26 Desember 2008

Selamat Natal!

Semarang, 25 Desember 2008
Image Hosted by ImageShack.us

TUHAN memberkati!
Anindityo Wicaksono

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

21 Desember 2008

Buah Kecermatan Malaysia

KOLOM

Semarang, 20 Desember 2008
Buah Kecermatan Malaysia
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://governing.typepad.com)

PEMIMPIN yang baik adalah sosok yang diharapkan selalu hadir pada serba pergulatan masyarakat. Dia merupakan penjelmaan semangat Ki Hajar Dewantara yang masyhur: Ing Ngarso Mangun Karso, Ing Madya Sing Tuladha, Tut Wuri Handayani (dari depan memimpin; dari tengah memberikan teladan; dari belakang mendukung).

Namun pemimpin model begini nampaknya masih jauh sekali dari negeri ini. Lihat saja figur Presiden SBY yang terlihat terlalu mendewakan simpati masyarkat. Dia hilang di kala pengeluaran keputusan yang memberatkan, namun terdepan ketika menelurkan kebijakan populis.

Mari kita cermati. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 pada medio Mei 2008, SBY sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Hanya para menterinya yang hadir.

Sebaliknya, pada pengumuman turunnya harga BBM (per 1 Desember dan 15 Desember 2008), beliau hadir. Bahkan dia menjadi yang terdahulu mengumumkannya di depan pers.

Melihat keganjilan pola kepemimpinan begini, tak pelak kini beredar isu bahwa BBM tak ubahnya komoditas politik. Apalagi kini mendekati pemilu 2009. Kebijakan ini dianggap sekadar bagian dari politik pencitraan yang dibangun kader Partai Demokrat ini demi mendulang dukungan rakyat.

Tarif Angkutan

Realitas di lapangan pun menunjukkan bahwa penurunan ini nyatanya tidak terlalu berimbas positif bagi perekonomian. Harga-harga kebutuhan relatif stagnan karena biaya transportasi publik belum juga turun.

Penyebabnya apalagi kalau bukan Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor) yang enggan menurunkan tarif angkutan. Jika dulu alasan kenaikan tarif karena BBM adalah penyumbang terbesar biaya produksi, kini ketika turun, dalih persoalan bergeser: biaya suku cadang, pungli, dan retribusi yang membengkak.

Hemat penulis, situasi ini terjadi akibat pemerintah masih tanggung-tanggung berkeputusan. Sebagai regulator, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mendorong para pengusaha angkutan menurunkan tarifnya. Jika tidak, tidak ada dalam kamus mereka menurunkan tarif yang sudah terlanjur naik.

Kondisi ini realistis. Sebagai lembaga bisnis, prinsip utama mereka adalah meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Berkurangnya pos pengeluaran BBM pascapenurunan harga mereka jadikan bonus penghasilan dalam kalkulasi tarif yang sudah terlanjur naik.

Selain itu, sebenarnya, menurut hitungan ekonomisnya, pemerintah sudah dapat menurunkan minyak ke harga semula pada Mei 2008, di mana harga premium Rp4.500 per liternya. Pasalnya, kini harga minyak dunia sudah berkurang hingga lebih dari 50 persen (150 dolar AS menjadi 40 dolar AS per barel).

Namun sayang, momentum itu diabaikan pemerintah. Mereka lebih peduli menggenjot popularitas dengan menurunkan harga sedikit demi sedikit.

Akibatnya, nasib rakyat tetap saja terombang-ambing. Niatan baik peningkatan daya beli masyarakat tak dapat berbicara banyak sepanjang harga aneka kebutuhan pokok masih berkutat pada angka lama.

Kebijakan Malaysia

Pemerintah sebaiknya belajar dari Malaysia. Upaya negara tetangga dalam menurunkan beban rakyatnya tidak hanya terbatas menurunkan harga BBM--hingga empat kali--tetapi juga harga barang kebutuhan lainnya, terutama kebutuhan pokok.

Saat harga minyak dunia melambung hingga 138 dolar AS per barel per 5 Juni 2008, pemerintah Malaysia juga tak punya pilihan lain selain menaikkan harga BBM. Namun, keunggulan mereka adalah pada kecermatan membaca pergerakan harga minyak yang menunjukkan kecenderungan turun.

Selang dua bulan, begitu harga minyak turun mendekati 100 dolar AS per barel, Malaysia cepat-cepat menurunkan harga BBM. Begitu juga saat harga minyak anjlok hingga 80 dolar AS per barel. Total, pemerintah Malaysia menurunkan harga BBM sebanyak empat kali (2 Agustus, 24 September, 15 Oktober, dan 31 Oktober 2008).

Selain kecermatan membaca pergerakan harga minyak, Menteri Perdagangan Malaysia sekaligus berperan sebagai penjamin perlindungan konsumen. Demi mengusahakan iklim usaha yang kondusif, dia gencar melobi para pengusaha supermarket besar.

Langkahnya terbukti tepat sasaran. Supermarket-supermarket yang jejaringnya tersebar di seluruh negara bagian ini--seperti Mydin, Carrefour dan Jusco--mau menurunkan harga-harga kebutuhan sehari-hari.

Bahkan, supermarket Tesco, yang memiliki 26 supermarket di seluruh negara bagian Malaysia, bersedia menurunkan harga hingga 47 persen dari 50 jenis barang kebutuhan sehari-hari, seperti ikan, daging, ayam, beras, dan sayur-sayuran (Antara News, 31 Oktober 2008).

Belajar dari Malaysia, pemerintah harus proaktif dan tegas mengawasi perekonomian domestik. Kita berharap, wacana politisasi harga BBM ini hanyalah kecurigaan yang tak terbukti. Semoga ini hanyalah bagian dari intrik para pesaing incumbent saat ini,
terutama menjelang pemilu 2009.

Jika benar-benar pro-rakyat, pemerintah harus serius mengurangi beban hidup yang menghimpit masyarakat. Urusan peningkatan daya beli khalayak tidak bisa dilepaskan begitu saja pada mekanisme pasar. Jika begitu, yakinlah, perekonomian rakyat akan selamanya kalah digerus roda kapitalisme.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

18 Desember 2008

Harga Seorang Manusia

FILM

Semarang, 17 Desember 2008
Harga Seorang Manusia
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.teachwithmovies.org)

Judul: Les Miserables
Genre: Drama
Sutradara: Bille August
Naskah: Victor Hugo (novel), Rafael Yglesias (screenplay)
Pemain: Liam Neeson, Geoffrey Rush, Uma Thurman, Hans Matheson, Claire Danes
Produksi: Columbia/Tristar
Tanggal Rilis: 1 Mei 1998
Durasi: 128 menit

TAHUKAH anda berapa "harga" seorang manusia? Tanya saja Prof. Norweigh, seorang pakar kimia dan komputer yang pernah meneliti hal ini.

Jika diuangkan, tulisnya dalam sebuah jurnal kedokteran, total harga seluruh organ-organ tubuh manusia ternyata mencapai kurang lebih USD 85 milyar (http://semarbagong- petrukgareng.blogspot.com). Harga zat penumbuh rambut saja, dengan asumsi rata-rata kebutuhan sampai umur 50 tahun sebanyak 20 gram, sebesar USD 2 juta per gramnya.

Tunggu dulu, ini baru organ tubuh yang kasat mata; belum nyawa dan jiwa. Tentu bisa berjuta-juta kali lipatnya jika turut dikalkulasikan.

Namun, seringkali kita lihat betapa banyaknya orang-orang yang tak dianggap atau disingkirkan dari lingkungannya. Mereka yang diketahui melakukan pelanggaran atau kesalahan di masa lalu akan selamanya dianggap tak berharga oleh masyarakat.

Lihat juga perlakuan masyarakat kepada mantan narapidana yang kembali di lingkungannya. Kehadiran mereka kadang sudah menimbulkan rasa curiga dan tak aman. Meski mengaku sudah bertobat, tetap saja mereka susah mendapat tempat di masyarakat.

"Pembuat kejahatan itu watak, mustahil untuk merubahnya," begitu kira-kira yang terpatri dalam masyarakat model begini.

Namun, bukan begitu yang diteladankan Uskup Bienvenu Myriel dalam film Les Miserables (1998). Dalam film besutan sutradara Bille August ini, Myriel menunjukkan apa itu pengampunan tiada batas. Dia mengampuni Jean Valjean (Liam Neeson), seorang mantan narapidana yang mencuri di rumahnya ketika diberi tumpangan olehnya.

Ketika Jean tertangkap polisi dan dibawa ke rumahnya keesokan harinya, Uskup Myriel justru membelanya. "Oh, tidak Pak ... tidak. Dia tidak mencuri. Sayalah yang memberikan sendiri barang-barang itu kepadanya," kata Myriel kepada para polisi.

Jean, yang sungguh terheran-heran pada apa yang didengarnya ini, bertanya, "Mengapa kau lakukan itu, setelah apa yang kulakukan padamu?"

Dengan penuh kasih, bahkan sambil menambahkan lagi barang-barang berharga lain miliknya yang tak sempat "terbawa" Jean, Myriel berkata: "Kemarin kamu berjanji akan menjadi seorang manusia baru. Hari ini aku telah membeli jiwamu dengan perak ini, dan aku ingin kamu menepati janjimu. Aku telah ditebus Bapa, sehingga kamu pun juga ditebus oleh-Nya."

Kehidupan baru

Film ini berdasarkan novel Victor Hugo (1802 – 1885) terbitan 1862 dengan judul yang sama. Ia membawakan pesan moral yang teramat dalam: Betapa besarnya kuasa pengampunan mengubah kehidupan.

Ia hendak mengisahkan kebutuhan hakiki manusia untuk dihargai dan diterima apa adanya.

Dikisahkan bagaimana pengampunan tulus yang diberikan Uskup Myriel mampu mengubah drastis kehidupan Jean 180 derajat. Dari seorang pencuri roti, Jean berhasil menjadi pengusaha kaya raya di sebuah kota kecil bernama Vigau, tempatnya melanjutkan kehidupan barunya.

Karena dikenal bijaksana, sederhana, saleh, dan memiliki kepedulian tinggi, ia pun dipercaya menjadi walikota. Ia disayangi segenap rakyatnya.

Sang Jean "baru" ini terus menunjukkan kebaikan-kebaikan hatinya kepada sesama. Suatu waktu, Jean, sang Walikota Vigau, tak segan-segan turun ke jalan untuk menolong seorang pengendara kereta kuda yang terperosok lubang jalan.

