29 November 2008

Bina Mereka, Bukan Binasakan!

KOLOM

Semarang, 29 November 2008
Bina Mereka, Bukan Binasakan!
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.kompas.com)

PERSEPSI bahwa moderenisasi adalah sumber melejitnya angka kriminalitas ternyata tak berlaku bagi Jepang. Meski menyandang julukan sebagai negara industri termoderen, nyatanya angka kriminalitas di negeri sakura ini terendah di antara negara-negara industri lain, seperti; AS, Perancis, Jerman dan Inggris.

Bahkan, ibu kota negara, Tokyo, dengan jumlah penduduk 12 jutaan di siang hari dan 9 jutaan di malam hari, luas disebut-disebut sebagai salah satu kota metropolis teraman di dunia. Menurut Jurnal Studi Kepolisian Edisi 66/Mei-Agustus 2008, pada 2004, reputasi kecepatan polisi dari koban (jejaring pos polisi di wilayah ketetanggaan) mencapai tempat kejadian kriminal setelah pelaporan, hanya memakan waktu 7 menit 15 detik (Jurnalnet.com).

Itulah mengapa citra polisi Jepang di mata masyarakatnya menjadi begitu positif. Tidak mengherankan, ada banyak cerita yang menyebutkan bahwa sudah biasa di Jepang, ketika seseorang yang menemukan dompet tergeletak di jalanan, lantas menyerahkannya kepada pos polisi terdekat.

Keadaan ini jauh bertolakbelakang dengan polisi kita. Di sini, citra pekerjaan polisi sudah terlanjur negatif. Polisi dianggap kaki-tangan rezim dalam menangkapi rakyat kelas teri yang dianggap melanggar hukum. Atau bahkan, semacam centeng yang berpihak kepada siapapun yang mampu menyokong kesejahteraanya.

Segala usaha seperti "Polisi Sahabat Anak" yang bertujuan mendekatkan imej baik polisi, ternyata tak banyak merubah keadaan. Polisi lalu lintas masih tetap lekat dengan pameo "semua bisa diatur". Ketika seseorang pengguna jalan melanggar peraturan, kita sudah akrab dengan pilihan ekstra selain tilang: "berdamai" dengan imbalan beberapa lembar uang ribuan.

Cita negatif ini pula yang membuat operasi pembersihan preman yang kini dilakukan serentak di seluruh Indonesia disambut skeptis oleh masyarakat. Bahkan, operasi yang diperintahkan langsung oleh Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri ini seakan kembali membangkitkan kenangan buruk masyarakat pada kasus penembakan misterius ("petrus").

Kasus "petrus" yang terjadi di paruh awal dekade 1980-an ini memang masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian masyarakat. Pasalnya, meski bertujuan mulia-pengurangan angka kriminalitas-nyatanya cara yang diambil aparat mengangkangi rasa kemanusiaan. Mereka membunuhi satu persatu orang-orang yang disinyalir sebagai preman yang telah lama membuat resah masyarakat.

Sepanjang 1984--1985, tercatat 181 orang tewas, 43 orang diantaranya ditembak. Para preman yang sebagian besar bertato ini ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan mereka dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun (Wawasan, 26 Januari 2008). Tampaknya, rezim berkuasa waktu itu punya prinsip: "Kalau tak mau dibina, ya, kita binasakan!"

Premanisme

Kita semua tentunya sepakat, premanisme adalah kegiatan yang meresahkan masyarakat. Mulai dari yang beroperasi di jalanan, mencopet di pasar-pasar, hingga yang tergabung dalam semacam geng yang berjejaring, semuanya harus diberantas tuntas hingga ke akar-akarnya.

Jika ditanya, siapapun pasti sepakat bahwa rasa keamanan adalah sesuatu yang didambakan dari sebuah negara. Dengan tingkat keamanan yang tinggi, aktivitas ekonomi, bisa berjalan tanpa tersendat. Sebaliknya, membiarkan premanisme berlarut-larut hanya akan menciptakan atmosfir yang memungkinkan mereka terus berkembang secara sistematis.

Namun, kita tak boleh lupa pada aspek lain yang menjadi faktor tumbuhnya premanisme. Dalam menegakkan keamanan, para petugas harus mendalami pula keseluruhan permasalahannya. Mereka tak boleh melupakan realitas bahwa premanisme bisa lahir dan bertunas di masyarakat karena berbagai faktor, seperti lingkungan, ekonomi, hingga sosial-budaya.

Maka dari itu, operasi pemberantasan pelaku kejahatan seperti sah-sah saja dilakukan, sepanjang tetap di bawah koridor hukum. Syarat sebagai negara hukum harus tetap terpenuhi. Jangan mentang-mentang penjahat kerah-dekil langsung ditembak. Adili mereka. Meskipun mereka masuk kategori penyakit masyarakat, mendapatkan keadilan adalah hak asasi segenap manusia yang harus dipenuhi negara. Yang salah itu tindakannya, bukan orangnya.

Kita juga menghimbau bahwa operasi preman harus diikuti dengan penyadaran, pembekalan mental, dan pembekalan ketrampilan. Pasalnya, tak ada preman yang lahir atas dasar panggilan hidup. Semua yang memilih hidup dari kejahatan pastilah karena terpaksa. Selain memilih lingkungan salah, mereka juga tak memunyai keterampilan lain selain mencuri, merampoki, atau menodong dalam menghidupi diri dan keluarga.

Tidak mengherankan, mayoritas penghuni penjara adalah penjahat kambuhan: mereka yang keluar-masuk bui begitu cepatnya. Tenggelam sebentar, pascaoperasi kemudian muncul lagi.
Kewajiban untuk mengatasi masalah preman tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada polisi. Operasi penjaringan harus diteruskan pada institusi lain yang bisa mengurus lebih jauh, terutama untuk urusan bina mental dan pembekalan keterampilan mereka.

Ingat, preman tetap manusia yang perlu dimanusiakan. Mereka juga warga negara sah republik ini yang perlu diayomi pemerintah. Kita berharap, paradigma dalam pemberantasan preman dapat berubah: mereka perlu dibina, bukan dibinasakan!

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

25 November 2008

Menantikan Sang Filsuf-Raja

KOLOM

Semarang, 24 November 2008
Menantikan Sang Filsuf-Raja
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.swaberita.com)

BAPAK filsuf Plato (428-348 SM) jauh-jauh hari mengingatkan kita bahwa demokrasi merupakan kekuasaan yang menunjukkan kemerosotan jiwa. Begitu bencinya kepada demokrasi, sampai-sampai ia menganggapnya sebagai sistem terburuk dari semua pemerintahan yang berasaskan hukum.

Seperti dijabarkan Mark Moss dalam "A Critical Account of Plato's Critique of Democracy", ada tiga alasan mengapa Plato mengecam demokrasi. Pertama, demokrasi mengarah kepada "aturan gerombolan". Dengan kekuasaannya, ia menjadi kaki tangan "pencari kenikmatan" yang bertujuan mengeruk kepuasan dari hasrat sesaat.

Kedua, demokrasi mengarah kepada aturan yang dikendalikan kaum pandir berketerampilan retorika, namun tidak berpengetahuan benar. Ketiga, ia mengarah kepada ketidaksepakatan dan pertikaian yang secara intrinsik buruk dan harus dihindarkan.

Bahkan, demokrasi, kata Plato, lebih dekat dan cenderung menuju tirani. Aristoteles, yang kerap berseberangan dengan Plato dalam wacana politik dan kemasyarakatan, pun nyaris sejalan tatkala menyinggung sistem pemerintahan ini. Murid Plato ini melihat demokrasi sebagai bentuk kemunduran dari politeia. Nilai maksimumnya hanya setingkat di atas tirani dan oligarki.

Tampaknya pemikiran kedua filsuf masyhur ini mulai mewujud pada ketatanegaraan Indonesia. Lantaran trauma terhadap militer, semangat yang dibawa reformasi membuat kita berharap banyak kepada demokrasi. Para pemimpin berbaju sipil kita jadikan ujung tombak perbaikan nasib bangsa. Namun, apa realitasnya? Gaung demokrasi yang dibawa reformasi nyatanya belum dapat berbicara banyak. Rakyat pun semakin mati rasa kepada aneka slogan demokrasi.

Ironisnya, demokrasi jugalah yang kini menghantarkan kita pada cengkeraman kaum pedagang. Kepemimpinan elit sipil yang populis ternyata kian manyerupai serigala berbulu domba. Mereka masih saja mudah disetir dan didominasi kalangan pengusaha: sibuk menjuali aset negara dan berkompromi dengan kapitalis.

Idealnya, pengusaha merupakan kelas menengah dan bagian dari civil society. Seperti di Thailand, kelas menengah semestinya otonom. Mereka punya bargaining power terhadap pemerintah. Parahnya, di Indonesia, para pengusaha merangkap pejabat. Mereka memiliki privilese dan dibenarkan berdwi-fungsi kepemimpinan: pemerintah-cum-pedagang.

Poling

Menjelang perhelatan Pemilu 2009, dinamika percaturan laga pilpres semakin marak dengan kedatangan seorang raja: Gubernur-cum-Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Sultan sendiri, dalam berbagai kesempatan pernah menyatakan keberatannya maju dalam pentas Pilpres. Bagi beliau, seperti titah Sultan HB IX, kekuasaan tidak untuk diperebutkan, tapi untuk melayani rakyat.

Namun kini, tiba-tiba dengan lugas ia membalik pernyataannya. Dalam Pisowanan Agung (pertemuan akbar raja-raja se-Nusantara) di Alun-alun Utara Yogyakarta, dengan terang-terangan dia mengumumkan kesanggupannya bekiprah dalam aras nasional: maju dalam Pilpres 2009. Penegasan sikap politiknya ini niscaya memberi warna tersendiri dalam pentas perpolitikan nasional.

Majunya Sultan ini memang sudah lama dinanti-nantikan masyarakat. Lihat saja hasil survei terakhir Lembaga Survei Nasional (LSN). Menurut poling di 33 provinsi itu, Sri Sultan menduduki peringkat ketiga figur capres dan cawapres yang diinginkan masyarakat. Meski masih di bawah SBY dan Megawati, putera Sri Sultan HB IX ini mengungguli Wiranto, Prabowo, dan Hidayat Nur Wahid (Majalah Tokoh Indonesia edisi 39).

Memang, sejatinya struktural pemerintahan Sultan hanya menjabat gubernur. Namun, suka tak suka, ketokohannya jauh melampaui kewenangannya sebagai sekadar pemimpin DIY. Ia juga seorang raja kerajaan yang berakar dengan trah Mataram-Jawa yang selama beberapa abad mengusasai tanah Jawa, khususnya DIY, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur.

