09 November 2008

Jangan Harap Lolos Audisi

KOLOM
Jangan Harap Lolos Audisi
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.pks-jaksel.or.id)

MENJELANG Pemilu 2009, para calon presiden (capres) dan calon legislatif (caleg) mulai tebar pesona sebisanya demi meraih simpati masyarakat. Mereka merelakan koceknya dalam-dalam demi menggelar baliho, iklan televisi, hingga menggandeng selebriti untuk mendongkrak raihan suara. Bak perjuangan seorang pria dalam mengejar dambaannya, segala cara dilakoni apapun resikonya.

Segala suguhan pesona ini ternyata tak terlalu dianggap oleh rakyat. Pasalnya, ini era reformasi, Bung! Rakyat sudah jauh lebih pintar di bidang politik. Dalam memilih, rakyat tak lagi mudah terbuai janji-janji, pencitraan semu, bahkan oleh politik uang sekalipun. Seperti kata pameo: “Ambil saja uangnya, tapi jangan pilih orangnya”.

Mengapa demikian? Kini eranya kebebasan informasi. Salah satu cirinya, media diberi kebebasan memainkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi. Politikus yang tertangkap tangan melakukan korupsi lalu ramai diberitakan. Akibatnya, rakyat makin pintar membedakan mana politikus yang jujur idealis, mana yang busuk mendewakan kekayaan atau kemashyuran belaka. Ini juga salah satu pemicu tingginya golput di sebagian besar Pilkada lalu.

Baru saja ada berita heboh. Agus Condro, anggota PDIP, mengaku telah menerima uang Rp 500juta semasa pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Gultom tahun 2004. Dia juga menguak kebobrokan mekanisme DPR dalam pemilihan pejabat negara yang erat dengan intrik dan “politik dagang sapi.” Kasus ini menambah deretan politikus busuk di negeri ini.

Sejatinya, dewan adalah garda terdepan pejuang amanat rakyat. Mereka dituntut memiliki hati, pikiran, dan tangan, untuk memperjuangkan penghidupan orang banyak. Namun apa kenyataanya? Ketika menjabat, mereka lupa pada janji manis yang pernah mereka katakan, mereka menjelma menjadi penelikung hak orang banyak.

Apa yang bisa kita petik dari tindakan Agus Condro ini? Pertama, kita patut memuji langkah luar biasa ini. Berkat keberaniannya, benang kusut penyakit bangsa perlahan mulai dapat terurai. Kita juga makin terang akan modus para politikus yang gemar memperkaya diri ini.

Kedua, tanpa disadari, rakyat mendapatkan pendidikan politik dari aneka kasus model begini. Rakyat dibuat paham membedakan mana partai yang bersih, mana yang diramaikan politikus bermasalah jejak rekam postiif.

Kenyataan ini patut direnungkan oleh semua elemen bangsa, terlebih para aktor di panggung demokrasi. Jangan kira rakyat yang selama ini duduk menonton di pinggir tak pernah menaruh awas pada tindak-tanduk para wakilnya. Kadang kesalahan terkecil justru paling dulu diketahui oleh penontonnya.

Kata Taufik Ismail, seperti dikutip Nicky Astria, politik di Indonesia diibaratkan panggung sandiwara. Peran rakyat adalah penonton sekaligus juri audisi. Ketika audisi, rakyat hanya akan memilih aktor-aktor yang dianggap sanggup bermain apik sesuai jalinan naskah yang dikehendaki. Jika tidak, jangan harap bisa lolos audisi, bahkan menjadi figuran sekalipun.

(Dimuat di Harian Seputar Indonesia, 1 September 2008)

0 komentar:

Posting Komentar