Di lain waktu, dia memaafkan Fantine (Uma Thurman), seorang pelacur yang tertangkap polisi. Fantine adalah mantan buruh pabriknya yang terpaksa menjajakan dirinya karena dipecat setelah diketahui punya anak di luar nikah.

Jean bersedia merawatnya yang saat itu sedang sakit keras. Ia pun menepati komitmennya untuk mengasuh anak Fantine, Cosette (Claire Danes), ketika Fantine tiada, hingga dewasa.

Kehidupan baru Jean ini berubah sejak seorang inspektur polisi baru bernama Javert (Geoffrey Rush) mulai bertugas di kota itu. Javert adalah mantan pemimpin kerja paksa para tahanan di mana Jean menjalani masa hukumannya.

Wajah Jean yang familiar baginya membuatnya curiga. Setelah terbukti benar--Jean adalah buronan yang selama ini dicarinya--kisah pengejaran tiada henti pun dimulai.

Javert digambarkan sebagai orang yang tak punya belas kasihan. Baginya, seseorang dengan catatan masa lalu buruk, akan selamanya buruk. Betapa pun baiknya orang itu berubah.

Sampai akhirnya, Javert frustasi dan memilih untuk bunuh diri. Dia merasa hidupnya tak pantas lagi ketika mengetahui Jean yang begitu dibencinya justru memaafkannya. Jean bahkan dengan sukarela menyerahkan dirinya ditangkap.

Cermin diri

Novelnya sendiri memang sensasional pada jamannya. Ia sudah dialihbahasakan di puluhan negara. Ia melambungkan nama Victor Hugo--yang juga pengarang The Hunchback of Notredamme--sebagai penulis dengan karya-karya yang penuh pesan moral dan kemanusiaan.

Versi terjemahan Indonesia hadir pada 2007 lewat penerbit Bentang Pustaka. Kisahnya yang mengambil setting pada kurun revolusi Perancis ini komplit. Ada konflik-percintaan, moral, kemanusiaan, pengkhianatan, hingga penggambaran arsitektural Eropa klasik. Les Miserables, yang berarti "Yang Menderita", selesai ditulis saat Victor Hugo berusia 60 tahun.

Maka tak heran jika pesona kisahnya membuat ia ramai-ramai diadaptasi ke berbagai bentuk karya lain, mulai dari drama musik, sandiwara radio, film, film animasi, bahkan sampai game komputer. Mulai dari 1907 hingga 2008, terhitung 52 film yang mengangkat kisah novel ini.

Ya, kisah Jean memang istimewa. Film--atau novelnya--ini hendaknya membuat kita bercermin diri: Maukah kita mengampuni orang lain?

Seperti teladan Uskup Myriel, mengampuni berarti "mengubahkan". Seseorang yang tak diampuni akan selalu berkubang dalam kesalahannya. Ada tertulis: Bukan tugas kita untuk menghakimi, namun sudah ditetapkan-Nya Hari Penghakiman bagi setiap kita menurut segala perbuatan.

Nah, sekarang pertanyaannya, apa bedanya mengampuni dengan menghakimi? Mengampuni adalah ketika seorang maling tertangkap tangan merampok di rumah Anda, Anda lalu berkata: "Saya memaafkanmu. Pergilah dan janganlah berbuat dosa lagi!" Anda mengijinkannya berdamai dengan jiwa dan TUHAN-nya.

Sedangkan menghakimi, adalah saat ada maling tertangkap di lingkungan tempat tinggal Anda; Anda merasa turut dirugikan, lalu turut menggebuki bersama warga.

Belum puas atau untuk membuatnya lebih jera, anda naik jabatan--dari penggebuk menjadi provokator--lalu berteriak: "Bakar ... bakar ... bakar!"

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Pers dan Penerbitan Pers

JURNALISME
Semarang, 17 Desember 2008
Pers dan Penerbitan Pers
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.sinaragapepress.com)

A. PENGERTIAN DAN FUNGSI PERS

MENURUT leksikon komunikasi, "pers" berarti: (1) usaha percetakan atau penerbitan; (2) usaha pengumpulan dan penyiaran berita; (3) penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi; (4) orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita; dan (5) medium penyiaran berita.

Sebagai lembaga, ia mengelola informasi yang terdiri dari fakta dan opini, yang disajikan kepada masyarakat sebagai salah satu komoditi (Totok Djuroto, 2000: 91).

Istilah "pers" yang berasal dari bahasa Inggris, "press", dapat diartikan secara luas maupun sempit. Dalam pengertian luas, "pers" mencakup semua media komunikasi-massa seperti radio, televisi, dan film.

Ia berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain (Rachmadi, 1990: 9).

Dalam pengertian luas, "pers" merupakan manifestasi dari freedom of speech (kebebasan berbicara); dalam pengertian sempit, manifestasi freedom of the press (kebebasan pers). Keduanya tercakup dalam pengertian freedom of expression (kebebasan berekspresi).

Rachmadi, dalam bukunya, Perbandingan Sistem Pers (1990: 10), menyebutkan dua fungsi pers di dalam masyarakat:

1. Medium komunikasi

Ditinjau dari kerangka proses komunikasi, "pers" adalah medium (perantara) atau saluran (channel) bagi pernyataan-pernyataan yang hendak ditujukan kepada khalayak. Dalam proses komunikasi melalui media, ada lima unsur atau komponennya, yaitu:
a. penyampai
b. pesan
c. saluran
d. penerima
e. efek

2. Lembaga masyarakat atau institusi sosial

Pers dan masyarakat merupakan dua lembaga yang satu sama lainnya tak terpisahkan. Sebagai subsistem sosial, pers selalu tergantung dan berkaitan erat dengan masyarakat di mana ia berada. Di mana pun pers berada, ia membutuhkan masyarakat sebagai sasaran penyebaran informasi atau pemberitaannya.

Pengertian "pers", menurut UU No 40/1999 tentang Pers, adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi-massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Kegiatannya meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang ada.

"Perusahaan pers", adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers; meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

Sedangkan fungsi pers nasional, masih mengutip UU No 40/1999, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, serta juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

B. PENGERTIAN, BENTUK, DAN ISI PENERBITAN PERS

"Penerbitan pers", yang lebih sering disebut media massa cetak, adalah perusahaan pers yang dalam menyajikan informasinya melewati usaha percetakan (print-out). Atas perbedaannya itu, ia berbeda dengan "pers" dalam arti luas yang mencakup media elektronik, seperti radio, televisi, film, dan internet (Totok Djuroto, 2000: 10).

Menurut Indiwan Seto (2006: 10), media cetak bisa dibedakan dari berbagai segi. Salah satunya, dari bentuk dan ukurannya dalam menyajikan informasi. Ia bisa berupa kumpulan artikel, berita, cerita, dan iklan. Pembedanya bisa juga dari periodesasi terbit (harian, mingguan, dwi-mingguan, atau bulanan), jangkauan sirkulasi, gaya bahasa, dan segmen pembaca.

Berikut ini format-formatnya:

1. Surat kabar (broadsheet)
Untuk ukurannya, rata-rata surat kabar umum di Indonesia dicetak pada medium kertas ukuran plano (352 x 540 mm). Ia biasanya terbit teratur: harian atau mingguan.

2. Tabloid
Format ini berukuran setengahnya broadsheet. Dalam sejarahnya di AS, ia diperkenalkan bagi mereka yang selalu sibuk; sampai-sampai hanya bisa membaca di bus atau kereta api.

Format ini menjadikan koran praktis dan mudah dibaca di berbagai tempat sempit. Contohnya dapat kita lihat pada tabloid: Nova, Bintang, Aura, dan Bola. Kini tak sedikit surat kabar yang mulai menggunakan format ini. Taruh misal Koran Tempo dan Jawa Pos.

3. Majalah
Format ini setengahnya ukuran tabloid atau seperempat broadsheet. Halaman demi halamannya diikat dengan kawat atau dilem. Bagian sampul menggunakan jenis kertas yang lebih tebal dan mengkilat dibandingkan kertas bagian dalam.

Ia terbit teratur: seminggu, dua minggu, atau satu bulan sekali. Contohnya antara lain majalah Tempo, Femina, Gatra, dan Gadis.

4. Buku
Berukuran setengahnya majalah; sekitar seperdelapan broadsheet. Isinya biasanya tulisan mengenai ilmu pengetahuan, esai, atau kisah-kisah panjang. Ia dicetak dalam kertas berukuran setengah kwarto atau folio dan dijilid rapi. Contohnya: Intisari, Hidayah, Prisma, dan Sabili.

Pada umumnya, isi produk pers atau produk jurnalistik dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu berita, nonberita, dan fotojurnalistik. Adapun secara keseluruhan, isi penerbitan pers, yaitu
(Totok Djuroto, 2000: 46):

1. Pemberitaan (news getter)

a. Pengertian berita (perception news)
b. Berita langsung (straight news)
c. Penggalian berita (investigative news)
d. Pengembangan berita (depth news)
e. Feature (human interest news)

2. Pandangan atau opini
a. Pendapat masyarakat (public opinion)
1) Komentar
2) Artikel
3) Surat Pembaca

b. Opini penerbit (press opinion)
1) Tajuk rencana
2) Pojok
3) Karikatur

3. Periklanan (advertising)
a. Iklan display
b. Iklan baris
c. Iklan pariwara (advertorial)

* * *
DAFTAR PUSTAKA

Rahcmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Djuroto, Totok. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Wibowo, Indiwan Seto Wahju. 2006. Dasar-dasar Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Pelatihan Jurnalistik Antara Press.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

15 Desember 2008

Romantisme Si Mozart Cilik

FILM

Semarang, 14 Desember 2008
Romantisme Si Mozart Cilik
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://thechristianmanifesto.wordpress.com)

Judul: August Rush (2007)
Genre: Drama Musikal
Pemeran: Freddie Highmore, Jonathan Rhys Meyers, Kerri Russel, Terrence Howard, Robin Williams, Mykelti Williamson
Sutradara: Kirsten Sheridan (Irlandia)
Durasi: 100 Menit
Produksi: Warner Bros
Tanggal Rilis: 21 November 2007 (USA), Januari 2008 (Blitz Megaplex)

MUSIK adalah bahasa universal; pemersatu yang mampu melintasi segala perbedaan. Ia agung, cara yang diyakini manusia sebagai alat pengakuan eksistensi di luar dirinya. Maka tak heran jika musik disebut-sebut sebagai salah satu produk kebudayaan tertua manusia.