Di sisi lain, kiprah Sultan HB X pada masa kekisruhan politik 1998 pun tak bisa dipandang enteng. Pamor Sultan mulai meroket sejak Sultan mendukung reformasi dalam suatu acara besar-besaran di Alun-alun Utara Yogyakarta pada penghujung kekuasaan Soeharto,

Bersama sejumlah dedengkot reformasi, seperti Amien Rais, Megawati dan Gus Dur, Sultan pun ikut andil dalam "Kelompok Ciganjur". Mereka menjadi kelompok penekan yang paling efektif memaksa sisa-sisa elit Orba melaksanakan agenda-agenda reformasi jangka pendek: pemilu multipartai dan kebebasan politik.

Filsuf-Raja

Pengikraran Sultan ini kembali mengingatkan saya kepada Plato. Dalam buku The Republic, dia menyatakan, jika hendak makmur, idealnya negara dikendalikan filsuf-raja. Plato menggambarkannya sosok ini sebagai pencinta kebijaksanaan yang mengetahui hakikat kebenaran dan keadilan. Perpaduan keduanya niscaya akan menukangi bobrok demokrasi.

Kritik Plato atas demokrasi memang sekilas menjanjikan dan sejalan dengan kondisi bangsa. Tetapi, seperti apakah manifestasi figur filsuf-raja yang dimaksudkan Plato? Apakah raja yang dimaksudkannya bermakna harafiah? Kita belum tahu dan Plato pun tak gamblang menguraikan.

Perjalanan bangsa menuju sejahtera pun tidak semata-mata berdasarkan niat baik dan citra diri positif. Pasalnya, sukses-tidaknya seorang capres di Indonesia ditentukan sedikitnya tiga aspek: popularitas, aksesibilitas (kemampuan mengakses), dan elektabilitas (kemampuan dipilih).

Berdasarkan hasil poling, kita tidak meragukan popularitas Sultan. Namun, dalam aksesbiltas dan elektabilitas, kader Partai Golkar ini masih perlu banyak bermanuver.

Meski dukungan masyarakat meningkat pesat, baik sebagai capres maupun cawapres, ia masih terganjal onak duri: belum jelas partai mana yang resmi mengusungnya sampai saat ini. Sultan bahkan masih ngotot berkutat pada ihwal pencalonan capres nonpartai.

Meski begitu, lepas dari persoalan itu dan entah bagaimana kelanjutannya, baiklah kita berharap. Bolehlah kita anggap ihwal pencalonan Sultan ini sebagai pertanda untuk keluar dari labirin demokrasi bangsa.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Momentum Pemacu Etos Kerja

KOLOM

Semarang, 23 November 2008
Momentum Pemacu Etos Kerja
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://farm4.static.flickr.com)

DI TENGAH
terpaan krisis ekonomi jilid dua, nasib buruh negeri semakin tergencet. Pemicunya, tak lain dari surat keputusan (SK) empat menteri per tanggal 22 Oktober 2008 tentang "Pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi global".

Sekilas, SKB yang berisikan total lima pasal ini terkesan menjanjikan, terutama di pasal 1 dan 2. Awalan SKB yang ditandatangani Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Perdagangan Maria Elka Pangestu ini hendak menunjukkan niat baik pemerintah menangkal serbuan krisis finansial global.

Lihat saja poin pembukanya: "Dalam menghadapi dampak krisis perekonomian global, pemerintah melakukan berbagai upaya agar ketenangan berusaha dan bekerja tidak terganggu." (Pasal 1 Alinea 1).

Lihat juga isi poin penjelasan pasal 1 tentang tugas menteri perindustrian ini: "Mendorong efisiensi proses produksi, optimalisasi kapasitas produksi dan daya saing produk industri," dan "menyusun kebijakan penggunaan produksi dalam negeri dan melaksanakan monitoring pelaksanaannya".

Poin penjabaran tugas dan kewenangan menteri perdagangan pun selintas menyiratkan kebijaksanaan pemerintah: "Upaya peningkatan pencegahan dan penangkalan penyelundupan barang-barang dari luar negeri", "memperkuat pasar dalam negeri dan promosi penggunaan produk dalam negeri," dan "mendorong ekspor hasil industri padat karya".

Poin-poin di atas seakan memang sengaja dibuat demi memperlihatkan keberpihakan pemerintah kepada ekonomi dalam negeri. Peningkatan efisiensi dan daya tahan perekonomian domestik yang ditekankan pemerintah dalam SKB ini merupakan langkah bijak yang patut kita apresiasi. Apalagi kini kita sedang was-was menghadapi serbuan krisis perekonomian global yang bermula dari Negeri Paman Sam.

Namun, jika kita teruskan membaca poin-poin selanjutnya, barulah tersingkap maksud sejati penerbitan SKB ini. Disebutkan, tugas menaktertrans adalah "melakukan konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum LKS tripartit nasional dan daerah..." dan "mendorong komunikasi bipartit yang efektif antarunsur pekerja.buruh dan pengusaha di perusahaan" (pasal 1 poin a).

Lihat juga isi pasal 1 pon b tentang tugas mendagri ini: "Upaya agar gubernur dan bupati/walikota, dalam menetapkan segala kebijakan ketenagakerjaan di wilayahnya, mendukung kelangsungan berusaha.."

Kesemua poin-poin di atas bertolak belakang dengan maksud awal penerbitan SKB, seperti yang diuraikan pembukaannya. Pasalnya, pemerintah terkesan cenderung lepas-tangan dalam penentuan upah minimum provinsi. Semuanya diserahkan begitu saja kepada konsolidasi pengusaha dan pekerja.

Poin b tentang tugas mendagri bahkan dengan gamblang menyebutkan: "gubernur diminta melihat kepentingan keberlangsungan usaha (para pengusaha) dalam menetapkan upah minimum". Di sini, sangat jelas pemerintah memandang sebelah mata peran buruh dalam dinamika rantai industri. Buruh dianggap sekadar faktor produksi yang tidak dimanusiakan. Sebaliknya, kepentingan pengusaha (baca: pemodal) dianggap menempati titik sentral dunia usaha.

Padahal, buruh adalah pribadi kompleks yang menentukan keberhasilan industri. Ilmu Sosiologi Industri pun mengajarkan demikian. Pemahaman faktor sosial atau interaksi sosial, seperti hubungan industri dengan manusia, adalah kunci meningkatkan produktitas.

Dalam bekerja, buruh pun amat dipengaruhi faktof-faktor pribadi, baik intrinsik maupun ektrinsik. Kinerja dan produktifitas pekerja amat bertalian dengan kondisi di luar dirinya. Pekerja bermotivasi tinggi pastilah pribadi yang telah mendapatkan keamanan kerja dan pemenuhan kebutuhan. Kondisi ini persis seperti penjabaran Abraham Maslow tentang Teori Kebutuhan.

Dengan menyerahi tanggung jawab kepada konsensus bipartit (pekerja dan pengusaha), polemik berkepanjangan, terutama di tingkat buruh yang berposisi tawar lebih rendah, menjadi keniscayaan. Kedua kutub ini adalah dua hal yang selalu berseberangan. Bagi perusahaan, efektifitas berarti menekan upah seminim mungkin. Sedangkan buruh berkata sebaliknya: "Kalau tidak sejahtera, bagaimana bisa rajin bekerja?"

SKB ini pun kontradiktif. Salah satu pasal menyebutkan, gubernur dan bupati/walikota harus mempertimbangkan kepentingan pengusaha dalam menentukan UMK. Namun, pasal 3 justru semakin membuat jengah pada buruh: "Gubernur, dalam menetapkan upah minimum, mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional".

Saat ini, angka pertumbuhan nasional per tahun sebesar 6 persen. Jika UMK 2009 dipatok tidak boleh melampaui itu, maka artinya, berapapun besaran kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditentukan Dewan Pengupahan tidak akan memengaruhi UMK 2009. Padahal, UU No 13.2003 tentang Ketenagakerjaan jelas mengatur bahwa UMK ditentukan Dewan Pengupahan.

Apalagi trauma krisis ekonomi jilid satu belum juga reda, kini kita sedang was-was menghadapi krisis jilid dua. Inflasi terus meroket. Harga-harga yang naik pasca-Lebaran pun tak menunjukkan sinyalemen bakal turun. Kenaikan BBM juga belum lama berselang. Penurunannya per 1 Desember 2008 pun hanya Rp500, benar-benar tak sebanding imbasnya pada lonjakan harga kebutuhan pokok.

Bibit Waluyo

Masyarakat Jateng boleh berbesar hati dipimpin seorang gubernur baru yang arif, Bibit Waluyo. Kamis (20/11), Bibit menandatangani surat keputusan (SK) yang mengesahkan kenaikan UMK 2009 sebesar rata-rata 12,9 persen dari UMK 2008 di semua kabupaten/kota. Angka ini melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6 persen.

Tak pelak, keluarnya SK ini yang disambut hangat kalangan buruh ini, membuktikan janji gubernur bahwa penentuan besaran UMK berdasarkan rekomendasi bupati/walikota. Keputusan ini hadir setelah Bibit mendengar masukan-masukan dari unsur gabungan stakeholder industri, yakni Serikat Pekerja, Apindo, Dewan Pengupahan, BPS, dan perguruan tinggi, malam sebelumnya (Rabu, 19/11).

Memang baru dua daerah yang usulan UMK-nya mencapai 100 persen, yakni Kota Semarang (Rp835 ribu) dan Surakarta (Rp723 ribu). Namun, gubernur ternyata tak ragu menujukkan keberpihakannya kepada kepentingan rakyat ketimbang berpatok pada SKB 4 menteri.

Bibit pun tidak bisa dicap sebagai pembangkang oleh pemerintah. Pasalnya, selain memerhatikan aspek normatif, yaitu sesuai pengajuan bupati/walikota, dia juga cerdik mempertimbangkan aspek hukum. SKB justru dinilainya cacat hukum karena melanggar UUD '45 dan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di era otonomi daerah, tingkat kesejahteraan suatu daerah berpulang kepada kebijaksanaan masing-masing kepala daerahnya. Kini tinggal bagaimana provinsi lain menyikapi SKB 4 menteri. Mereka diperhadapkan dua pilihan: memegang teguh poin per poin SKB yang berarti memihak pengusaha, atau berdiri bersama-sama buruh dan mengutamakan hajat hidup orang banyak?

Pasalnya, faktor eksternal hubungan-hubungan sosial dalam industri mencakup hubungan perusahaan/masyarakat/pekerja dengan pemerintah. Kepala daerah, yang kini diserahi tanggung jawab penuh berkenaan terbitnya SKB 4 menteri, bertugas menjadi regulator yang menentukan kelangsungan perekonomian daerah. Salah-salah, polemik berkepanjangan antara pekerja dengan perusahaan, jika dibiarkan berlarut-larut, dapat mengancam kesinambungan industri.

Begitupun dengan buruh. Jika mereka tak ingin selamanya masuk kategori faktor produksi, yang hanya dihargai keringatnya, para buruh harus mulai meningkatkan etos kerjanya. Hanya menuntut kelayakan upah, tanpa memerhatikan kontribusinya bagi budaya perusahaan, tidak dapat membalikkan stigma faktor produksi yang melekat pada mereka.

