang bisa mengurus lebih jauh, terutama untuk urusan bina mental dan pembekalan keterampilan mereka.

Ingat, preman tetap manusia yang perlu dimanusiakan. Mereka juga warga negara sah republik ini yang perlu diayomi pemerintah. Kita berharap, paradigma dalam pemberantasan preman dapat berubah: mereka perlu dibina, bukan dibinasakan!

0 komentar:

Posting Komentar