Dalam bukunya, Multiple Intelligence, Howard Gardner pun menyebutkan bahwa kecerdasan musikal adalah satu dari tujuh tipe kecerdasan yang menjadi keunikan manusia (www.swopnet.com), selain linguistik, matematik, visual/spasial, kinestetika, intrapersonal, dan interpersonal. Bakat-bakat bawaan sejak lahir ini kini digunakan sebagai penentuan pola pendidikan seseorang.

Kecerdasan musikal, menurut dosen psikologi Harvard School of Education ini, ialah kecerdasan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk musik dan suara. Ciri-cirinya, yakni peka pada nada, dapat dengan mudah mengikuti irama, dan mampu mendengar musik dengan tingkat ketajaman lebih.

Dalam film August Rush (2007), adalah Evan Taylor (Freddie Highmore), seorang anak 12 tahun yang jenius dalam kecerdasan musikalnya. Darah musiknya ini berasal dari kedua orang tuanya yang sama-sama pemusik, Louis Connelly (Jonathan Rhys Meyers), vokalis-gitaris sebuah band rock, dan Lyla Novacek (Kerri Russel), seorang pemain cello berbakat di New York Philharmonic Orchestra.

Darah musik ini membuatnya tumbuh dengan kepekaan luar biasa dalam mengenali ragam nada dan bebunyian di sekelilingnya. Namun nasib berbicara lain. Ternyata talentanya yang luar biasa tak seiring dengan nasibnya. Sejak bayi, Evan, yang lahir dari hasil hubungan di luar nikah ini, diasingkan ke panti asuhan oleh ayah sang ibu yang tak menginginkan kehadirannya.

Namun, meski hidup terpisah dari orang tuanya sejak lahir, jiwa musik ini tetap mengakar dalam dirinya. Di panti asuhan, dia selalu terpukau mendengarkan suara-suara apa saja di sekitarnya. Mulai dari desiran angin, lonceng angin di kamarnya, hingga irama kibasan rumput.

"Musik ada di sekitar kita. Kita hanya perlu mendengarkan," katanya.

New York

Petualangannya dalam jibaku pencarian orang tuanya membawa Evan ke New York. Di sana, bakat musiknya semakin terasah sejak dia bergabung dalam grup pemusik jalanan pimpinan Wizard Wallace (Robin Williams).

Evan, yang kemudian diberi nama "August Rush" oleh Wizard, mulai sering mengamen di jalanan menggunakan gitar pemberian Wizard.

Bakat yang besar dalam bermusik membuat permainan Evan mampu memukau banyak orang. Meski belum tahu kunci-kunci dasar gitar, dia bahkan sudah dapat memperagakan beragam teknik sulit dalam gitar: tapping, gitar-perkusi, dan harmonik.

"Kadang-kadang, dunia mencoba menjauhkan musik darimu. Tetapi, aku percaya pada musik sama seperti dongeng bagi banyak orang. Aku yakin, apa yang kudengar ini berasal dari ibu dan ayahku. Mungkin nada demi nada ini sama dengan apa yang mereka dengar di malam mereka bertemu," katanya dalam narasi pembuka film.

Kejadian demi kejadian semakin mempertemukannya pada puncak pencapaiannya. Bahkan, lewat pertemuannya dengan seorang pendeta yang menyaksikannya memainkan organ klasik nan rumit di gereja, Evan disekolahkan ke The Julliard School, sekolah musik termasyhur di New York.

Di sana, si "Mozart kecil" ini mampu menggubah sebuah komposisi luar biasa, perpaduan orkestra dengan beragam alat dan bunyi-bunyian, seperti gelas, gitar, dan lonceng-lonceng angin. Seperti mimpi-mimpinya, kemampuan musiknya inilah yang akhirnya mempertemukannya kembali dengan kedua orang tuanya.

Musik latar

Film drama-keluarga musikal besutan sutradara Kirsten Sheridan (Irlandia) ini benar-benar dapat memanjakan telinga para pecinta musik. Para penggubah musik latarnya, Hans Zimmer dan Mark Mancina, patut kita acungi jempol. Mereka mampu menghadirkan ragam musik yang tersulam rapi dengan jalinan adegan demi adegan film.

Genre musik yang dipakai lengkap. Mulai dari techno, klasik, rock, hingga harmonisasi gitar--adegan ketika August Rush mengamen di jalan--yang luar biasa.

Akting para pemainnya pun patut mendapat apresiasi. Bahkan, Freddie Highmore (Charlie and the Chocolate Factory, Arthur and the Minimoys), aktor cilik pemeran Evan Taylor, disebut-sebut sebagai pesaing terberat permainan brilian aktor cilik Haley Joel Osment (The Sixth Sense).

Permainan Jonathan Rhys Meyers sebagai Louis Connely pun tak kalah apiknya. Ia mampu bermain natural; menghidupkan baik sisi romantisme maupun musikalitas sang rocker melankolis ini.

Meski minim dialog--syarat umum sebuah drama musikal--bukan berarti film ini miskin nilai. Dominasi musik hampir di sepanjang film tak membuatnya ompong dalam dialog-dialog yang bernas. Pesona dialog para tokohnya patut menjadi bahan renungan, terutama yang berkaitan dengan filosofi musik.

Lihat saja kata-kata Louis ketika bertemu August Rush di jalanan ini: "Kamu harus mencintai musik lebih dari makanan. Lebih dari hidup; lebih dari dirimu sendiri! Kamu tak boleh berhenti dari musik apapun yang terjadi. Karena tiap kali hal-hal buruk terjadi, musik adalah tempatmu melarikan diri dan membiarkannya berlalu."

Satu-satunya kekurangan film ini adalah pada plot cerita yang acapkali melompat-lompat. Sang penulis naskah terlalu memaksakan kisahnya menjadi "sempurna".

Ia terlalu terbuai menjadikannya berakhir "happy-ending", namun lupa memperhatikan kesesuaian jalinan adegan demi adegan. Ada terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang dipaksakan menjembatani scene demi scene-nya.

Namun, setitik kekurangan itu tak terlalu mengurangi keasyikan menontonnya. Ceritanya yang terlihat tidak sinkron di beberapa scene masih dapat tertutupi aspek lain, yaitu kualitas para aktornya, dan--tentu saja--musik latarnya. Sesuai genrenya, film ini sukses membangkitkan kembali romantisme musik.

Nah, jika masih ada di antara Anda yang hingga kini belum bisa menikmati musik, dengar saja definisi musik menurut Wizard ini:

"Anugerah TUHAN yang mengingatkan kita bahwa ada hal lain di luar kita di alam semesta ini. Keharmonisan yang menghubungkan semua makhluk hidup di mana pun, hingga bintang-bintang sekalipun."
* * *
"Diam ... bisakah kau mendengarnya?
Musik; aku bisa mendengarnya di mana-mana.
Dalam angin, di udara, dalam cahaya; dia ada di mana-mana.

Yang kamu perlu lakukan hanyalah membuka dirimu
dan mendengarkan
."

(August Rush)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

11 Desember 2008

Menyelami Perilaku Pembaca

JURNALISME

Semarang, 11 Desember 2008
Menyelami Perilaku Pembaca
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://photo.net)

PEMASARAN bukanlah urusan penjualan atau distribusi saja. Prosesnya, yang meliputi kegiatan praproduksi sampai pemenuhan kepuasan konsumen purnajual, mencakup juga tujuan perusahaan demi menciptakan kepuasan konsumen.

Demi memenangkan persaingan, pemahaman perilaku konsumen adalah akar persoalan yang tak dapat perusahaan pandang sebelah mata. Wajib hukumnya, perusahaan menjadi yang terdahulu melakukan analisa kesempatan pasar, pemenuhan marketing-mix, serta penyelarasan ulang strategi yang berkiblat pada perilaku konsumen. Mengapa demikian?

Kini, seiring terjadinya kemajuan di berbagai bidang, konsumen menjadi lebih selektif dalam membeli. Merka semakin jeli menilai atribut-atribut produk. Artinya, merka hanya akan memilih produk/merk yang memberikan kepuasan tertinggi, sesuai dengan jangkauan ekonominya.

Banyak faktor pengaruh yang turut andil jika kita hendak membicarakan perilaku konsumen, baik yang berasal dari diri sendiri (faktor internal), maupun luar (faktor eksternal). Faktor-faktor internal ini antara lain: motivasi, sikap, kepribadian, penghematan, dan proses belajar. Sedangkan faktor eksternal, di antaranya: faktor kebudayaan, keluarga, kelompok referensi, kelas sosial, demografi, dan ekonomi (James F. Engel, 1995: 10).

Perilaku konsumen sendiri, menurut James F. Engel dalam (dalam Fandy Tjiptono, 1997: 19), merupakan tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh, menggunakan, dan menentukan produk dan jasa. Juga termasuk di dalamnya, proses pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut.

Keputusan pembelian mempunyai beberapa pertimbangan, di antaranya: harga, keputusan tentang jenis produk, bentuk produk, merk, hingga ke baik-buruknya pelayanan yang dirasakannya.

Salah satu pertimbangan pokok konsumen yang tak kalah penting adalah kualitas produk. Menurut Philip Kotler (2004: 347), kualitas erat berkaitan dengan kemampuan suatu produk dalam melaksanakan fungsinya. Ia meliputi: daya tahan, kehandalan, ketepatan, kemudahan operasi dan perbaikan, serta atribut bernilai lainnya.

Berpromosi
Selain dengan mengawal terus-menerus kualitas produk, kegiatan berpromosi pun tak boleh perusahaan anggap sepele. Ia juga titik sentral kegiatan pemasaran. Tujuan berpromosi adalah meningkatkan kesadaran akan merk (brand) dan citra (image) masyarakat terhadap produk maupun perusahaannya.

Jika menghendaki produknya terserap pasar, perusahaan harus menggunakan berbagai media, dalam usaha mengkomunikasikan, memengaruhi pemikiran, dan mengajak konsumen dalam membeli produknya. Maka tak berlebihan jika ia disebut-sebut sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam kegiatan pemasaran.