SKB memang tidak pas dengan kondisi rakyat saat ini. Ia pun cacat hukum di depan UUD '45 dan UU Ketenagakerjaan. Namun, baiklah mpmentum ini kita jadikan pemicu peningkatan kinerja dan etos kerja buruh. Maka jadikan seruan Ronald Reagan ini sebagai buah perenungan: "Jangan tanyakan apa yang sudah negara lakukan, namun tanyakan apa yang sudah kita lakukan bagi negara!"

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

22 November 2008

Kesadaran PSK Mulai Tumbuh

BERITA

Semarang, 22 November 2008
Kesadaran PSK Mulai Tumbuh

Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.jawapos.com)

(ANTARA) - Kesadaran wanita pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Sunan Kuning Semarang untuk mencegah penularan HIV/AIDS, mulai tumbuh. Terbukti, banyak di antara mereka yang rutin memeriksakan alat kesehatan reproduksi.

Koordinator Divisi Program Aksi Stop AIDS Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (ASA PKBI) Kota Semarang, Abrori Addahuri, mengatakan, para PSK ini juga banyak yang bersedia melakukan volunteer counseling and testing (VCT) HIV/AIDS, atau pendampingan oleh konselor di Griya ASA PKBI.

Berdasarkan data per 1 Januari 2007, sebanyak 348 orang PSK Sunan Kuning dari total 635 orang atau 54,8 persen, sudah sukarela rutin melakukan tes skrining (cek kesehatan daerah kewanitan) di Griya ASA PKBI.

Ia menambahkan, bahkan banyak PSK yang bersedia menyukseskan program penjangkauan ASA PKBI dengan menjadi pendidik sebaya (pair educated). Tugas mereka adalah mendampingi teman seprofesi untuk memberikan penyuluhan mengenai PMS, kesehatan reproduksi, dan HIV/AIDS.

"Program-program kami adalah penyuluhan penyakit menular seks (PMS), kesehatan reproduksi, penularan HIV/AIDS, dan melakukan pendampingan jika ditemukan ada yang positif HIV," katanya.

Dengan beragam pendekatan ini, katanya, diharapkan kelak timbul keinginan dari mereka sendiri untuk keluar dari lokalisasi dan tidak lagi menjadi PSK.

Dia mengatakan, ancaman terberat dalam penyebaran HIV/AIDS di lokalisasi, justru datang dari pelanggan. Kesadaran pemakai jasa untuk menggunakan kondom masih rendah.

"Pelanggan banyak yang enggan memakai kondom, meskipun dipaksa. Mereka kerap beralasan menggunakan kondom mengurangi kenikmatan hubungan intim" kata Abror.

Menurut dia, dalam kasus tersebut, para PSK tidak bisa disalahkan. Posisi tawar mereka rendah. "Sebagai pihak penyedia jasa, mereka membutuhkan uang dari pelanggan. Maka mereka mau saja melayani meski pelanggan menolak memakai kondom," katanya.

Penyebaran HIV/AIDS di Jateng makin mengkhawatirkan. Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Jateng per 1 Januari 2007, provinsi ini menempati peringkat ketujuh dengan 514 kasus (290 AIDS, 86 AIDS/IDU, dan 138 meninggal).

Untuk Jateng, Kota Semarang menempati peringkat pertama dengan 123 kasus, diikuti Kabupaten Banyumas (119 kasus) dan Kabupaten Tegal (30 kasus).

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Jateng, PGOT Terus Bertambah

BERITA

Semarang, 21 November 2008
Jateng,
PGOT Terus Bertambah
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://si-wahyu.blogspot.com)

(ANTARA) - Jumlah pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) di Jawa Tengah terus bertambah tiap tahunnya.

Menurut Soemarso, Koordinator Staf Tata Usaha Panti Karya Persinggahan Margo Widodo Semarang, jika di tahun 2005 jumlah PGOT warga binaan panti itu 336 orang, 2006 meningkat dua kali lipat menjadi 637 orang.

"Januari 2006 kami menerima 26 orang, Januari 2008 meningkat menjadi 38. Penggolongannya, yakni pengemis 15 orang, lansia (2), sakit jiwa/terlantar (9) , kehabisan bekal di jalan (11), dan serah diri (1)," katanya.

Jumlah itu hanya angka penerimaan masuk, belum termasuk binaan sisa bulan sebelumnya. "Untuk saat ini, total jumlah PGOT yang dibina berjumlah 110 orang. Untuk jenis kelamin, laki-laki 69, perempuan 41. Untuk usia, tertua 50 tahun, dan paling muda 10 tahun", jelasnya.

Dia menjelaskan, setiap orang yang masuk ke panti dari operasi penertiban sosial atau serah diri, akan diseleksi dulu. Mereka yang dibina hanyalah yang dapat menyertakan surat keterangan dari kelurahan atau kepolisian.

Hal ini dilakukan agar pembinaan mendapat payung hukum yang sah. Selain itu, untuk menghindari penyalahgunaan panti dijadikan tempat berlindung bagi apra pelaku-pelaku kehjahatan yang buron.

"Setelah PGOT masuk ke sini, kami tampung sementara,. Mereka lalu kami salurkan ke panti-panti lain sesuai penggolongannya. Margo Widodo berkoordinasi dengan 26 panti dan instansi terkait di Jawa Tengah yang menjadi tempat rujukan binaan.

"Semisal, untuk lansia, disalurkan ke panti wredha (PW), orang-orang terlantar ke panti karya (PK), eksikotik (pasca-psikotika) ke panti tunalaras (PTL)", jelas Soemarso.

Untuk pasien binaan dari Kota Semarang, panti ini berkoordinasi dengan PTL Ngudi Rahayu, PK MArdi Utomo, PW Pucang Gading, PA Taman Harapan, RS Kariadi, dan RS Tugurejo.

Keterampilan

Dia mengatakan, di panti berdaya tampung 150 orang ini, PGOT dibina berdasarkan potensi mereka. "Kami memberikan bimbingan sosial, fisik, mental, dan keterampilan sebelum mereka diserahkan ke keluarganya," ujarnya.

Untuk keterampilan, para binaan diajarkan antara lain membuat tempe, paving block, keset, hingga servis sepeda motor. Diharapkan, setelah dibekali keterampilan, mereka bisa mendapatkan pekerjaan layak ataupun bekerja mandiri.

Untuk itu, Soemarso mengharapkan partisipasi seluruh masyarakat untuk dapat mengurangi angka PGOT yang semakin bertambah.

"Imbauan Pemkot agar warga tidak memberi di jalan, sangat bijak. Memberi uang itu tidak mendidik, membuat orang malas bekerja. Jika hendak beramal, lebih baik berikan kepada yayasan-yayasan sosial atau badan-badan amil zakat yang terpercaya," tuturnya.

Panti Margo Widodo berdiri pada 1950 dan berada di bawah naungan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Jawa Tengah. Berdasarkan Perda Propinsi Jawa Tengah 2 April No 1/2002, panti ini merupakan panti persinggahan yang menjadi tempat pembinaan sementara dengan klasifikasi Tipe B.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Batik Jateng Sebagai Aset Budaya

BERITA

Semarang, 21 November 2008
Batik Jateng
Sebagai Aset Budaya
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://yfred.files.wordpress.com)

(ANTARA) - Sebagai sentra penghasil batik, Jawa Tengah harus lebih memajukan kerajinan batik khas daerah-daerahnya sebagai aset budaya dan pariwisata.

Menurut Ketua Paguyuban Pencinta Batik Indonesia "Bokor Kencono", Umi Sumiyati, Jumat, di Semarang, potensi batik Jateng di berbagai daerah amat beragam. Ada ciri khas masing-masing yang membedakan satu dengan lainnya.

"Kini kembali kepada kejelian pemda untuk menggandeng perajin setempat yang berpotensi," kata dia usai pembukaan "Bazar Batik Jawa Tengah", baru-baru ini.

Ia mengatakan, keengganan pemerintah kabupaten (Pemkab) untuk mendukung para perajin batik di daerahnya,
kerap menjadi kendala umum pelestarian batik.

Untuk acara bazar ini, misalnya, dari 20 undangan yang ia sampaikan kepada berbagai Pemkab, ternyata hanya delapan yang menyatakan kesiapannya mengirim perajinnya Untuk itu, dia mengaku kecewa akan respon daerah. Apalagi alasan mereka selalu saja pada dana.

"Dari 16 daerah perajin batik yang hadir, delapan datang karena memenuhi undangan, sedangkan delapan perajin daerah lainnya datang dengan inisiatif dan dana sendiri," ujarnya.

Sebanyak 16 perajin batik daerah yang hadir, yaitu Kab. Kebumen, Kota Pekalongan, Kab. Pekalongan, Kab. Tegal, Kab. Pemalang, Kota Semarang, Kab. Kudus, Kab. Rembang, Kab. Pati, Kab. Batang, Kab. Purworejo, Kab. Klaten, Kab. Sragen, Kab. Brebes, Kab. Banyumas, dan Kab. Surakarta.

Selain itu, tambah dia, perkembangan batik terlalu berpusat pada Solo dan Pekalongan. Batik-batik daerah lain masih kalah pamor. Hal itu, dikarenakan Solo dan Pekalongan lama telah memproduksi batik cap dan tulis.

"Batik Pekalongan dapat berkembang pesat karena para perajin diasuh dan berinduk langsung di bawah perusahaan. Sedangkan di daerah lain, produksi masih berangkat dari usaha rakyat. Para perajin berdiri sendiri-sendiri," ujar dia.

Batik Pesisir

Salah seorang perajin batik Pemalang, Pantjer Budhi Walujo, mengatakan, selama ini potensi perajin daerah masih tertutupi batik produksi Pekalongan dan Solo. Perajin batik selain di kedua daerah ini pun masih jarang dilirik pemda setempat.

Menurut pemilik kios Batik Tenun "Pancaran Widuri" Pemalang ini, tiap daerah mempunyai corak dan motif sendiri yang menjadi ciri khas masing-masing.

Batik Pemalang, contohnya, selalu mempunyai ciri motif materos (satria) dalam tiap coraknya. Corak-coraknya, antara lain Serat Mangga, Serat Melati, dan Tunjung. Batik Pemalang digolongkan menjadi batik pesisir bersama daerah-daerah lain, seperti Pekalongan, Pemalang, Brebes, dan Tegal.

"Beda dengan batik Solo, batik pesisir tidak memunyai corak yang pakem. Batik Solo punya karena berakar dalam tradisi kerajaan," tutur Pantjer.

Ia mengatakan, motif pada batik pesisir lebih luwes. Temanya terserah si perajin batik. Pada jaman penjajahan, tema corak batik pesisir tergantung pada siapa yang saat itu sedang berkuasa. Semisal, ketika daerah pesisir Jawa dijajah Belanda, ada batik pesisir ada bercorak gambar kompeni.

