09 November 2008

Pesan Plato untuk Pemimpin Baru

KOLOM
Pesan Plato untuk Pemimpin Baru
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://sagisty.files.wordpress.com)

KANCAH politik di Indonesia sedang memasuki episode baru. Untuk kali pertama rakyat memilih langsung kepala daerah (gubernur, walikota, bupati) melalui sistem pemilu proporsional terbuka. Pascareformasi 1998, sistem demokrasi pelan-pelan mulai diterima sebagai proses yang dipercaya bisa membawa perbaikan di negeri ini.

Demokrasi kini makin membuka aspirasi dan menyumbang motivasi bagi keterlibatan aktif publik pada politik. Rakyat Indonesia yang pada empat dekade terakhir terbiasa diasingkan dari proses politik, kini untuk kali pertama menjadi primadona. Suara rakyat mulai menjadi suara Tuhan (vox populi vox dei) untuk menentukan arah langkah daerahnya.

Seperti dilansir di aneka media, hasil quick count (sampling acak dari 400 TPS) Pilgub Jateng 2008 menetapkan pasangan jago PDIP, Bibit Waluyo-Rustriningsih unggul dengan 44,10 persen suara. Melampaui Bambang-Adnan dengan 22,89 persen, Sukawi-Sutarip-Sudharto 15,60 persen, M Tamzil-Abdul Rozaq Rais 11,30 persen dan Agus Suyitno-Andul Kholiq Arif 6,11 persen.

Kemenangan ini tampaknya memang tidak terlalu mengejutkan. Pasangan Bibit-Rustri memunyai kapasitas dan track record yang positif, di luar tradisi militer dan nasionalis yang memang telah kuat mengakar di peta politik Jateng.

Jejak rekam prestasi politik dan kinerja pemerintahan yang ditorehkan Rustriningsih, khususnya ketika menjabat Bupati Kebumen, tercatat baik. Kinerja positif keduanya ini telah memberi sokongan besar pada perolehan suara.

Kini pasangan Bibit-Rustri hampir dipastikan akan menyandang gelar baru sebagai orang Jateng nomor satu dan dua. Keduanya ialah sosok yang memperoleh suara terbanyak dari kompetisi pilkada yang berlangsung aman, tertib dan lancar, terlepas dari tingkat golput paling tinggi dibandingkan daerah-daerah lain. Keduanya telah mencatatkan diri sebagai pelaku sejarah yang menjadi pemimpin pertama melalui pilkada langsung.

Namun begitu, sebuah status baru yang tidak otomatis memberikan kekuatan baru kepada mereka untuk menjadi pemimpin. Jabatan prestisius itu bukanlah akhir dari sebuah pekerjaan. Dalam seni manajemen kepemimpinan, menduduki sebuah jabatan hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk memberikan pengaruh terhadap mereka yang dipimpin.

Di era demokrasi yang dinamis ini, jabatan justru menuntut kerja keras. Keduanya harus diberikan peringatan bahwa jabatan hanyalah amanah. Mereka berdua harus benar-benar bertanggung-jawab atas amanah yang diberikan itu supaya mereka bisa berjalan sampai tujuan.
Enam program

Untuk masabakti lima tahun ke depan, enam program yang dijanjikan Bibit-Rustri dapat dijadikan otokritik untuk menilai kinerja pemerintahannya. Pertama, mewujudkan pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang profesional dan responsif. Kedua, titik berat pembangunan pada bidang ekonomi kerakyatan dengan pemberdayaan lahan pertanian dan usaha kecil mikro menengah.

Ketiga, pemberdayaan, sosial budaya yang di dalamnya ada masalah pendidikan, kesehatan, kesetaraan jender, pariwisata. Keempat, peningkatan SDM. Kelima, peningkatan pelayanan publik yang akan mendukung roda perekonomian Jateng. Lalu keenam, mewujudkan kondisi aman, sehingga masyarakat dapat dengan tenang damai untuk membangun daerahnya.

Secara regulatif, poin-poin ini bukanlah hal yang mudah untuk diimplementasikan. Prioritas program dan kegiatan yang dilakukan juga memerlukan dukungan dan iklim kondusif, sehingga Jateng bisa berjalan beriringan bersama berbagai implementasi kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan.

Tentu kita dapat berharap kehadiran pemimpin baru ini akan membawa implikasi positif bagi kemajuan Jateng. Untuk itu, butuh dukungan seluruh elemen masyarakat sebagai pilar demokrasi. Kita perlu terus mengawal dan menjadi anjing penjaga agar visi misi serta serbaprogram janji tidak hanya menjadi sekadar pepesan kosong.

Seperti adagium Lord Acton, kekuasaan cenderung untuk korup (power tends to corrupt). Namun jika dibatasi dan diawasi, manipulasi kekuasaan tentunya bisa diminimalisir.

Amanat Rakyat

Setiap jabatan memiliki kehormatan untuk disandang di dalamnya. Karena itu, ada tanggung jawab untuk menjaga kehormatan tersebut. Itulah yang kerap disebut sebagai ”noblese oblige”. Jelas maknanya: setiap kedudukan harus diemban dengan semangat penuh dan kehati-hatian.

Namun, di dalam praktiknya, banyak penguasa melalaikan amanahnya yang mula-mula ketika terlena di atas singgasana. Mereka jadi lupa diri lalu menggunakan kekuasaannya untuk melakukan apa saja untuk memuaskan hasrat dirinya. Imbasnya: nasib rakyat diabaikan.

Manusia seperti ini disebut Sigmund Freud sebagai manusia yang diperhamba oleh ”ego”nya. Mereka adalah pelayan atas perutnya sendiri dan menggunakan kekuasaan sebagai alat pemuas keinginannya. Mereka mengabaikan ”superego”, yaitu hati nurani dan kemampuan inteleknya.

Plato pernah mengingatkan kita dalam karya masyhurnya “Republic”: “Penguasa itu diamanatkan oleh Tuhan pertama-tama dan terutama agar mereka menjadi penjaga yang baik (good guardians) sebaik seperti terhadap anak mereka sendiri.”

Pesan Plato itu sangatlah sarat muatan moral-edukatif dan mengandung dimensi etika dan pendidikan. Pesan sang filsuf ditujukan pada para pemimpin yang sedang atau akan menduduki posisi jabatan strategis, yang dikenal dengan elitisme kekuasaan supaya dalam kepemimpinannya, mereka ini ingat dan giat menegakkan amanat yang dipercayakan kepadanya.

Tentunya kita semua rindu akan figur pemimpin seperti pesan Plato ini. Lalu penulis teringat akan Gandhi yang menyerukan para pemimpin untuk hidup sederhana, dengan peralatan bersahaja dan hasrat yang tak muluk dalam menikmati benda-benda.
Lalu, masih adakah kini pemimpin seperti itu? Semoga.

(Dimuat di Koran Sore Wawasan, 1 Juli 2008)

0 komentar:

Posting Komentar