Walaupun mutu sebuah barang baik, namun jika tanpa disertai promosi yang tepat, produk akan kurang dipahami konsumen. Kekurangpemahaman akan produk ini dapat menimbulkan banyak pertanyaan di benak calon pembeli: Sejauh mana produk ini bermanfaat bagi dirinya?

Menurut Fandy Tjiptono (1997: 219), promosi adalah aktivitas yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi/membujuk, dan/atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya. Dengannya, diharapkan pasar bersedia menerima, membeli, hingga terbentuk loyaitas akan produk yang ditawarkan.

Ada empat tujuan promosi, menurut Basu Swastha dan Irawan (1990: 353), yaitu: (1) memodifikasi tingkah laku, (2) memberitahu, (3) membujuk, dan (4) mengingatkan. Suatu promosi dikatakan berhasil hingga ia mampu memenuhi empat kriteria di atas. Ia harus dapat menumbuhkan kesadaran konsumen akan merk dan citra produk, untuk selanjutnya membujuk masyarakat membeli produknya.

Setelah konsumen minimal telah mengetahui manfaat produk, lantas terbujuk akan riuh-rendah keunggulan produk, intensitas penjualan diharapkan meningkat. Selaras dengan tercapainya tujuan perusahaan: meningkatkan laba.

Kini, di tengah pesatnya persaingan dunia usaha, segala sesuatu kian gencar dijadikan bahan jualan oleh para pelaku usaha. Demikan halnya dengan informasi. Ia bukan lagi sekadar kebutuhan.

Persis adagium information is power (penguasaan informasi adalah kekuatan), ia sudah menjadi komoditi strategis bagi khalayak. Beberapa penelitian bahkan menyebutkan, informasi menduduki urutan ke-10, setelah kesembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat (Totok Djuroto, 2000: 5).

Pers Indonesia
Walhasil, karena berprospek cerah, tak heran jika sejak akhir abad ke-20 informasi berubah menjadi komoditi bisnis yang menggiurkan. Para pelaku usaha berlomba-lomba menjadikan pers sebagai lembaga bisnis.

Usaha penerbitan surat kabar, misalnya, kini mulai dikelola secara profesional dengan berorientasi keuntungan (profit oriented). Ia menjadi percaturan bisnis yang menggairahkan.

Mengapa bisnis penerbitan pers kian tumbuh subur? Menurut McLuhan, dalam melaksanakan hajatnya, manusia membutuhkan media massa untuk memperoleh informasi, sekaligus berkomunikasi dengan lingkungannya (dalam Totok Djuroto, 2000: 97).

Maxwell E. McCombs dan Lee B. Becker dalam bukunya, Using Mass Communication Theory, menyebutkan tujuh sebab mengapa manusia membutuhkan media massa: (1) mengetahui apa yang penting dan perlu baginya, (2) menjadi bahan rujukan sebelum mengambil keputusan, (3) memperoleh informasi sebagai bahan pembahasan, (4) memberikan perasaan ikut serta dalam setiap kejadian, (5) memberikan penguatan atas pendapatnya, (6) mencari konfirmasi atas keputusan yang diambilnya, dan (7) memperoleh relaksasi dan hiburan (dalam Totok Djuroto, 2000: 97).

Di Indonesia, momentum kebangkitan industri pers bermula sejak terbitnya UU No 40/1999 tentang Pers, tepatnya pasca-tumbangnya Orde Baru. Bak cendawan di musim hujan, surat kabar lokal alias community newspaper mulai tumbuh di mana-mana. Maklum, sejak adanya maktub ini, pendirian lembaga pers tak lagi mengharuskan lisensi dari pemerintah. Asalkan berbadan hukum, siapa saja boleh mendirikan penerbitan pers.

Tak pelak, tak hanya tingkat provinsi, wilayah kabupaten hingga kecamatan pun kini memiliki surat kabarnya sendiri. Berlakunya otonomi-daerah pun ditengarai membidani lahirnya beragam surat kabar lokal di daerah. Menurut data Depkominfo, hingga tahun 2000 saja, surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang telah dikeluarkan pemeritah mencapai sekitar 1.800-2.000, sementara oplahnya mencapai 14 juta eksemplar (Totok Djuroto, 2000: 93).

Di era kekinian, penerbitan pers dituntut mumpuni membaca keinginan konsumen dalam mempertahankan ataupun memperluas ceruk pasarnya. Pengelola surat kabar harus terang merumuskan bauran pemasaran yang tepat untuk memenangkan publik pembaca. Sebab, perubahan besar dunia komunikasi informasi dan meningkatnya kaum terdidik, ikut andil dalam mendongkrak tuntutan kualitas yang lebih baik.

Harian SOLOPOS
Untuk itu, di tengah gencarnya persaingan surat kabar, khususnya di Jawa Tengah, Harian Umum (HU) SOLOPOS, surat kabar harian pagi yang terbit di Kota Surakarta, harus terus berusaha mempertahankan oplahnya.

Awalnya, persiapan penerbitan koran terbesar di eks-Karesidenan Surakarta ini mulai intensif sejak SIUPP turun pada 12 Agustus 1997. SOLOPOS, berdasarkan SIUPP-nya, disebutkan terbit 7 kali seminggu. Edisi Minggu sendiri, terbit pertama kali pada 28 Juni 1998.

Berbeda dengan koran-koran di daerah lain yang umumnya mengklaim diri sebagai koran nasional yang terbit di daerah, SOLOPOS justru menempatkan diri sebagai koran daerah. Pasalnya, koran yang diterbitkan PT. Aksara SOLOPOS ini ingin besar di daerah bersama-sama dinamika masyarakat Surakarta yang bakal menjadi kota internasional.

Selain kejumudan persaingan surat kabar di atas, terbentuknya masyarakat lilterasi di negeri ini nyatanya masih jauh dari harapan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 (Suara Merdeka, 15 Maret 2007), penduduk berusia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 persen, sedangkan tabloid/majalah sebesar 29,2 persen.

Untuk buku, ternyata jenis fiksi lebih digemari, yaitu sebesar 44,28 persen. Untuk nonfiksi, sebesar 21,07 persen. Data BPS tahun 2006 juga menunjukkan, masyarakat lebih memilih televisi sebagai sumber informasi, sebesar 85,9 persen. Sedangkan yang dari membaca, hanya 23,5 persen.

Di tengah tantangan ini, juga mengingat kian gencarnya persaingan surat kabar dewasa ini, penting bagi perusahaan untuk memahami perilaku konsumennya dalam memutuskan membeli.

Atas dasar latar belakang di atas, saat ini penulis sedang menjalankan penelitian untuk tahap akhir studi yang berjudul: “Pengaruh Promosi dan Kualitas Produk terhadap Keputusan Pembelian Harian Umum SOLOPOS di Kota Surakarta”.

DAFTAR PUSTAKA

Djuroto, Totok. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Engel, James F. , Roger D Blackwell, dan Paul W Miniard. 1995. Perilaku Konsumen, Jilid I Edisi 6 (alih bahasa: Drs. FX Budiyanto). Jakarta: Binarupa Aksara.

Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, Jilid 1 Edisi 9 (Alih Bahasa: Hendra Teguh dan Rony A. Rusli). Jakarta: Prenhallindo.

Kotler, Philip dan Amstrong. 2004. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid I Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Rahcmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Swastha, Basu. Dan T. Hani Handoko. 1987. Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Liberty.

Tjiptono, Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Wibowo, Indiwan Seto Wahju. 2006. Dasar-dasar Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Pelatihan Jurnalistik Antara Press.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Materi Dasar Arung Jeram

ALAM BEBAS

Semarang, 11 Desember 2008
Materi Dasar Arung Jeram
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://adventure.howstuffworks.com)
I. PENDAHULUAN
ARUNG JERAM alias rafting adalah kegiatan yang memadukan unsur olahraga, rekreasi, petualangan, dan edukasi. Memang tak ada persyaratan khusus untuk mengikuti kegiatan ini, karena hampir semua orang dapat mencobanya. Mulai dari anak-anak, remaja sampai dewasa, bahkan orang tua yang berumur 60 tahun sekalipun.

Tidak memiliki kemampuan berenang pun bukan menjadi hambatan untuk mengikuti kegiatan arung jeram. Yang anda perlukan hanya kondisi fisik yang prima dan melakukan reservasi dua minggu sebelum kegiatan. Guna menunjang kegiatan dan agar kegiatan arung jeram yang akan anda ikuti lebih berkesan dan penuh makna, berikut ini Panduan Kegiatan Arung Jeram.

II. PERALATAN ARUNG JERAM
A. Riverboats (Perahu)
Bagian-bagian yang terdapat pada perahu:
1. Bow and Stern
2. Chamber atau biasa disebut tube
3. Floor
4. Thwart
5. Boat line (tali kapal)
6. D-Ring
7. Handling Grip
8. Bilge Hole/self bailing
9. Valve

Cara duduk di perahu berbeda dengan cara duduk di kursi, yaitu dengan menyamping. Peserta duduk pada sisi perahu (baik sisi kiri maupun sisi kanan); kaki dalam posisi kuda-kuda pada lantai perahu. Posisi kuda-kuda ini dimaksudkan sebagai pengatur keseimbangan badan selama anda mengikuti pengarungan. Saat duduk di perahu, perhatikan jangan sampai ada bagian tubuh anda yang terikat atau terlilit tali. Ini sangat berbahaya jika perahu mengalami flip atau terbalik.

Posisi duduk anda pun harus mudah untuk menggapai boat line. Bila boat line pada perahu anda terlihat kendur, beritahukan segera pada skipper untuk mengencangkan boat line tersebut agar tidak mengganggu selama pengarungan.

Aturlah jarak duduk anda dengan peserta yang lain agar tidak mengganggu pergerakan selama pengarungan, baik untuk mendayung maupun saat menjalankan instruksi moving position atau perpindahan.

B. PFD (Personal Floating Device)/Life Jackets (Pelampung)
Seperti perahu, PFD atau pelampung memiliki berbagai jenis dan ukuran. Ia terbuat dari bahan polyfoam yang dibungkus dengan bahan kedap air yang berwarna terang. US Coastal Guard menganjurkan memakai PFD type III pada setiap kegiatan arung jeram. Pelampung jenis ini yang paling umum digunakan pula oleh para rafter dalam setiap pengarungannya.