"Namun, secara umum, ciri khas batik pesisir adalah coraknya yang banyak didominasi gambar bunga," terang dia.

Selain batik pesisir, ada juga batik rakyat, yaitu perajin batik dari daerah-daerah seperti Wonogiri, Kebumen dan Sragen. Jenis ini cenderung tidak bertema dan tidak teratur.

"Batik ini hanya dikenakan pada kegiatan sehari-hari dan dibuat sendiri untuk hadiah kepada tetangga atau anaknya. Biasanya batik ini dibuat para petani sepulang dari sawah," jelas dia.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

16 November 2008

Teroris Bukanlah Patriot

KOLOM

Semarang, 16 November 2008
Teroris Bukanlah Patriot
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://narakushutdown.files.wordpress.com)

KITA baru saja menorehkan lembaran baru dalam peta sejarah kontemporer Indonesia. Babak panjang bom Bali I yang merenggut korban 202 jiwa tak bersalah dan lebih 200 lainnya luka-luka, berakhir sudah. Minggu, 9 November 2008 dini hari, trio pembom Bali I: Amrozi, Muklas, dan Imam Samudera; akhirnya dibedil mati.

Proses menjelang eksekusi ini memang penuh dinamika. Lihat saja, sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung RI, Jasman Pandjaitan, pernah menentukan 24 Oktober 2008 sebagai tanggal eksekusi. Namun, apa yang terjadi? Hukuman ternyata baru dilangsungkan 9 November 2008, mundur dua minggu lebih dari rencana.

Namun, strategi penundaan ini tak dinyana menguakkan fenomena yang hilang dari permukaan. Ternyata, dugaan yang selama ini terpelihara, benar: banyak orang bersimpatik pada trio bomber.

Mendekati hari eksekusi, bom waktu para kaum militan akhirnya meledak juga. Berbagai elemen ramai bermunculan menggelar aksi-aksi sporadis. Mereka menggalang kekuatan sebisanya demi menggagalkan eksekusi. Suara mereka sama: mengutuk, mengkafir-kafirkan, bahkan tak segan menzalim-zalimkan penguasa jika berani menembak mati Amrozi cs.

Di seputaran pelaksanaan eksekusi pun luas berhembus aneka teror. Mulai
dari ancaman akan adanya aksi balas dendam, teror bom di pusat perbelanjaan dan instansi asing, hingga yang terdahsyat: seruan pembunuhan Presiden SBY beserta pejabat terlibat yang disiarkan di situs internet.

Hemat penulis, ragam reaksi yang muncul menjelang pelaksanaan hukum tembak ini memang sudah dinanti-nantikan pemerintah. Ada sinyalemen, penundaan adalah skenario untuk memancing keluar jejaring radikal pro-Amrozi cs muncul di permukaan. Dengan begitu, benang kusut kordinasi teroris di Indonesia diharapkan dapat terurai.

Citra Islam

Kita semua sepakat, terorisme, apapun bentuk dan alasannya, tak patut dibenarkan. Pasalnya, ia hanya selalu akan merenggut korban orang-orang tak bersalah. Nyawa manusia dengan seenaknya mereka jadikan simbol perlawanan.

Pada bom Bali I, misalnya, semua korban tewas dan luka-luka sebenarnya bukanlah target utama. Imam Samudra, dalam bukunya, Aku Melawan Teroris (2004), mengakui bahwa target utama pemboman 12 Oktober 2002 ini adalah Amerika dan sekutunya.

Para korban, yang justru mayoritas berkewarganegaraan Australia, sekadar dijadikan sinyal bagi "musuh" supaya tidak lagi seenaknya menjajah umat Islam. Nyawa manusia dengan seenaknya mereka jadikan simbol perlawanan.

Tragedi ini mencoreng wajah Islam Indonesia. Seiring terkuaknya aneka jejaring islam radikal di Nusantara, citra Islam yang seharusnya lekat dengan toleransi, moderat, dan pluralisme, kini berubah menakutkan. Apalagi, pascabom Bali I, menyusul serangkaian aksi, seperti pengeboman JW Marriott (2003), Kedubes Australia (2004), dan bom Bali II (2005).
Motif Baru

Meski eksekusi telah berlangsung, bukan berarti perjuangan memerangi terorisme usai sudah. Aparat kini justru semakin dituntut untuk bekerja ekstra.

Berdasarkan penyelidikan kepolisian terkait pengrebekan di Kelapa Gading, kini muncul motif baru pergerakan kaum radikal. Memusuhi negara AS dan Barat, adalah cerita lama. Kini "musuh" mereka adalah pihak-pihak yang tidak sepaham/sejalan dengan kelompoknya.

Amrozi Baru

Penggagalan skenario pemboman Depo Pertamina Plumpang baru-baru ini pun semakin menguatkan sinyalemen itu. Oleh pelakunya, yang belakangan diketahui jaringan pelarian Poso, pemerintah dianggap sebagai penyebab utama terjadinya lonjakan harga BBM. Peledakan depo BBM mereka anggap simbol perjuangan.

Kalau dugaan tersebut benar, bersiap-siaplah kita menghadapi motif baru aksi terorisme. Ia tidak lagi didasari perjuangan iman seperti angkatan bom Bali I hingga II. Tetapi, mulai bergeser kepada isu kerakyatan.

"Amrozi-Amrozi" baru yang nantinya bermunculan, akan datang dengan mengatasnamakan suara rakyat. Padahal, cara begini justru merugikan masyarakat luas. Dengan pongah mereka akan merusak, kalau perlu meluluhlantahkan, fasilitas-fasilitas publik yang dianggap merepresentasikan perjuangan kerakyatan mereka.

Pemerintah harus awas menyikapi modus terorisme baru ini. Kaum militan macam begini tak takut mengancam mati seorang presiden, yang secara de-jure dan de-facto adalah simbol kekuasaan negara. Dengan ancaman ini, mereka secara tak sadar telah memroklamirkan diri sebagai musuh pemerintah dan masyarakat.

Agaknya, mereka sudah merasa pantas menantang aparat keamanan negara. Lihat saja bagaimana teror bom palsu bagitu kerap menyasar hotel ataupun pusat perbelanjaan. Dengan enteng, mereka menjadikan bom bahan mainan dan olokan kepada aparat.

Kita sebagai warga masyarakat pun hendaknya selalu tanggap lingkungan terhadap orang-orang asing yang mencurigakan. Segeralah melapor pada aparat keamanan, ketika menemukan gelagat mencurigakan. Jangan sampai kasus penangkapan Dr. Azhari di Batu, Malang -- di mana tetangganya sendiri tak tahu jika ada pelarian kelas kakap di lingkungannya--, kembali terulang.

Ingat, terorisme selamanya masuk ketegori kejahatan. Nonsens jika ia mengaku berasaskan wahyu agama, kerakyatan, apalagi patriotisme!

(Dimuat di Koran Sore Wawasan, 18 November 2008)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

10 November 2008

Beratnya Menjadi Mapala

FEATURES

Semarang, 9 November 2008
Beratnya Menjadi Mapala
Oleh Anindityo Wicaksono


JARUM
jam baru menunjukkan pukul 02.00. Irama sepatu trek (boot gunung) berderap memecah keheningan di pagi buta itu. Sesosok pria muda, berambut gondrong sebahu, terburu-buru melangkahkan kaki ke sebuah aula berukuran 15 x 15 meter di lantai dua gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Diponegoro, Semarang.

Pakaian lapangan rajutan (flannel) yang dikenakannya terlihat kumal. Matanya sembab. Ia tak tidur semalaman. Sepatu berbahan kulit miliknya diinjakkan masuk ke ruangan yang berisikan 20-an mahasiswa yang sedang terlelap itu.

"Banguunn...! Banguunn...! Dalam 10 hitungan, baris satu saf dengan seragam lengkap!" pekiknya lantang, sejurus kemudian.

Bak berondongan petasan di malam Tahun Baru, suaranya yang memekakkan telinga itu sontak membangunkan puluhan mahasiswa yang sedang tenggelam dalam pesona mimpi. Kocar-kacir mereka dibuatnya. Yang cepat bangkit, lantas menendang-nendang kawannya yang belum juga bangun.

"1... 2... 3...," pemuda gondrong itu melanjutkan hitungan tanpa peduli.

Sejurus kemudian, mereka segera beranjak, kelimpungan mencari aneka perlengkapan yang tercecer ke seantero ruangan: baju flannel, topi rimba, tas carrier, dan sepatu trek.

Hari itu, medio Juni 2004, para mahasiswa ini sedang menjalani pendidikan dasar (diksar) sebagai prosesi menjadi anggota unit kegiatan mahasiswa (UKM) mahasiswa pecinta alam (Wapeala) Undip, Semarang.

Tak mudah memang, untuk menjadi anggota di UKM itu. Bahkan, boleh dibilang, proses pendidikan yang harus dilakoni hampir setara dengan proses diksar para calon serdadu.

Selain lama, ia menganut sistem seleksi gugur: hanya yang paling akhir bertahan yang lolos. Peserta harus tahan menempa ujian mental dan fisik yang tak sembarangan.

Menurut Aditya (20), Ketua Badan Penerimaan Anggota (BPA) Wapela Undip, keseluruhan tahap dari penerimaan hingga pelantikan calon anggota, total memakan waktu enam bulan. Prosesnya dibagi lima divisi berdasarkan ruang lingkup kegiatannya, yaitu gunung-hutan, selam, susur gua, arung jeram, dan panjat tebing.

Untuk gunung-hutan, atau yang biasa disebut mountaneering, banyak sekali tehnik yang diajarkan kepada para calon anggota. "Mulai dari keterampilan hidup di alam bebas, navigasi peta, membaca kompas, hingga tehnik survival," bebernya.

Menurut Syaiful (23), Ketua Wapeala Undip, petualangan alam bebas bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Banyak hal yang wajib dikuasai seorang pegiat alam bebas jika ingin selamat menggeluti dunia petualangan. Banyak safety-procedure yang harus dipahami.

"Sebelum mengarungi alam yang susah ditebak, kita harus membekali diri dengan persiapan yang matang. Minim persiapan dan perencanaan bisa mengakibatkan kematian," ujar mahasiswa Fakulas Perikanan ini.

Menurut dia, sebelum memutuskan mendaki gunung, ada beberapa keterampilan dasar yang wajib kita ketahui. Hal ini penting untuk meminimalisir resiko yang kemungkinan dihadapi pendaki, seperti kesasar, kelelahan, atau hipotermia (penyakit di ketinggian).

"Keterampilan ini antara lain tehnik packing yang benar, manajemen perjalanan dan logistik, membuat tenda dengan jas hujan, membaca peta tipografi gunung, hingga tehnik navigasi darat berbasis alat kompas," jelasnya.