Setiap PFD Type III memiliki daya apung tinggi-- dihitung berdasarkan berat tubuh rata-rata saat berada di dalam air. Maka anda tidak perlu takut tenggelam saat berada di dalam air.

Cara pemakaian PFD/Pelampung:
Pilihlah PFD yang berwarna cerah. Pastikan tidak ada lubang atau jahitan yang terlepas pada PFD tersebut, serta strap yang ada dapat dipasang dan dilepas dengan mudah. Bila bagian perut anda lebih besar dari bagian dada, pilih dan pakailah PFD dengan ukuran lebih besar.

PFD atau pelampung dipakai seperti menggunakan rompi/jaket. Pastikan setiap strap terpasang dengan benar dan bantalan kepala berada di luar. Atur keeratan tali senyaman mungkin, sehingga PFD yang anda gunakan tidak terlalu sempit atau longgar.

Setelah anda selesai memakai PFD, lakukan gerakan berikut:
1. Pada posisi berdiri, putarkan badan anda ke kiri dan kanan. Pastikan PFD yang digunakan tidak menghambat gerak tubuh anda dan tidak mengalami pergeseran/perubahan posisi. Ini ditandai dengan letak strap tetap pada satu garis tegak lurus seperti posisi kancing kemeja. Jika terjadi pegeseran, atur kembali keeratan tali pada setiap strap. Jangan malu dan ragu untuk minta skipper/rekan membantu mengatur keeratan tali strap ini.

2. Pada posisi duduk kedua kaki diluruskan kedepan; putarkan badan anda ke kiri dan kanan lalu lakukan gerakan membungkuk. Pastikan PFD yang digunakan tidak menghambat gerak tubuh anda. Jika terjadi pegeseran, atur kembali keeratan setiap strap yang ada.

3. Masih dalam posisi duduk dan kedua kaki diluruskan ke depan, minta bantuan skipper/rekan untuk menarik/mengangkat pelampung yang anda gunakan pada bagian bahu dari arah belakang. Pastikan saat pelampung dan tubuh anda ditarik/diangkat, posisi bahu pelampung tidak melebihi batas telinga anda. Jika ya, atur kembali keeratan setiap strap yang ada.

C. Paddle (Dayung)
Setiap dayung terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1) Pegangan, berbentuk huruf “T”, biasa disebut “T grip”.
2) Gagang, terbuat dari bahan alumunium.
3) Blade/bilah, terbuat dari bahan fiber dilapisi serat karbon yang ringan dan kuat. Namun ada pula yang terbuat dari bahan campuran plastik.

Cara memegang dayung:
Memegang dayung dalam kegiatan arung jeram mirip dengan cara memegang sapu. Yang membedakannya hanya pegangan pada bagian “T-Grip”.

Bagian ini digenggam dengan empat jari pada bagian atas T horisontal (dayung dalam posisi berdiri dan bagian bilah berada dibawah), sementara jari jempol menjepit bagian T horisontal dari bagian bawah bawah. Cara memegang ini sama untuk tangan kiri (peserta yang duduk pada bagian kanan perahu), maupun kanan (peserta yang duduk pada bagian kiri perahu).

Lengan yang lain menggenggam bagian gagang, berjarak lebih kurang sejengkal dari bilah dayung. Jangan terlalu dekat/rendah ataupun terlalu jauh/tinggi. Biasakan diri dengan cara memegang dayung ini, baik dengan tangan kanan maupun kiri. Lakukan pemanasan dengan menggunakan dayung bersama rekan-rekan anda.

D. Helm
Pilihlah helm sesuai dengan ukuran kepala. Pastikan tidak ada keretakan pada helm tersebut, serta semua tali dan strap masih dalam kondisi yang baik. Pakailah seperti pemakaian helm pada umumnya.

Atur strap senyaman mungkin; jangan terlalu sempit atau terlalu longgar agar tidak mengganggu pandangan anda selama pengarungan. Sekali lagi, pastikan strap sudah terpasang dan pada posisi yang benar.

III. PADDLE COMMAND (INSTRUKSI DALAM PENGARUNGAN)
Setelah anda terbiasa dengan cara memegang dayung, anda akan diberikan instruksi cara menggunakan dayung tersebut. Instruksi ini disebut paddle command. Prinsip dalam menggunakan dayung, adalah tenaga disalurkan pada kedua lengan yang menggerakkan dayung untuk mengatur dan mengarahkan gerak perahu. Arah dayungan tersebut dibantu gerakan badan; disesuaikan dengan tenaga yang diperlukan untuk mengatur dan mengarahkan gerak perahu.

Basic Paddle Technic, instruksi tentang teknik dasar mendayung, yaitu:
1) Forward (Maju)
Instruksi yang diberikan untuk dayungan maju, dilakukan oleh seluruh peserta dengan menarik blade/bilah dayung yang berada didalam air kearah belakang searah perahu. Posisi blade/bilah dayung saat menyentuh air adalah tegak lurus terhadap permukaan atau mendekati 90 derajat. Pada saat keluar dari air, dayung diarahkan sejajar dengan permukaan; berputar mendekati 90 derajat hingga bilah dayung kembali menyentuh air. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang sampai ada instruksi lanjutan.

2) Backward (Mundur)
Instruksi yang diberikan untuk dayungan mundur, dilakukan oleh seluruh peserta dengan menarik blade/bilah dayung yang berada di dalam air ke arah depan searah perahu. Posisi blade/bilah dayung saat menyentuh air adalah sejajar dengan permukaan air. Begitu pun saat keluar dari air, dayung diarahkan sejajar dengan permukaan; berputar hingga bilah dayung kembali menyentuh air. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang sampai ada instruksi lanjutan.

3) Turn Left (Belok Kiri)
Instruksi untuk membelokkan perahu ke arah kiri. Gerakan ini dilakukan dengan dayungan maju oleh peserta yang duduk pada perahu bagian kanan, sementara peserta pada kiri perahu stop mendayung. Jika skipper merasa perlu untuk membelokkan perahu ke kiri dengan cepat, maka posisi peserta yang duduk pada bagian kiri melakukan dayungan mundur.

Untuk memperjelas instruksi, biasanya skipper akan mengatakan “kanan-maju” dan “kiri-mundur”! Artinya, peserta yang duduk pada bagian kanan melakukan dayungan maju, sementara peserta pada bagian kiri melakukan dayungan mundur.

4) Turn Right (Belok Kanan)
Instruksi yang diberikan untuk membelokkan perahu ke arah kanan; kebalikan dari instruksi turn left (belok kiri). Gerakan ini dilakukan dengan dayungan maju oleh peserta yang duduk pada perahu bagian kiri, sementara peserta pada bagian kanan stop mendayung.

Jika skipper merasa perlu membelokkan perahu ke kanan dengan cepat, posisi peserta yang duduk pada bagian kanan melakukan dayungan mundur. Untuk memperjelas instruksi, biasanya skipper akan mengatakan “kiri-maju” dan “kanan-mundur”! Artinya, peserta yang duduk pada bagian kiri melakukan dayungan maju, sementara peserta yang duduk pada bagian kanan melakukan dayungan mundur.

5) Stop (Berhenti)
Instruksi yang diberikan untuk menghentikan dayungan; semua dayung tidak berada dalam air, digenggam dengan posisi di atas pangkuan.

IV. SELF-RESCUE
Dalam kegiatan arung jeram, keselamatan setiap peserta adalah hal yang utama. Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan arung jeram ini. Namun peserta harus selalu menyadari, kegiatan arung jeram tidak akan pernah lepas dari segala resiko dan bahaya; baik oleh faktor manusia, peralatan, maupun faktor alam yang menyertainya.

Meski begitu, anda tidak perlu cemas, karena justru di sinilah letak salah satu kegembiraan yang akan anda rasakan saat bermain-main dengan air.

Self rescue atau tindakan penyelamatan diri saat melakukan kegiatan arung jeram ini perlu anda cermati betul. Walaupun anda dipandu skipper yang berpengalaman, ia tetap memiliki keterbatasan. Sehingga hal terbaik yang harus anda lakukan adalah melakukan tindakan penyelamatan diri sebelum datang tim rescue yang akan membantu anda.

Prinsip setiap tindakan penyelamatan dalam kegiatan arung jeram, adalah menyelamatkan diri sendiri sebelum melakukan tindakan penyelamatan terhadap orang lain. Si penyelamat harus benar-benar berada dalam kondisi yang aman dalam melakukan tindakan penyelamatan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari resiko lainnya dan kemungkinan bertambahnya korban.

Berikut dijelaskan hal apa saja yang harus anda lakukan dalam self rescue:
1. Swimmer
Swimmer adalah istilah yang digunakan oleh kalangan boater untuk menyebut orang yang terlempar keluar dari perahu saat berarung jeram. Jika anda belum pernah mengalaminya, percayalah suatu saat anda akan mengalaminya. Bagi anda yang baru kali pertama melakukan kegiatan arung jeram, tidak perlu khawatir.

Banyak peserta yang kali pertama mengikuti kegiatan arung jeram mengalami hal ini dan tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Bahkan menjadi cerita menarik bagi rekan-rekannya dan menimbulkan kesan tersendiri bagi yang mengalami. Namun tak sedikit pula peserta yang tidak mengalaminya dalam setiap kegiatan yang diikuti.

Hal pertama yang harus anda lakukan jika mengalami swimmer: Jangan panik!

Mengapa jangan panik? Karena jika terjadi kepanikan, anda tidak akan tahu apa yang harus anda lakukan untuk tindakan self rescue. Setelah anda dapat mengatasi rasa panik, selanjutnya anda harus menyadari dan mengetahui situasi di sekeliling anda.

2. Teknik berenang di arus
a. Defensive swimming position

Defensive swimming position adalah berenang mengikui arus dalam posisi terlentang, kaki dalam keadaan rapat dan selalu berada di atas air untuk menghindari foot entrapment. Defensive swimming dilakukan pada arus deras dengan pandangan terarah ke hilir. Gunakan tangan sebagai pengatur keseimbangan atau untuk menuju pinggiran sungai dan menghindari berbagai rintangan lainnya.

Ingat ... walaupun tidak terjadi sesuatu selama anda melakukan defensive swimming dan anda mulai menikmatinya, anda tidak dalam posisi yang benar-benar aman. Berusahalah untuk menggapai tepian sungai dan segera keluar dari air. Jangan mencoba berdiri, meskipun pada daerah dangkal sekalipun, sebelum anda mencapai tepian sungai atau berada pada arus yang cukup tenang.

b. Aggressive swimming position
Aggressive swimming position adalah berenang dengan cara melawan arus. Dilakukan pada arus yang relatif tenang dengan posisi menghadap ke hulu. Tujuannya, untuk mendekati perahu penolong, menghindari strainer, sieves, undercut, dan untuk menyeberang ke sisi tepian sungai yang lain dengan cepat. Ingat, aggressive swimming ini hanya efektif dilakukan pada arus sungai yang relatif tenang. Jika anda lakukan ini pada arus deras, tenaga anda akan terbuang percuma; anda akan tetap terseret arus deras.

Berikut ini beberapa pertanyaan yang dapat membantu anda mendefinisikan situasi di sekeliling anda saat anda mengalami swimmer dan menentukan tindakan apa yang harus anda lakukan:

*Apakah di belakang anda terdapat perahu? (Baik perahu yang melemparkan anda ataupun perahu lain)

Jika ya, berusahalah mendekatinya dari arah samping pada arus yang relatif tenang dengan aggressive swimming position. Jangan lakukan ini dari arah depan karena anda dapat terseret perahu. Jika telah dekat, gapai dan peganglah boat line pada perahu. Tunggu sampai rekan anda menarik dan menaikkan anda ke atas perahu kembali dengan cara menarik bahu pelampung yang anda kenakan.
Jika tidak, lakukan aggressive swimming ataupun defensive swimming menuju tepian sungai.

*Apakah di dekat anda terdapat tim rescue yang akan melemparkan throw bag/rescue rope?

Jika ya, raih throw bag/rescue rope yang dilemparkan. Pegang erat pada bagian tali, jangan pada bagian kantong tali. Pegang dengan tetap melakukan teknik defensive swimming sambil tim rescue menarik anda ke tepian sungai.
Jika tidak, lakukan aggressive swimming ataupun defensive swimming menuju tepian sungai.

*Apakah di dekat anda terdapat rintangan atau obstacle (bebatuan, dahan/ranting, atau pohon tumbang)?

Jika ya
, hindari daerah tersebut baik dengan aggressive swimming ataupun defensive swimming.
Jika tidak, lakukan aggressive swimming ataupun defensive swimming menuju tepian sungai.

*Apakah di dekat anda terdapat undercut, strainer, dan sieves?

Jika ya
, hindari daerah tersebut secepat mungkin dengan aggressive swimming.
Jika tidak, lakukan aggressive swimming ataupun defensive swimming menuju tepian sungai.

*Apakah anda berada di bawah perahu terbalik?

Jika ya
, segeralah keluar dari bawah perahu dengan cara menyelam ke arah hulu atau ke samping. Jangan menyelam ke arah hilir karena anda akan tetap terperangkap di bawah perahu.
Jika tidak, lakukan aggressive swimming ataupun defensive swimming menuju tepian sungai.

*Apakah anda berada di dalam hole/hydraulic (arus berputar-putar)?

Jika ya
, lakukan aggressive swimming dengan mengikuti putaran arus ke arah luar yang menuju hilir. Atau dapat juga dilakukan dengan menyelam pada bagian tengah pusaran dengan posisi berdiri sampai kaki menyentuh dasar sungai; lalu tolakkan kaki anda sekuat mungkin ke arah hilir.
Jika tidak, lakukan aggressive swimming ataupun defensive swimming menuju tepian sungai.

V. KLASIFIKASI TINGKAT KESULITAN SUNGAI
Tak disangsikan lagi, arung jeram telah menjadi suatu kegiatan yang sangat populer dibandingkan dengan kegiatan kepetualangan lainnya. Arung jeram dapat dinikmati beramai-ramai tanpa memandang usia, status sosial, tingkat pendidikan, dan profesi seseorang.

Saat ini telah banyak sungai yang dapat diarungi serta dikelola secara profesional oleh beberapa operator arung jeram. Mereka menawarkan berbagai paket kegiatan dengan tingkatan umur dan kemampuan calon kunsumennya. Mulai dari sungai dengan tingkat kesulitan mudah, sampai sungai yang menjanjikan tantangan dan petualangan.

Berikut ini penjelasan tentang ragam tingkat kesulitan sungai:
Class I
Tingkat kesulitan sungai yang paling rendah, dengan arus yang bervariasi dari flat (datar) dan relatif tenang, sampai sedikit beriak pada beberapa tempat. Rintangan yang ada pun sangat sedikit dan dapat terlihat jelas. Resiko berenang di sungai ini sangat rendah dan self-rescue sangat mudah dilakukan.

Class II
Sungai dengan tingkat kesulitan rendah--menengah. Cocok untuk pemula: sungai yang lebar dan arus yang cukup deras, lintasan pengarungan jelas sehingga tidak memerlukan pengamatan terlebih dahulu.

Sesekali, manuver perahu perlu dilakukan; bebatuan dan jeram medium dapat dengan mudah dilewati oleh pengarung yang terlatih. Penumpang yang terlempar keluar perahu dan terhanyut jarang sekali mengalami cidera. Pertolongan bantuan masih belum perlu. Sungai dengan tingkat kesulitan ini sangat cocok untuk latihan dasar kegiatan arung jeram.

Class III
Sungai dengan tingkat kesulitan menengah; jeram mulai tidak beraturan dan cukup sulit, serta dapat menenggelamkan perahu. Manuver-manuver pada arus deras serta kontrol perahu pada lintasan sempit sering diperlukan. Jeram-jeram besar dan strainers mungkin ada, namun dapat dengan mudah dihindari. Pusaran arus yang kuat dan deras sering ditemukan, terutama pada sungai-sungai besar.

Cidera saat terlempar keluar perahu dan terhanyut masih sangat jarang; self-rescue biasanya masih mudah dilakukan namun pertolongan bantuan sudah mulai diperlukan untuk menghindari resiko yang mungkin terjadi. Sungai dengan tingkat kesulitan ini sangat cocok untuk kegiatan wisata keluarga atau sebagai rekreasi alternatif, karena dapat diikuti anak-anak mulai usia 9 tahun.

Class IV
Sungai dengan tingkat kesulitan menengah--tinggi. Sungai ini memiliki arus yang sangat deras namun masih dapat diprediksi dengan pengendalian perahu yang tepat. Teknik pengarungan sungai ini sangat tergantung karakter sungai itu sendiri. Pasalnya, sungai dengan tingkat kesulitan ini sangat beragam dan berbeda-beda walau memiliki tingkat kesulitan yang sama.

Jeram-jeram besar, hole, dan lintasan sempit yang tidak dapat dihindari memerlukan manuver yang cepat. Berhenti sejenak pada arus sedikit tenang mungkin diperlukan sebelum memulai maneuver; sekedar mengamati arus atau untuk istirahat. Karena pada jeram-jeram tertentu, bahaya selalu mengancam.

Resiko cidera bagi penumpang hanyut cukup besar dan kondisi air menyebabkan self-rescue sulit dilakukan sehingga perlu pertolongan bantuan. Pertolongan bantuan tersebut memerlukan latihan khusus agar teknik penyelamatan dapat dilakukan dengan benar. Sungai dengan tingkat kesulitan ini sangat menyenangkan dan menjanjikan tantangan lebih. Tentunya dengan dukungan peralatan memadai, pengetahuan cukup, dan pemandu terampil.

Class V
Sungai dengan tingkat kesulitan tinggi. Hanya cocok untuk pengarung jeram yang sudah menguasai teknik pengarungan dan memiliki pengalaman yang cukup pada sungai Sungai pada class ini memiliki jeram yang banyak dan panjang dengan berbagai rintangan yang dapat menyebabkan resiko tambahan bagi seorang pendayung.

Drops atau penurunan yang tiba-tiba, jeram-jeram sulit, hole, tebing terjal yang tak terhindari, sampai waterfall (air terjun) sering dijumpai pada sungai ini. Jeram yang dilewati seringkali beruntun pada jarak cukup panjang, sehingga membutuhkan ketahanan fisik yang tinggi.

Kalaupun ada pusaran air tenang (eddies), jumlahnya sangat sedikit sekali dan cukup sulit untuk diraih. Pada skala tertinggi, sungai dengan tingkat kesulitan ini memiliki kombinasi jeram yang sangat beragam, mulai dari curler, hair, hay stakes, headwall, strainer, under cut, wave train, sampai pin hole yang sangat berbahaya dan mematikan.

Terlempar keluar dari perahu pada sungai ini sangat berbahaya dan tindakan penyelamatan sering sulit dilakukan bahkan untuk seseorang yang mahir sekalipun. Peralatan yang tepat, pengalaman yang luas, dan latihan keterampilan dalam penyelamatan sangat penting.

Class VI
Sungai dengan tingkat kesulitan tertinggi. Pengarungan di sungai ini hampir tidak mungkin dilakukan karena jeram yang ada tidak dapat diprediksi dan sangat berbahaya. Konsekuensi suatu kesalahan dalam pengarungan di sungai ini sangat berat; tindakan penyelamatannya hampir tidak mungkin dilakukan.

Sungai dengan tingkat kesulitan ini hanya untuk tim khusus yang memiliki keahlian tinggi--bukan untuk diarungi perorangan--setelah seringkali mengarungi sungai tingkat kesulitan class V.

Ragam klasifikasi tingkat kesulitan sungai di atas merupakan tingkat kesulitan sungai yang ditetapkan secara internasional. Namun, klasifikasi ini masih sangat variatif dan dapat berubah-ubah walau masih pada sungai yang sama. Hal itu karena tingkat kesulitan ini sangat tergantung pada debit air dan kemiringan sungai. Sehingga pada waktu-waktu tertentu, sungai-sungai tersebut memiliki tingkat kesulitan yang mungkin bertambah atau mungkin berkurang.

Karena itu, oleh kalangan penggiat arung jeram, di belakang ”class sungai” sering ditambahkan tanda “+” (plus). Misalnya, sungai Citarik yang memiliki tingkat kesulitan III+. Artinya, pada jeram-jeram tertentu sungai citarik memiliki tingkat kesulitan yang setara dengan sungai Class IV.