Berjalan Kaki

Pada sesi "solo-camp" dalam diksar mountaneering, para calon anggota Wapeala ini dipaksa berani hidup mandiri di tengah belantara rimba. Selama tiga hari, pelatihan yang bertempat di Bumi Perkemahan Penggaron, Ungaran, Kabupaten Semarang, ini menempatkan tenda-tenda mereka saling berjauhan. Hal ini agar para peserta tak dapat berkomunikasi dan mengetahui keberadaan masing-masing.

"Kami tidur hanya beratapkan tenda dari jas hujan dan ditemani tiga batang lilin, senter, dan catatan harian. Jauh dari siapa-siapa," kenang Andi Wahyu (20), salah seorang calon anggota.

Di lain hari, pada sesi "survival", mereka dilatih mampu bertahan hidup dengan memanfaatkan bahan-bahan makanan alami dari hutan. Selama tiga hari, mereka "dilepas" hidup di belantara rimba kaki Gunung Ungaran. Masing-masing mereka hanya dibekali makanan seadanya: tiga bungkus mie instan, sebatang lilin, seperempat kilogram gula, dan setengah botol air mineral.

"Akibat keterbatasan ini, mau tak mau kami harus berpikir keras dan saling bekerja sama demi menyambung hidup. Persis acara reality-show 'Survival' yang diputar di salah satu stasiun swasta," ujar mahasiswa Fakultas Hukum ini.

Karena berada di tempat yang sama, mereka saling membagi tugas. Para lelaki merambahi hutan "berburu" bahan-bahan makanan dan mengumpulkan kayu bakar. Jenis makanan ini beragam, mulai dari dedaunan, jamur, jantung pisang, tokek, bekicot, hingga cacing terpaksa dijadikan penyambung hidup. Sedangkan para wanitanya, meracik dan memasak.

Untuk alasan kesehatan, sebelumnya mereka diajarkan di kampus bagaimana membedakan jenis makanan yang dapat dimakan dan yang tidak. Pasalnya, tak semua bahan ini aman. Mereka harus pintar-pintar memilah. Salah-salah, fatal akibatnya: mati keracunan.

Pelatihan untuk mountaneering ini digabung dengan susur gua. Setelah sesi "survival" usai, mereka melanjutkan berjalan kaki ke Gua Kiskenda, Kendal, Jawa Tengah, sekitar 20 kilometer dari kaki Ungaran. Delapan jam nonstop mereka berjalan kaki maraton.

Ekspedisi

Seminggu penuh para peserta ini menghabiskan waktu di lapangan untuk melakoni pelatihan dua divisi gabungan ini. Saking lamanya di hutan, tanpa cermin dan alat-alat mandi, para pegiat alam ini pulang dengan kondisi memprihatinkan. Rambut kusam dan badan bau hutan. Baju lusuh tak beraturan.

Divisi sisanya, arung jeram dan panjat tebing, rata-rata menghabiskan waktu tiga hari di lapangan. Arung jeram bertempat di Sungai Elo, Magelang, dan panjat tebing di Tebing Kali Pancur, Salatiga.

Selesaikah? Belum. Di tahap akhir, setelah menyelesaikan lima divisi, para peserta masih harus melakoni ekspedisi sesuai divisi yang diminatinya. Tahap ini amat menentukan apakah seseorang layak mendapatkan nomor anggota atau tidak. Untuk tempat tujuan, mereka yang sudah terbagi dalam tim-tim ini bebas menentukan.

Aditya mengatakan, karena namanya "ekspedisi", masing-masing regu wajib mencari tempat yang belum pernah dikunjungi angkatan-angkatan sebelumnya. Minimal di Pulau Jawa selain Jawa Tengah, seperti Jawa Barat atau Jawa Timur.

"Dalam perjalanan ini, selain membuat laporan dalam bentuk karya tulis dan dokumentasi foto, para calon anggota juga harus membawa misi, seperti pemetaan, studi demografis, atau bersih gunung bagi yang memilih divisi gunung-hutan," terangnya.

Bagi mereka, mungkin benar apa yang dikatakan Lord Byron, pujangga masyhur Inggris, dalam syairnya ini: There is a pleasure in the pathless woods/ There is a rapture on the lonely shore/ There is society, where none intrudes/ By the deep sea, and music in its roar: I love not man the less, but Nature more.

(Ada kesenangan dalam hutan tanpa jalan setapak/ Ada kegembiraan pada pantai yang sunyi/ Ada masyarakat yang tidak memunyai pengacau/
Ada alunan musik dari samudera dalam: Saya mencintai manusia, tapi lebih suka kepada alam)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

09 November 2008

Pesan Plato untuk Pemimpin Baru

KOLOM
Pesan Plato untuk Pemimpin Baru
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://sagisty.files.wordpress.com)

KANCAH politik di Indonesia sedang memasuki episode baru. Untuk kali pertama rakyat memilih langsung kepala daerah (gubernur, walikota, bupati) melalui sistem pemilu proporsional terbuka. Pascareformasi 1998, sistem demokrasi pelan-pelan mulai diterima sebagai proses yang dipercaya bisa membawa perbaikan di negeri ini.

Demokrasi kini makin membuka aspirasi dan menyumbang motivasi bagi keterlibatan aktif publik pada politik. Rakyat Indonesia yang pada empat dekade terakhir terbiasa diasingkan dari proses politik, kini untuk kali pertama menjadi primadona. Suara rakyat mulai menjadi suara Tuhan (vox populi vox dei) untuk menentukan arah langkah daerahnya.

Seperti dilansir di aneka media, hasil quick count (sampling acak dari 400 TPS) Pilgub Jateng 2008 menetapkan pasangan jago PDIP, Bibit Waluyo-Rustriningsih unggul dengan 44,10 persen suara. Melampaui Bambang-Adnan dengan 22,89 persen, Sukawi-Sutarip-Sudharto 15,60 persen, M Tamzil-Abdul Rozaq Rais 11,30 persen dan Agus Suyitno-Andul Kholiq Arif 6,11 persen.

Kemenangan ini tampaknya memang tidak terlalu mengejutkan. Pasangan Bibit-Rustri memunyai kapasitas dan track record yang positif, di luar tradisi militer dan nasionalis yang memang telah kuat mengakar di peta politik Jateng.

Jejak rekam prestasi politik dan kinerja pemerintahan yang ditorehkan Rustriningsih, khususnya ketika menjabat Bupati Kebumen, tercatat baik. Kinerja positif keduanya ini telah memberi sokongan besar pada perolehan suara.

Kini pasangan Bibit-Rustri hampir dipastikan akan menyandang gelar baru sebagai orang Jateng nomor satu dan dua. Keduanya ialah sosok yang memperoleh suara terbanyak dari kompetisi pilkada yang berlangsung aman, tertib dan lancar, terlepas dari tingkat golput paling tinggi dibandingkan daerah-daerah lain. Keduanya telah mencatatkan diri sebagai pelaku sejarah yang menjadi pemimpin pertama melalui pilkada langsung.

Namun begitu, sebuah status baru yang tidak otomatis memberikan kekuatan baru kepada mereka untuk menjadi pemimpin. Jabatan prestisius itu bukanlah akhir dari sebuah pekerjaan. Dalam seni manajemen kepemimpinan, menduduki sebuah jabatan hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk memberikan pengaruh terhadap mereka yang dipimpin.

Di era demokrasi yang dinamis ini, jabatan justru menuntut kerja keras. Keduanya harus diberikan peringatan bahwa jabatan hanyalah amanah. Mereka berdua harus benar-benar bertanggung-jawab atas amanah yang diberikan itu supaya mereka bisa berjalan sampai tujuan.
Enam program

Untuk masabakti lima tahun ke depan, enam program yang dijanjikan Bibit-Rustri dapat dijadikan otokritik untuk menilai kinerja pemerintahannya. Pertama, mewujudkan pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang profesional dan responsif. Kedua, titik berat pembangunan pada bidang ekonomi kerakyatan dengan pemberdayaan lahan pertanian dan usaha kecil mikro menengah.

Ketiga, pemberdayaan, sosial budaya yang di dalamnya ada masalah pendidikan, kesehatan, kesetaraan jender, pariwisata. Keempat, peningkatan SDM. Kelima, peningkatan pelayanan publik yang akan mendukung roda perekonomian Jateng. Lalu keenam, mewujudkan kondisi aman, sehingga masyarakat dapat dengan tenang damai untuk membangun daerahnya.

Secara regulatif, poin-poin ini bukanlah hal yang mudah untuk diimplementasikan. Prioritas program dan kegiatan yang dilakukan juga memerlukan dukungan dan iklim kondusif, sehingga Jateng bisa berjalan beriringan bersama berbagai implementasi kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan.

Tentu kita dapat berharap kehadiran pemimpin baru ini akan membawa implikasi positif bagi kemajuan Jateng. Untuk itu, butuh dukungan seluruh elemen masyarakat sebagai pilar demokrasi. Kita perlu terus mengawal dan menjadi anjing penjaga agar visi misi serta serbaprogram janji tidak hanya menjadi sekadar pepesan kosong.

Seperti adagium Lord Acton, kekuasaan cenderung untuk korup (power tends to corrupt). Namun jika dibatasi dan diawasi, manipulasi kekuasaan tentunya bisa diminimalisir.

Amanat Rakyat

Setiap jabatan memiliki kehormatan untuk disandang di dalamnya. Karena itu, ada tanggung jawab untuk menjaga kehormatan tersebut. Itulah yang kerap disebut sebagai ”noblese oblige”. Jelas maknanya: setiap kedudukan harus diemban dengan semangat penuh dan kehati-hatian.

Namun, di dalam praktiknya, banyak penguasa melalaikan amanahnya yang mula-mula ketika terlena di atas singgasana. Mereka jadi lupa diri lalu menggunakan kekuasaannya untuk melakukan apa saja untuk memuaskan hasrat dirinya. Imbasnya: nasib rakyat diabaikan.

Manusia seperti ini disebut Sigmund Freud sebagai manusia yang diperhamba oleh ”ego”nya. Mereka adalah pelayan atas perutnya sendiri dan menggunakan kekuasaan sebagai alat pemuas keinginannya. Mereka mengabaikan ”superego”, yaitu hati nurani dan kemampuan inteleknya.

Plato pernah mengingatkan kita dalam karya masyhurnya “Republic”: “Penguasa itu diamanatkan oleh Tuhan pertama-tama dan terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik seperti terhadap anak mereka sendiri.”

Pesan Plato itu sangatlah sarat muatan moral-edukatif dan mengandung dimensi etika dan pendidikan. Pesan sang filsuf ditujukan pada para pemimpin yang sedang atau akan menduduki posisi jabatan strategis, yang dikenal dengan elitisme kekuasaan supaya dalam kepemimpinannya, mereka ini ingat dan giat menegakkan amanat yang dipercayakan kepadanya.