Disampaikan pada materi ruang Arung Jeram
UKK Hijau Fakultas Psikologi UNDIP Semarang

bersama Catopala Adventure Team

13 Desember 2008

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

07 Desember 2008

Buah yang Jatuh Tak Jauh Dari Pohon

SKETSA

Semarang, 7 Desember 2008
Buah yang Jatuh Tak Jauh Dari Pohon
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.berani.co.id)

DUA MINGGU lalu saya habis berkunjung ke rumah kakek-nenek dari pihak ibu, di Kab. Wonogiri, Jawa Tengah. Dari Semarang, perjalanan memakan waktu sekitar empat jam jika ditempuh darat.

Seperti biasa, sebelum berangkat, saya lebih dulu mengerjakan berbagai urusan yang perlu dipersiapkan: membeli buah tangan dan mengabari kedatangan saya ini via telepon kepada mereka. Kakek sangat senang ketika mendengar rencana kedatangan saya kali ini. Maklum, kira-kira sudah empat--lima bulan saya belum mengunjungi mereka.

Kali ini saya membawa oleh-oleh Lunpia "Gang Lombok", makanan khas kebanggaan warga Semarang. Makanan ini terbuat dari rebung (bambu muda) yang digoreng dalam lapisan tepung terigu. Isi dalamnya bisa beraneka ragam. Namun, umumnya isi khas Lunpia Semarang adalah telur, ayam, udang, dan aneka sayuran.

Lunpia "Gang Lombok" terletak di Gang Lombok, Johar, Semarang. Lokasinya persis di depan replika Kapal Perang Cheng Ho di pinggiran Kali Semarang.

Kiosnya sederhana. Meski hanya berukuran sekitar 2x4 meter, ada nilai historis yang membuat lunpia di sini bercita rasa khas dan terus ramai terutama di masa-masa liburan.

Ini adalah kios lunpia pertama di Semarang. Bahkan, bisa dikatakan tempat ini adalah cikal bakal lunpia yang kini marak ditemui di kawasan Pusat Oleh-oleh Jl Pandanaran maupun Jalan Mataram Semarang.

Rasanya pun berbeda dibanding banyak lumpia di kawasan Pandanaran maupun Matraman. Lumpia di sini tidak berbau rebung yang menyengat seperti ditemui di tempat lain. Makanya jangan kaget jika harga lunpia di sini dijual cukup mahal, bahkan paling mahal di antara penjual lain di Semarang. Lunpia basah atau kering dijual Rp9 ribu per biji.

Namun dijamin kita tidak akan menyesal membelinya, apalagi sebagai oleh-oleh bagi sanak saudara tercinta. Bumbu lunpia di sini pun spesial. Terbuat dari sejenis kanji yang dicampur bumbu masakan, ditambah cita rasa ikan pihi. Hal ini yang membuat citarasa lumpia yang legit dan manis kulitnya.

Setelah segala sesuatunya selesai saya urus, saya segera berangkat ke Java Mal, titik perhentian bus luar kota di Jalan Mataram Semarang. Cukup sepi hari itu, maklum waktu itu hari Selasa. Siang pula.

Mantan Kawedanan

Kakek saat ini berusia 75 tahun. Sebagai orang tua, fisik kakek memang masih terbilang cukup sehat. Terakhir kali saya mengunjungi mereka, fisiknya masih terlihat bugar, meski saat ini beliau sudah jarang bersepeda dan jogging, kebiasaannya ketika muda.

Belakangan saya baru tahu jika beliau adalah mantan "Kawedanan" Kabupaten Wonogiri. Di masa kekuasaan Orba, khusus di Provinsi Jateng, ada istilah karesidenan dalam hirarki wilayah administratif pemerintahan daerah. Dulu, gubernur tidak membawahi langsung bupati/walikota seperti sekarang. Ia masih membawahi karesiden yang mengepalai sebuah karesidenan.

Karesidenan adalah kumpulan beberapa kabupaten/kota yang berdekatan. Jadi, dapat distilahkan karesiden adalah koordinator para bupati/walikota. Sedangkan kawedanan adalah jabatan struktural di bawah bupati yang membawahi beberapa kecamatan. Koordinator camat, tepatnya. Jabatan itu dihapuskan setelah kejatuhan Soeharto. Penghapusan ini akibat perampingan jabatan yang marak di era pascareformasi.

Nenek saya saat ini berusia 70 tahun. Walau sudah berada di usia senja, nenek masih saja wanita yang aktif hingga kini. Dulu beliau pernah menjabat anggota DPRD untuk Daerah Tingkat II Kabupaten Wonogiri dari Partai Golkar.

Jabatan yang saya rasa mengganjal di telinga. Mengapa? Hingga kini, saya mengagung-agungkan semangat anti-Orba dan menjadikan Golkar sebagai musuh bersama. Ternyata saya mempunyai seorang nenek salah seorang anggota legislatif dari Golkar. Ha-ha-ha ... ironis, bukan?

Namun saya salut dan bangga dengan aktualisasi diri beliau. Penuh semangat dan menjiwai sekali perannya sebagai orang partai. Di masa berbagai kampanye terutama menjelang masa pemilu, beliau tampak tak lelah berkeliling dari daerah ke daerah melakukan sosialisasi dan kampanye aktif.

Yang mengejutkan saya dan baru saya ketahui belakangan, adalah beliau kini menduduki jabatan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Kab Wonogiri. Beliau juga masuk dalam tim verifikasi bakal calon (Balon) Caleg Partai Golkar.

Tampaknya sifat-sifatnya yang senantiasa aktif dan luwes bergaul itu menurun pada anak-anaknya, terutama ibu saya.

Ibu saya adalah wanita aktif yang gemar ikut berbagai kegiatan. Dari Dharma Wanita (di masa bapak aktif menjadi pegawai Bank Dagang Negara), kegiatan PKK perumahan, hingga kini aktif menggeluti berbagai komisi pelayanan di gereja.

Tak mau kalah, silsilah ini secara tak langsung turut membentuk saya dan kakak perempuan saya untuk tumbuh dengan minat pada berbagai kegiatan dan organisasi. Kakak saya, misalnya, sedari SMP gemar berorganisasi di OSIS. Lalu sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta hingga lulus, ia yang kini bekerja di bank swasta itu aktif di kepemudaan gereja.

Saya pun, meski di masa sekolah dulu tak terlalu gemar berorganisasi, kini terasa kecanduan berkegiatan. Terutama sejak menjadi mahasiswa. Dari Mapala, Tim SAR Daerah, Senat Mahasiswa, himpunan jurusan, teater, hingga kini rajin mengikuti berbagai seminar dan diskusi.

Bisa jadi sifat saya ini bawaan dari nenek saya. Tampaknya, bolehlah saya mengukir pepatah ini menjadi cerminan hidup: "Buah jatuh tidak jauh-jauh dari pohonnya".

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Tirulah Bangsa Jepang

SKETSA

Semarang, 6 Desember 2008
Tirulah Bangsa Jepang
Oleh Anindityo Wicaksono

(sumber gambar: http://www.preisvergleich.org)

HARI cerah; jarum jam menunjukkan pukul 8.30. Setelah berdoa pagi dan mandi, saya lalu berangkat kuliah. Kebetulan hari ini saya memang tidak mendapat jadwal liputan. Kepala Biro belum menelepon saya untuk penugasan liputan, seperti janjinya.

Hanya ada satu jadwal kuliah saya hari ini, Kepemimpinan. Dosennya salah satu "dedengkot" di jurusan saya. "Dedengkot" yang saya maksud di sini adalah paling tua, baik dari segi pengalaman mapupun umur. Namanya Soewarso, salah satu pendiri jurusan Administrasi Bisnis, jurusan saya kuliah.

Wajahnya sangar. Kumisnya lebat. Umurnya saya taksir sekitar 45-an tahun. Kata-katanya pun lugas. Dia memang tak suka banyak berbasa-basi, berbicara seperlunya saja.

Namun di balik kesangaran ini, dia bukan termasuk dosen "killer" (pelit nilai), seperti stereotipe yang disematkan pada dosen-dosen senior macam beliau. Beda dengan dosen lain seangkatan beliau seperti Winarti dan Kemi.

Bila ditanya mengenai nilai, jangan tanya "keampuhan" kedua dosen wanita senior di atas dalam hal memberi nilai. Bisa dapat B untuk mata kuliah yang mereka ampu saja, patut dirayakan dengan acara syukuran.

Dalam pertemuan kedua kuliah hari ini, Pak Warso berbicara panjang lebar mengenai teori kepemimpinan. Dari segala aspek yang terkandung di dalamnya hingga sejarah awal-awal kepemimpinan. Menurut dia, merujuk banyak literatur, ternyata ilmu ini termasuk ilmu terapan baru yang baru diakui di akhir abad ke-20. Tepatnya sekitar tahun 1980-an.

Dibandingkan dengan ilmu klasik lainnya macam Sosiologi, Antropologi, Politik, atau ilmu Bumi yang muncul sejak sekitar abad ke-17, Kepemimpinan termasuk ilmu yang baru.

Menurut dia, segala sesuatu dapat dikategorikan ilmu jika mempunyai landasan teori yang telah dibuktikan. Itulah mengapa Kepemimpinan sekarang dapat digolongkan menjadi teori. Sebagai ilmu, katanya, tentunya penerapannya di lapangan dapat menjadi bahan masukan baru bagi perkembangannya. Lalu kondisi di lapangan dapat memberikan "feed-back" yang dapat menyempurnakan teori yang sebelumnya sudah ada.

Tersebut dua versi ilmu kepemimpinan yang saling bertentangan pada masa awal-awalnya. Pertama, teori "Leader is Born". Teori ini berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan terbentuk. Inilah mengapa di jaman kerajaan dulu kental terbentuk pola patrilinel dalam regenerasi masa pemerintahan raja. Seorang pangeran (anak raja) otomatis berhak menjadi penganti raja jika raja sebelumnya meninggal.

Hak waris ini terlepas dari mampu tidaknya pangeran itu dalam memimpin. Baik dari segi mental maupun secara fisik. Teori ini terlihat pada sebagian besar pola kerajaan di negeri ini, bahkan dunia. Dari jaman kerajaan tertua Kutai, hingga keraton Surakarta dan Yogyakarta, atau Kerajaan Inggris yang masih bertahan hingga sekarang.

Yang kedua, teori "Leader Is Made". Menurut teori ini, pemimpin terbentuk melalui pergulatan sepanjang hidupnya. Jiwa kepemimpinan terbentuk melalui pengalaman hidup langsung di masyarakat. Teori inilah yang berlaku di masyarakat kekinian. Seorang pemimpin yang baik tak lagi seorang yang mempunyai kedekatan biologis dengan penguasa yang lama. Namun seorang yang memiliki kecakapan setelah bersinggungan lansung dengan segala dinamika pergulatan hidup di masyarakat.

Dibanding teori yang pertama, teori ini terasa lebih realistis diterapkan di masa globalisasi seperti sekarang. Lebih-lebih, ketika masyarakat sepakat menjauhkan "nepotisme" apapun bentuknya dari urusan hidup. Pemimpin tak lagi dicetak dari status-quo yang merugikan. Dia harus mampu membuktikan perannya, sebelum nantinya dinilai layak menjadi pemimpin.

Materi yang dibahas dalam kuliah selama satu setengah jam itu sebenarnya cukup menarik. Apalagi banyak bersingungan dengan urusan yang selama ini cukup dekat dengan mahasiswa. Terutama mahasiswa golongan "aktivis" yang akrab dengan idion "pemimpin" ini.

Namun, karena cara penyampaian materi yang hanya searah, para mahasiswa menjadi cepat bosan. Lebih-lebih kini sedang bulan puasa. Gairah beraktivitas yang sudah separuh-napas, dipaksa mendengar ceramah ngalor-ngidul yang tak menarik. Tambah berat lah mata ini untuk melek.

Menurut saya, hal ini harus dijadikan satu bahan evaluasi bagi dosen. Kelas harus sebisanya dibuat bergairah agar murid dapat bersemangat mempelajari serbamateri yang diberikan. Hal ini sudah jamak dipahami ahli komunikasi massa. Sebaik atau sepenting apapun sebuah materi, tak akan dapat mengena sasarannya jika cara penyampaiannya tak menarik. Dosen masakini, terutama FISIP UNDIP--tempat saya berkuliah--harus mulai memikirkan strategi untuk membuat satu pla pengajaran yang lebih menarik.

Menurut Paulo Freire, hakikat sejati "belajar" adalah memerdekakan diri. Murid bukan lah sekadar gelas kosong yang tak berisi sama sekali. Dosen harus tahu benar ini. Paradigma mereka harus diubah. Dari guru tahu segalanya, menjadi murid adalah partner yang seimbang. Namun dalam penerapannya, seringkali kendalanya adalah paham ini bertentangan dengan budaya kita, khususnya budaya Jawa.

Mendhem Jero

Paham "pendidikan untuk pemerdekaan diri" ala Freire, yang menganggap murid dan guru adalah partner, sangat cocok jika diterapkan di Barat. Di sana, paham liberalisme mendapat porsi besar di masyarakat.

Orang-orang barat hidup dengan sifat egaliter. Artinya, orang tak lagi dihargai atas dasar senioritas ataupun kedudukannya di masyarakat, melainkan kemampuan dan karya seseorang di masyarakat. Hal ini kental terpantul dalam film-film Hollywood. Seorang anak memanggil guru, atau ayahnya sekalipun, hanya dengan namanya.

Bagaimana dengan kita? Budaya Barat ternyata bertolak 180 derajat dengan budaya Indonesia, khususnya Jawa. Budaya seperti bukannya salah, tapi tidak pas jika diterapkan di sini.

Bagi kita, orang Jawa, budaya yang harus tetap dijaga adalah budaya unggah-ungguh (sopan santun), atau ewuh-pakewuh (sungkan). Budaya yang telah ratusan tahun menjadi norma ini mengajarkan kita selalu hormat pada orang tua, apapun kondisinya. Sopan di depan orangtua, tidak neko-neko, serta tidak boleh membantah apalagi mengkritik kejelekan orangtua.

Nilai ini persis dengan sebutan "mendhem jero-mandhap asor" yang populer di jaman Soeharto. Sebagai anak, kita diwajibkan untuk mampu menyimpan keburukan dari orangtua, seburuk apapun itu. Jika tidak, bisa-bisa kita dicap menjadi anak durhaka.

"Kalau kurang ajar sama orangtua, nanti dikutuk jadi kacang mede (buah-buahan sejenis kacang yang bijinya di luar buah)," demikian kata para tetua. Celaka memang. Namun itulah salah satu nilai yang terkandung dalam budaya asli leluhur tanah ini.

Memang, sebagai kaum muda yang dituntut untuk tetap nguri-uri (melestarikan) budaya, kita tak boleh lupa menjunjung budaya kita sendiri. Karena, kalau bukan kita, siapa lagi? Namun bukan berarti budaya ini patut ditelan bulat-bulat.

Sebagai kaum muda dan kaum penerus bangsa, kita harus tetap kritis dan skeptis menerima segala nilai yang ada, entah itu budaya baru atau budaya luhur-adigung peninggalan nenek moyang kita. Idealnya: ambil nilainya yang baik-baik saja, yang jelek kita buang.

Salah satu peran kita adalah membentuk budaya pembaharu yang lebih cocok berlaku di masa kini. Ibarat teknologi, sudah bukan jamannya lagi menggunakan mesin ketik jika sudah ditemukan komputer yang lebih cepat. Sungguh bodoh jika orang masih berkeras menggunakan mesin tik dengan alasan melestarikan budaya.

Apalagi jika alasannya: Sayuti Melik atas suruhan Bung Karno saja menggunakan mesin ketik untuk mengetik naskah proklamasi. Masakan kita melupakan begitu saja jasa beliau dengan meninggalkan mesin ketik?

Bodoh yang menjawab begitu. Pasalnya, perubahan diciptakan demi satu dunia yang lebih baik. Supaya kualitas penghidupan menjadi lebih mudah.

Hal ini sama juga dengan budaya. Nilai-nilai buruk dari budaya bangsa, bukan lah nilai mutlak yang pantang dipertanyakan. Jika budaya ini dirasa menjadi penghambat kemajuan, sudah saatnya kita buang jauh-jauh.

Ada banyak literatur penulis-penulis Eropa yang menyebutkan sifat-sifat buruk bangsa ini. Beberapa di antaranya adalah malas, tak suka bekerja keras, suka berkelahi memperbutkan wilayah/kekuasaan, dan lebih suka berbicara hal-hal remeh ketimbang disuruh berpikir. Benarkah demikian? Tentunya hanya kita yang bisa menilai.

Maka jika Pak Soewarso, atau siapapun itu, mulai membosankan dalam mengajar, adalah tugas kita sebagai mahasiswa untuk mengingatkan. Atau cara yang paling sopan adalah dengan bertanya ketika dibuka sesi pertanyaan. Niscaya kelas akan menjadi lebih hidup dengannya.

Unggah-Ungguh

Kata Stephen Covey, salah satu kebiasaan wajib orang efektif adalah menjadi proaktif. Dia harus berani mengambil peran mengubah keadaan yang dirasakan salah. "Jangan bersikap pasif-reaktif dan menjadi korban keadaan. Orang proaktif harus mampu menyerang sebelum diserang musuh. Keadaan seperti apapun takkan mampu mengubah pendiriannya," begitu tulis Covey.

Penulis ingat cerita teman yang pernah mengikuti kunjungan studi di salah satu universtias swasta di Filipina. Namanya Surachman. Kawanku ini sekarang bekerja di Indomobil Finance, agen pembiayaan khusus merk Suzuki, di Bekasi. Surachman mengakui adanya ketertinggalan atmosfir akademis universitas kita dibanding di Filipina. Khususnya dari sistem pembelajaran di kelas.

Kata dia, mahasiswa di sana tak pernah mencatat ketika di kelas. Ruang kelas, kata dia, adalah tempatnya berdiskusi. Kelas bukan lagi tempatnya mencatat atau melongo mendengarkan dosen "berceramah" atau "berpidato", seperti yang jamak terjadi di banyak perguruan tinggi - khususnya universitas negeri - di sini.

Sebelum pertemuan kuliah, murid sudah diberi rujukan buku yang harus dipelajari. Dosen juga sering memberi tugas resensi alias ringkasan buku yang harus mereka pelajari.

"Minimal sebulan satu buku setiap mata kuliah," kata Rahman.

Itulah mengapa rata-rata kualitas lulusan perguruan tinggi di sana jauh sekali dibandingkan di sini. Dari segi kualitas pengajar pun kita masih kalah jauh. Hampir sebagian besar pengajar program strata-satu (S-1) adalah profesor atau minimal S-2.

Bandingkan dengan rata-rata unibersitas di Indonesia. UNDIP Semarang, misalnya, hingga kini bahkan masih saja ada pengajar yang lulusan S-1. Gelarnya hanya doktorandus (jaman Belanda). Jika begitu, bagaimana bisa mereka dituntut untuk kreatif dalam mengajar? Mengembangkan kualitas internal diri sendiri saja masih malas, apalagi mengurusi kebutuhan intelektual mahasiswa.

Kita harus berubah. Adalah bijak kita hidupi semboyan bapak Presiden SBY yang optimistis itu, menjelang Hari Kemerdekaan 2008: "Indonesia bisa!"

Ya, Indonesia bisa untuk berubah. Syaratnya hanya satu: kita mau! Yakinlah, selama kemauan masih menggebu-gebu, pintu yang tadinya tertutup itu satu-satu akan terbuka lebar membentangkan jalan. Perubahan ini harus menjadi satu kerinduan kita bersama. Ya dosennya, ya muridnya.

Pesan untuk para dosen: jadikanlah kelas sebagai tempat yang penuh pesona. Tempat yang terus membuat kita rindu untuk menyapa ilmu, dan menggugah mahasiswa untuk selalu haus belajar.

Untuk mahasiswa: jadilah proaktif, dinamis, dan penuh antusias dalam kelas. Jangan jadikan budaya "unggah-ungguh" sebagai alasan untuk tak berani berpendapat. Bertanyalah jika dipersilahkan dosen. Jangan pendam kegelisahan intelektualitasmu karena takut pandangan sinis kawan-kawan lain.

Kritis tak selamanya identik dengan pemberontakan ala budaya Barat. Tirulah bangsa Jepang, bangsa Asia yang kian menancapkan kukunya di kancah persaingan-dunia. Mereka bisa kritis dan dinamis, sekaligus tetap menjunjung tinggi budaya leluhur mereka.

Meski terkenal gila-kerja dan senantiasa haus-ilmu, toh kaum muda mereka tak pernah lupa menundukkan kepala jika bertemu dengan orangtua.

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...