Tentunya kita semua rindu akan figur pemimpin seperti pesan Plato ini. Lalu penulis teringat akan Gandhi yang menyerukan para pemimpin untuk hidup sederhana, dengan peralatan bersahaja dan hasrat yang tak muluk dalam menikmati benda-benda.
Lalu, masih adakah kini pemimpin seperti itu? Semoga.

(Dimuat di Koran Sore Wawasan, 1 Juli 2008)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Jangan Harap Lolos Audisi

KOLOM
Jangan Harap Lolos Audisi
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.pks-jaksel.or.id)

MENJELANG Pemilu 2009, para calon presiden (capres) dan calon legislatif (caleg) mulai tebar pesona sebisanya demi meraih simpati masyarakat. Mereka merelakan koceknya dalam-dalam demi menggelar baliho, iklan televisi, hingga menggandeng selebriti untuk mendongkrak raihan suara. Bak perjuangan seorang pria dalam mengejar dambaannya, segala cara dilakoni apapun resikonya.

Segala suguhan pesona ini ternyata tak terlalu dianggap oleh rakyat. Pasalnya, ini era reformasi, Bung! Rakyat sudah jauh lebih pintar di bidang politik. Dalam memilih, rakyat tak lagi mudah terbuai janji-janji, pencitraan semu, bahkan oleh politik uang sekalipun. Seperti kata pameo: “Ambil saja uangnya, tapi jangan pilih orangnya”.

Mengapa demikian? Kini eranya kebebasan informasi. Salah satu cirinya, media diberi kebebasan memainkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi. Politikus yang tertangkap tangan melakukan korupsi lalu ramai diberitakan. Akibatnya, rakyat makin pintar membedakan mana politikus yang jujur idealis, mana yang busuk mendewakan kekayaan atau kemashyuran belaka. Ini juga salah satu pemicu tingginya golput di sebagian besar Pilkada lalu.

Baru saja ada berita heboh. Agus Condro, anggota PDIP, mengaku telah menerima uang Rp 500juta semasa pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Gultom tahun 2004. Dia juga menguak kebobrokan mekanisme DPR dalam pemilihan pejabat negara yang erat dengan intrik dan “politik dagang sapi.” Kasus ini menambah deretan politikus busuk di negeri ini.

Sejatinya, dewan adalah garda terdepan pejuang amanat rakyat. Mereka dituntut memiliki hati, pikiran, dan tangan, untuk memperjuangkan penghidupan orang banyak. Namun apa kenyataanya? Ketika menjabat, mereka lupa pada janji manis yang pernah mereka katakan, mereka menjelma menjadi penelikung hak orang banyak.

Apa yang bisa kita petik dari tindakan Agus Condro ini? Pertama, kita patut memuji langkah luar biasa ini. Berkat keberaniannya, benang kusut penyakit bangsa perlahan mulai dapat terurai. Kita juga makin terang akan modus para politikus yang gemar memperkaya diri ini.

Kedua, tanpa disadari, rakyat mendapatkan pendidikan politik dari aneka kasus model begini. Rakyat dibuat paham membedakan mana partai yang bersih, mana yang diramaikan politikus bermasalah jejak rekam postiif.

Kenyataan ini patut direnungkan oleh semua elemen bangsa, terlebih para aktor di panggung demokrasi. Jangan kira rakyat yang selama ini duduk menonton di pinggir tak pernah menaruh awas pada tindak-tanduk para wakilnya. Kadang kesalahan terkecil justru paling dulu diketahui oleh penontonnya.

Kata Taufik Ismail, seperti dikutip Nicky Astria, politik di Indonesia diibaratkan panggung sandiwara. Peran rakyat adalah penonton sekaligus juri audisi. Ketika audisi, rakyat hanya akan memilih aktor-aktor yang dianggap sanggup bermain apik sesuai jalinan naskah yang dikehendaki. Jika tidak, jangan harap bisa lolos audisi, bahkan menjadi figuran sekalipun.

(Dimuat di Harian Seputar Indonesia, 1 September 2008)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Jurnalisme Positif

KOLOM

Jurnalisme Positif
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://thesocratesmedia.com)

TIDAK banyak negara yang mengalami kemalangan dramatis seperti Indonesia. Negara yang pada medio tahun 80 dan 90-an pernah dianggap sebagai salah satu negara paling bagus kinerjanya di kawasan Asia Tenggara, berbalik 180 derajat menjadi mata rantai paling lemah dari optimisme kawasan Asia Tenggara lepas dari masa resesi.

Pengangguran yang meluas, penurunan mutu pendidikan, ketidakjelasan penegakan hukum, dan buruknya sektor pelayanan publik adalah beberapa dari banyak kondisi buruk negara yang terus memingirkan posisi Indonesia. Tiap hari masyarakat disuguhi berbagai realitas yang mencerminkan bangsa yang seringkali terlalu dini menepuk dadanya sendiri.

Kondisi ini membentuk perpsektif kuat di masyarakat bahwa sudah tidak ada lagi hal yang dapat dibanggakan dari Indonesia. Tidak ada yang becus di negara ini. Sudah bterlalu lama rakyat bertahan pada harapan semu akan kemajuan. Lantas, apakah masih ada tempat untuk optimistis hidup di Indonesia?

Adalah bijak untuk tidak hanya mencela bangsa sendiri seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla baru-baru ini. Dengan gaya khasnya, JK yang terkenal suka bicara blak-blakan ini menjadikan kejadian semakin macetnya Jakarta dan seringnya lampu padam sebagai indikator perbaikan kehidupan ekonomi.

Walau pernyataannya sempat menimbulkan polemik, namun harus jujur kita akui tidak siapapun yang salah dalam bangsa yang sering merasa paling benar ini. Carut marut bangsa bukan semata-mata tanggung jawab tunggal pemerintah sebagai penyelanggara negara. Meski secara signifikan belum hilangnya budaya negatif seperti hebatnya praktik KKN dalam sendi kehidupan, Indonesia sedikit banyak mulai berbenah yang ditandai dengan perekonomian yang merambat naik.

Bangsa ini saat ini lebih membutuhkan negarawan-negarawan untuk maju ke garda depan menurut bidang dan perannya masing-masing demi membangun bangsa yang lebih terhormat. Saling berlomba menjadi kritikus dan paling sering mencatat setiap kesalahan pemerintah niscaya tidak akan membawa negara ini kemana-mana. Kritik dan cela dilakukan seperlunya saja ibarat obat dalam dosis yang tepat. Mengutip konglomerat Ir. Ciputra, mencoba menyalakan lilin walau kecil, lebih baik daripada hanya terus mencaci dalam kegelapan.

Memang kebebasan mengemukakan yang mengambil bentuk kebebasan pers adalah pilar utama kehidupan demokrasi. Namun, tiadanya fungsi kontrol pers oleh pemerintah jangan lalu dipahami dengan cara pandang keliru. Sistem pers yang liberal dan sebebas-bebasnya tidak sama dengan sistem pers tanggung jawab sosial. Pers liberal tidak sehat karena cenderung memberitakan dari salah-satu satu sisi saja. Sistem yang kedua terbukti berhasil membuat pers di AS menjadi pers demokrasi yang paham menentukan batasnya sendiri.

Sebagai pembentuk opini masyarakat yang paling efektif, sudah saatnya pers mengembangkan jurnalisme positif seperti yang pernah digulirkan Presiden SBY. Hanya mencela dan mengekspos secara berlebihan oknum-oknum aparatur yang berbuat salah merugikan masyarakat dilakukan seperlunya saja. Ada pameo, manusia adalah tempatnya kesalahan dan kekhilafan.

Pemberitaan positif tentang secercah lilin yang coba dinyalakan oleh anak bangsa harus diberi tempat yang berimbang. Hal semacam ini harus dilakukan secara berkesinambungan agar lambat laun membentuk opini masyarakat yang berperspektif positif. Inilah fungsi pers dalam kerangka tanggungjawab sosial.

Seperti kata Ernest Everhar, kalah saat ini, tapi bukan untuk selamanya! Kita sudah belajar banyak hal. Besok, perjuangan kita akan bangkit kembali, lebih bijak dan lebih disiplin.
Memberi solusi yang lebih aplikatif akan permasalahan yang ada lebih bermanfaat ketimbang hanya terus mencela. Bangsa yang terlalu sering mencela adalah bangsa yang akan selalu menghujat pemimpin yang dulu mereka pilih sendiri ketika turun hanya untuk menyanjung pemimpin baru mereka. (*)

(Dimuat di Harian Kompas Jateng, 7 Maret 2008)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

07 November 2008

Enak Mana, Reporter atau Narasumber?

JURNALISME

Semarang, 7 November 2008
Enak Mana, Reporter atau Narasumber?
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: malindokini.files.wordpress.com)

BELAKANGAN
ini nama saya sering disebut-sebut sebagai narasumber dalam beberapa media cetak dan online. Ada tiga permasalahan bertemakan budaya dan sosial yang menyertakan pandangan pribadi saya ini: RUU-Pornografi, film nasional, dan ideologi Pancasila dalam momentum Sumpah Pemuda 2008.

Sebenarnya, berita-berita ini awalnya bersumber dari satu media: Kantor Berita Antara Biro Jateng. Reporternya yang menulis, Brando Sinurat, pun kawan kental saya sendiri. Namun, karena memang jaringan kantor berita ini menasional, jadilah warta yang memuat nama saya itu tersebar luas.

Mulai dari Harian Sinar Indonesia Baru (Medan), Harian Pelita, Harian Suara Karya, Institut Perempuan Online, Gatra Online, hingga menjadi pembahasan dalam beberapa blog yang memuat analisis aneka berita. Lantas apa rasanya melihat nama sendiri masuk media? Kaget bin bangga. Selain itu, lucu.

Kok lucu? Ya, saya yang notabene reporter, jurnalis, yang biasa mewawancarai dan menuliskan pendapat para pakar di surat kabar, kini malah muncul di koran sebagai narasumber. Sombong? Tidak juga. Saya cuma jadi lebih paham. Saya jadi bisa merasakan apa rasanya saat nama seseorang, terutama pendapatnya, luas disebut-sebut dalam media. "Oh begini to, rasanya, menjadi bahan pemberitaan?"

Bukan yang menjadi tersangka kejahatan, lho. Tetapi yang menjadi narasumber, yaitu mereka yang perkataannya dianggap mencerahkan --bukan mengeruhkan--, lantas diminta mengomentari beberapa masalah aktual yang sedang mencuat di masyarakat.

Tentunya narasumber begini bukan sembarang orang. Biasanya mereka adalah orang yang -- atau dianggap-- berkompeten pada satu permasalahan yang saat itu dibicarakan. Atas dasar latar belakang dan pegetahuannya, mereka dianggap pantas memberikan pandangan atas sebuah isu. Lantas, apa kualifikasi saya, sampai-sampai ucapan saya dikutip pada isu budaya seperti ini?

Dijuluki Gareng

Kebetulan dulu semasa kuliah, saya aktif di aneka kegiatan. Sebut saja Senat Mahasiswa FISIP Undip, mahasiswa pecinta alam, SAR universitas, hingga teater kampus FISIP Undip: Teater Ortoddok. Walau begitu, dari seabrek kegiatan yang saya ikuti itu, hanya yang terakhir yang sukses mengantarkan saya menjadi ketua.

Dua tahun (2005-2007) lamanya saya menduduki pucuk tertinggi Teater Ortoddok. Kini, walau sudah lengser dari posisi ketua, saya terhitung masih aktif dalam teater yang berdiri pada 16 Juni 1994 ini.

Apa boleh buat, status saya saat ini masih mahasiswa, belum alumni. Belum kelar-kelar juga skripsi saya. Karena itulah, saya masih tak enak hati untuk melepaskan begitu saja teman-teman lain. Lain ceritanya kalau nanti saya sudah wisuda, atau kerja di luar kota.

Bahkan, saking melekatnya saya dengan teater ini, julukan "Gareng" pada nama saya pun bermula di sini. Kisahnya, di masa awal-awal bergabung, saya mengikuti pelatihan teater dasar di Salatiga yang menjadi syarat calon anggota sebelum sah dilantik menjadi anggota.

Di hari terakhir pelatihan, kami, semua calon anggota baru, didaulat mementaskan sebuah naskah unggulan mereka yang berjudul "Memomamimurtad". Kisahnya mengenai pergulatan pemuda yang digusarkan pada pilihan: iman atau sang gadis, pujaan hatinya.

Di salah satu babak, ada adegan ketika beberapa pemuda yang berdandan ala Gareng, Petruk, dan Bagong, menggoda sang gadis. Saya kebagian peran "Gareng".

Ketika melihat saya masuk panggung dengan dandanan ala "Gareng", yang memang acak-acakan karena dirias oleh amatiran, keluarlah celetukan para senior yang ikut menonton: "Ah, lihat itu, si Dityo! Benar-benar 'natural'. Wajahnya pas sekali dengan 'Gareng'."

"Cocok apa? Dandanan tak karuan begini dibilang cocok!"

Di teater yang berciri khas penggunaan alat musik dan busana tradisional Jawa ini, saya kini lebih sering menjadi sutradara atau penulis naskah. Hal ini karena saya termasuk angkatan "tua" dan tinggal menunggu hitungan bulan untuk lulus kuliah.

Namun, kalau jumlah pemain kurang menjelang jadwal persiapan yang singkat, tak jarang saya dengan semangat juang '45 kembali "turun gunung" menjadi aktor.

Naskah-naskah yang kami mainkan seputar kehidupan sosial, karut-marutnya wajah anak muda, hingga satir tentang manusia yang acapkali penuh citra diri palsu, kesombongan, dan lupa diri. Dasar yang kami ambil adalah firman-firman TUHAN.

Teater ini didirikan oleh Lik Agus MerDK dan kawan-kawan. Lik Agus sendiri, kini menjadi sutradara-cum-penulis naskah di lembaga multimedia Christoperus yang bergerak di pembuatan film-film rohani Kristen.

Mimik Serius

Berangkat dari kapasitas ini, teman saya, Brando, sang reporter-lepas Antara, tiba-tiba datang menanyakan pendapat tentang topik yang bertemakan budaya dan sosial. Tak seperti biasanya, wajah kawan asal Pematang Siantar, Medan, yang sudah lama saya kenal sejak di kampus ini, berubah serius.

"Dit, bagaimana pendapat kau tentang pengesahan RUU-Pornografi yang belakangan ini ramai?"

Karena dadakan, dan datang dari teman yang saya kenal suka bergurau, saya pun menjawab ala kadarnya:

LIHAT DETAIL BERITA
: UU-
Pornografi Intervensi Kebebasan dan Kehidupan Pribadi

Di lain hari, saat sedang asyik bercanda di warung kopi, wajahnya tiba-tiba berubah serius, dan berkata: "Lae (bahasa Batak untuk panggilan teman sebaya), bagaimana pendapat kau tentang film nasional kita saat ini?"

LIHAT DETAIL BERITA: Film Nasional Tak Imbang

Pada 28 Oktober 2008, momentum Sumpah Pemuda, ia pun begitu. Saat main ke indekos saya, tak ada hujan tak ada angin, lagi-lagi dia bertanya dengan mimik serius, persis Bung Karno saat menyerukan Proklamasi: "Lae, kuminta pendapat kau tentang Sumpah Pemuda. Apa kini korelasinya dengan Pancasila?"

LIHAT DETAIL BERITA: Pancasila dan Sumpah Pemuda Mulai Luntur di Jiwa Bangsa

Jujur, di semua kesempatan itu, saya benar-benar menjawab dengan "ala-kadarnya". Maklum, wawancara singkat itu benar-benar tanpa persiapan. Tetapi, meski saya belum pernah sekalipun menulis tentang topik-topik itu, saya memang banyak membaca mengenainya. Jadi, tak bodoh-bodoh amatlah waktu itu.

Ketika itu, Brando memang sudah minta ijin mengutip ucapan saya untuk beritanya (dalam etika pers, ucapan yang dikutip dalam berita tanpa pemberitahuan sebelumnya, bisa dituntut sang narasumber). Namun, karena suasana waktu itu sedang rileks, kami sedang mengobrol penuh gurauan di warung kopi, saya tak mengira ia benar-benar akan ucapannya.

Sebulan setelah pemuatan beritanya, dengan logat Bataknya, Brando baru memberi tahu saya: "Hei Lae! Beritaku yang pakai narasumber kau itu sudah dimuat. Malah di Harian SIB (Medan), dipajang cukup besar."

"Berita yang mana?"

"Ah, masa Lae lupa?
Tempo hari, waktu kita nongkrong di warung kopi hari itu!"

* * *

Ah, ya sudah, hitung-hitung publikasi diri gratis. Masakan menulis perkataan orang terus. Sekali-sekali menjadi narasumber, tak apalah! Lantas, kalau ditanyakan: enak mana menjadi reporter atau narasumber? Sama saja! Sama-sama susah: pantang menerima amplop!

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

03 November 2008

Itu Dia Mayatnya...!

FEATURES

Semarang, 3 November 2008
Itu Dia Mayatnya...!
Oleh Anindityo Wicaksono


SEBUAH bus antarkota dalam provinsi (AKDP) asal Semarang berhenti tepat di depan kantor kecamatan Adipala, sekitar 10 km dari Kota Cilacap, Jawa Tengah, pada suatu pagi buta. Kantor dan jalanan di depannya masih lengang. Rumah-rumah di sekitar terlihat kosong, tampak habis ditinggalkan pemiliknya.

Angin pagi sekilas membawa bau pasir laut dari ujung jalanan. Bunyi berdesir pohon kelapa sayup-sayup terdengar, menandakan pantai berada tak jauh dari sana.

Hari itu adalah pasca-satu hari Cilacap dilanda gelombang-pasang tsunami. Awalnya, gempa tektonik berkekuatan 5,5-6,8 skala richter yang terjadi di selatan Pantai Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Jabar, tepatnya di posisi 9,46 Lintang Selatan (LS) dan 107,86 Bujur Timur (BT), menguncang Cilacap, Pangandaran, Kebumen, dan beberapa wilayah di pantai selatan Jateng dan Jabar.

Tsunami pun datang mengiring. Gelombang air bah setinggi 3-5 meter menyapu daratan sekitar pantai Cilacap, membawa pasir dan lumpur. Ratusan perahu yang menjadi sandaran penghidupan masyarakat nelayan Cilacap, hancur terseret ombak sejauh ratusan meter.

Wilayah kota penyu ini yang terkena, tepatnya di kawasan pesisir selatan, dari Adipala, Cilacap, hingga wilayah Kebumen, yaitu Karangbolong dan pantai Ayah. Setidaknya, jumlah korban tewas mencapai 123 orang yang tersebar di delapan kecamatan di Cilacap.

Di Adipala 55 orang tewas dan tujuh dinyatakan hilang. Di Binangun 57 orang tewas dan 10 hilang, di Kecamatan Cilacap Selatan 11 orang tewas dan 13 dinyatakan hilang. Di Kecamatan Cilacap Tengah tiga warga tewas dan satu orang hilang. Ratusan orang kehilangan rumah akibat rusak parah tersapu gelombang.

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) berasumsi, gelombang Tsunami ini masih ada kaitannya dengan gempa dahsyat di Yogyakarta-Klaten yang baru dua bulan berselang. Titik episentrum, atau pusat gempanya, disebut-sebut sama, yaitu di laut selatan Jawa.

Tsunami merupakan gelombang laut berperiode panjang. Ia timbul lantaran energi yang merambat ke lautan akibat gempa bumi, letusan gunung berapi, dan runtuhnya lapisan-lapisan kerak bumi di dasar samudera.

Ketika lantai dasar samudera berpindah tempat dengan cepat, seluruh beban air laut di atasnya terkena dampaknya. Dahsyatnya fenomena alam ini dapat disaksikan pengaruhnya di permukaan dan keseluruhan beban air laut, hingga kedalaman 5.000-6.000 meter. Satu rangkaian bukit dan lembah gelombang itu dapat meliputi wilayah hingga 10.000 kilometer persegi.


Anggota Senior

Pagi itu, Selasa, 18 Juli 2006, total delapan orang dari Tim SAR UNDIP, termasuk saya, ditugaskan dalam operasi gabungan bersama Tim SAR Semarang. SAR UNDIP sendiri baru berumur empat bulan ketika itu. Ini tugas kedua kami sejak berdiri. Sebelumnya, pada operasi evakuasi pascagempa di Klaten, 27 Mei 2006.

Ketika kami datang, Murwat (30) dan Wahid (25), anggota SAR Semarang, sudah mendirikan posko evakuasi berdekatan dengan kantor Polsek Adipala di dalam kompleks kantor kecamatan. Mereka membawa mobil jip operasional SAR beserta satu perahu karet (rubber boat) bermotor dengan mesin tunggal kapasitas 16 pk.

Murwat adalah salah satu anggota senior yang telah tahunan bertugas di SAR bentukan Departemen Perhubungan itu. Ke mana-mana, ia selalu mengenakan topi rimba hitam dan menenteng ponsel Ericsson RG-Pro yang berwarna senada dengan seragamnya: oranye terang.

Meski perawakannya pendek, tak sampai 170 cm, dan agak gemuk, tapi jangan tanya kemampuannya. Ia paling mahir untuk urusan navigasi (tehnik pembacaan peta), evakuasi korban, tehnik P3K, dan tali-temali. Orangnya tegas, tak banyak omong. Kalau ditanyakan mengapa begitu pendiam, ia pun lama menyahut, "Bicara seperlunya saja, jangan suka berbasa-basi kalau tak penting."

Wahid juga relawan yang sudah cukup lama bergabung. Kulitnya hitam legam; khas orang lapangan. Bicaranya ceplas-ceplos dan paling gemar bercanda. Ia turut serta dalam berbagai operasi, baik yang lokal seperti orang jatuh di sumur, orang tewas atau hilang di gunung, hingga yang mengharuskannya menyeberangi pulau seperti operasi evakuasi tsunami Aceh, medio Desember 2003.

"Karena masih mahasiswa di Universitas Stikubank Semarang, satu bulan saya dapat ijin tidak ikut ujian akhir selama bertugas di Aceh," kisahnya.

Pernah Wahid bercerita, hingga hari ke-3 masa awal tugas di Aceh, ia tak pernah bisa tidur. Pasalnya, bau busuk dari ribuan mayat di sekitar posko yang belum dievakuasi, terlalu menyengat. Bahkan, saking dahsyat jumlahnya, makan siang di hadapan mayat pun menjadi hal yang biasa baginya.

Selama satu minggu, kami akan melaksanakan suatu operasi-evakuasi gabungan. Di bawah satu komando dari Camat Adipala, kami akan dibantu SAR daerah lain yang akan datang menyusul di malam harinya, yaitu Wonogiri, Temanggung, dan Klaten.

Mengapa hanya satu minggu? Menurut Murwat, sebagian besar korban tsunami di Cilacap ini, baik yang tewas atau yang belum ditemukan, adalah nelayan-nelayan atau orang yang pada hari kejadian berada dekat dengan pantai atau sedang melaut. Artinya, jika jenasahnya belum diketemukan, itu berarti ia tertahan di sekitar laut.

Berdasarkan ilmu medis, jika manusia tenggelam di air, dalam 3-4 hari badannya akan membesar dan menggelembung terisi air. Untuk air laut yang kadar garamnya tinggi, proses ini bisa makin cepat dibandingkan korban yang tenggelam di air tawar.

Tubuh yang penuh air ini rapuh; mudah pecah dan terombang-ambing terbawa arus air. Saat itu, kita beruntung jika arus laut mengantarkannya ke arah pesisir. Jenasah akan tiba sendiri di pantai. Namun, jika lebih dari empat hari jenasah belum diketemukan, badannya yang penuh air itu akan pecah dengan sendirinya. Hilang bersama buih ombak. Tak ada gunanya lagi mencari jenasahnya.


Keluarga Jenasah

Murwat dan Wahid sudah berada di lapangan ketika kami datang. Ada kabar, nelayan menemukan sesosok mayat di pantai. Dengan menggunakan mobil patroli Polsek setempat, segera kami bergeser ke lokasi. Lokasi penemuan itu berada di pesisir selatan pantai Cilacap. Untuk tiba di sana, kami melewati beberapa tambak yang terlihat kosong ditinggalkan para petaninya.

Memasuki kilometer satu dari garis pantai, bekas-bekas gelombang pasang laut mulai terlihat. Air dalam tambak-tambak terlihat bercampur dengan pasir pantai. Bangunan-bangunan dari beton di dekat pantai pun sudah hancur tak karuan.

"Itu dia mayatnya!" ujar seorang anggota Polisi membuyarkan lamunan kami.

Orang banyak sudah ramai mengerumuni sesosok mayat pria setengah-baya. Saya taksir ia berumur 30-an tahun. Badannya gemuk. Karena lama terapung-apung di laut, badannya menggelembung pada bagian perut, mata, dan alat vitalnya. Kaos berwarna putih dan celana pendek selutut masih melekat di badannya. Baunya busuk menyengat. Agak mual juga melihatnya.

"Dia biasa memancing di sekitar sini," kata seorang warga di kerumunan.

Kawan jenasah, yang turut dalam kerumunan, menyatakan kesediaannya menunjukkan kediaman keluarganya. Setelah dengan hati-hati menaikkannya ke mobil patroli, jenasah ini langsung kami bawa ke rumah keluarganya, kira-kira 1 km dari pantai.

Rumahnya tampak ramai setibanya kami di sana. Tak kurang dari 30 orang keluarga dan tetangganya tampak berkerumun. Tak ayal, kedatangan kami ini sontak disambut ledakan tangisan mereka. Mereka langsung meletakkan jenasah di atas meja yang sudah disiapkan di dalam ruang tamu. Jenasah mereka tutupi dengan kain sarung.

Agak ringan memang tugas kami jika korban diketahui kediamannya. Kami hanya bertanggung jawab menyerahkan jenasah pada keluarganya. Beda jika identitas korban tak diketahui atau yang hingga berhari-hari tak ada yang mengambilnya di rumah sakit. Kalau begitu, terpaksa kami jugalah yang berkewajiban memakamkannya.

Sesuai instruksi kecamatan, hari itu kami bertugas melakukan sweeping di sepanjang pesisir pantai. Wilayah operasi kami berangkat dari data orang hilang yang dimiliki Kesbanglinmas. Di titik-titik mana saja orang banyak melaporkan kehilangan anggota keluarganya.

Dalam sebuah operasi SAR, pucuk tertinggi pimpinan di wilayah administratif berhak memegang tongkat komando tertinggi. Dulu di Yogya dan Klaten, misalnya, Gubernur Yogya dan Bupati Klaten didaulat menjadi koordinator.

Maka dari itu, di Cilacap, instruksi harus satu pintu dari Bupati Cilacap. Biasanya, demi mempermudah dan mempercepat koordinasi, kepala daerah akan memotong jalur protokoler dengan menunjuk Muspida setempat. Artinya, dalam operasi tsunami ini, Camat Adipala berwenang memegang kendali segala urusan.

Untuk itu, SAR, TNI-AD, dan Polsek yang bersamaan menerjunkan personelnya harus saling berkoordinasi, menjalin komunikasi, dan menunggu instruksi satu-pintu dari Camat Adipala. Hal ini untuk menghindari tumpang-tindih atau saling "rebutan wilayah" selama proses evakuasi.

Tim evakuasi gabungan ini dibagi berdasarkan wilayahnya. Secara garis besar, tugas kami semua hanya satu: mencari mayat. Tak sama dengan operasi gempa Yogya yang beragam selain evakuasi mayat, dari rehabilitasi gedung-gedung sekolah dan rumah yang rusak, menyalurkan bantuan, hingga membuka posko kesehatan.

SAR yang total berjumlah 22 orang ini bertugas meng-cover dari wilayah pantai hingga muara yang menjorok ke arah laut dangkal. Selain itu, karena di tim kami terdapat mahasiswa keperawatan, malam harinya kami membuka posko kesehatan. Namun, karena tsunami tak terlalu menimbulkan korban luka-luka, posko ini akhirnya hanya mendapati keluhan-keluhan para pengungsi yang berumur lanjut, seperti tes tekanan darah atau konsultasi kesehatan.

TNI, melalui Koramil Adipala, menerjunkan satu pleton dari salah satu batalyon infanteri miliknya. Mereka bertugas menyisiri sepanjang garis pantai. Sedangkan Polsek menurunkan satu pleton dari Brimob.

Hebat benar anggota TNI ini, pikir saya. Tak seperti kami dari SAR dan kepolisian yang tidur enak di posko kecamatan, mereka negpos di sebuah SD di dekat pantai yang kosong akibat ditinggalkan para siswa dan gurunya mengungsi. Artinya, para serdadu ini harus rela makan seadanya, dan tidur tak nyaman. Mereka jauh pula dari keramaian.

Presiden SBY

Sepanjang hari pertama hingga ketiga, kami dibagi menjadi tiga dua tim. Yang pertama, menyusuri timur Teluk Penyu hingga ke arah pantai Ayah, menjelang wilayah administratif Kebumen. Sedangkan tim kedua, menyusur ke arah barat Teluk Penyu.

Sesuai prosedur keamanan, berbekal kantong mayat secukupnya, masing-masing kami mengenakan pelampung untuk menghindari kemungkinan tersapu ombak saat terjadi gelombang pasang susulan.

Sebanyak 1, 2, dan total 3 jenasah ditemukan tim pertama ketika itu. Seluruh jenasah ini tersangkut di semacam delta penghubung antarmuara. Korban keempat, ditemukan tim kedua di bawah jembatan dekat kali penghubung muara laut.

Korban keempat ini sudah membusuk. Dari pakaiannya, kami menduga ia adalah pemancing yang terlambat melarikan diri ketika gelombang pasang datang. Agar terhindar dari kemungkinan terjangkit kuman-kuman yang terbawa jenasah busuk ini, kantong-kantong yang sudah dipakai kami bakar. Satu kantong, satu korban.

Di hari ketiga, Presiden SBY datang beserta rombongan untuk menilik kondisi pantai Cilacap pasca-tsunami. Tak ayal, kedatangan orang nomor satu negeri ini menimbulkan gelombang pengamanan ekstra di sejumlah ruas jalan dan titik-titik sentral yang dilewatinya.

Pasukan pengaman presiden (paspampres) disebar di berbagai titik. Dari ring 1, 2, hingga radius 2 km dari pantai disterilkan dari warga. Sejak di pintu masuknya, 1 km sebelum pantai, pos pengamanan memperketat pengawalannya.

Sejumlah personil dari TNI mengamankan area garis pantai untuk menghadapi kemungkinan infiltrasi yang tak diinginkan. Para serdadu ini berjejer tiap 10 meter sekali, lengkap dengan SS-1, senapan serbu buatan Indonesia, milik mereka.

Mata mereka awas, tajam ke arah pantai. Apa saja yang menunjukkan gelagat aneh, tak segan mereka pelototi hingga benar-benar dirasa tak membahayakan.

Di hari ke-4 hingga 6, barulah kami merambahi wilayah perairan dangkal dan muara yang disinyalir menjadi tempat para korban tertahan. Dengan, dua perahu karet bermotor, satu milik SAR Semarang dan satu pinjaman dari Kesbanglinmas setempat, kami berputar-putar. Area yang awas kami perhatikan ialah sebuah muara luas di dekat tambak.

Tempat itu adalah wilayah di mana para penambang pasir biasa beroperasi. Jengkal demi jengkal muara kami telusuri. Mulai dari pinggirannya yang berbatasan dengan rawa-rawa, hingga memasuki semacam goa pada sebuah delta di pinggir muara. Namun, kebanyakan hasilnya nihil. Korban justru paling banyak ditemukan di sekitar jembatan-jembatan yang berbatasan langsung dengan pantai.

Setelah genap seminggu masa tugas kami, sebelum pulang kami masing-masing disuntik obat anti infeksi. Kata salah seorang tim medis, potensi keterjangkitan kuman yang dibawa jenasah busuk sangat berbahaya. Kalau tak diantisipasi dengan segera, sang penderita bisa tewas. "Mirip kuman rabies yang dibawa anjing gila," terangnya.

Kami pun pulang dengan membawa pesan: manusia, sehebat apapun dia, akan mati tanpa membawa apapun. Ia akan busuk dimakan belatung dan hilang bersama tanah. Itu pun masih lebih baik, ketimbang mereka yang tewas tenggelam. Badan mereka pecah; hancur bersama buih ombak.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...