09 November 2008

Jurnalisme Positif

KOLOM
Jurnalisme Positif
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://thesocratesmedia.com)

TIDAK banyak negara yang mengalami kemalangan dramatis seperti Indonesia. Negara yang pada medio tahun 80 dan 90-an pernah dianggap sebagai salah satu negara paling bagus kinerjanya di kawasan Asia Tenggara, berbalik 180 derajat menjadi mata rantai paling lemah dari optimisme kawasan Asia Tenggara lepas dari masa resesi.

Pengangguran yang meluas, penurunan mutu pendidikan, ketidakjelasan penegakan hukum, dan buruknya sektor pelayanan publik adalah beberapa dari banyak kondisi buruk negara yang terus memingirkan posisi Indonesia. Tiap hari masyarakat disuguhi berbagai realitas yang mencerminkan bangsa yang seringkali terlalu dini menepuk dadanya sendiri.

Kondisi ini membentuk perpsektif kuat di masyarakat bahwa sudah tidak ada lagi hal yang dapat dibanggakan dari Indonesia. Tidak ada yang becus di negara ini. Sudah bterlalu lama rakyat bertahan pada harapan semu akan kemajuan. Lantas, apakah masih ada tempat untuk optimistis hidup di Indonesia?

Adalah bijak untuk tidak hanya mencela bangsa sendiri seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla baru-baru ini. Dengan gaya khasnya, JK yang terkenal suka bicara blak-blakan ini menjadikan kejadian semakin macetnya Jakarta dan seringnya lampu padam sebagai indikator perbaikan kehidupan ekonomi.

Walau pernyataannya sempat menimbulkan polemik, namun harus jujur kita akui tidak siapapun yang salah dalam bangsa yang sering merasa paling benar ini. Carut marut bangsa bukan semata-mata tanggung jawab tunggal pemerintah sebagai penyelanggara negara. Meski secara signifikan belum hilangnya budaya negatif seperti hebatnya praktik KKN dalam sendi kehidupan, Indonesia sedikit banyak mulai berbenah yang ditandai dengan perekonomian yang merambat naik.

Bangsa ini saat ini lebih membutuhkan negarawan-negarawan untuk maju ke garda depan menurut bidang dan perannya masing-masing demi membangun bangsa yang lebih terhormat. Saling berlomba menjadi kritikus dan paling sering mencatat setiap kesalahan pemerintah niscaya tidak akan membawa negara ini kemana-mana. Kritik dan cela dilakukan seperlunya saja ibarat obat dalam dosis yang tepat. Mengutip konglomerat Ir. Ciputra, mencoba menyalakan lilin walau kecil, lebih baik daripada hanya terus mencaci dalam kegelapan.

Memang kebebasan mengemukakan yang mengambil bentuk kebebasan pers adalah pilar utama kehidupan demokrasi. Namun, tiadanya fungsi kontrol pers oleh pemerintah jangan lalu dipahami dengan cara pandang keliru. Sistem pers yang liberal dan sebebas-bebasnya tidak sama dengan sistem pers tanggung jawab sosial. Pers liberal tidak sehat karena cenderung memberitakan dari salah-satu satu sisi saja. Sistem yang kedua terbukti berhasil membuat pers di AS menjadi pers demokrasi yang paham menentukan batasnya sendiri.

Sebagai pembentuk opini masyarakat yang paling efektif, sudah saatnya pers mengembangkan jurnalisme positif seperti yang pernah digulirkan Presiden SBY. Hanya mencela dan mengekspos secara berlebihan oknum-oknum aparatur yang berbuat salah merugikan masyarakat dilakukan seperlunya saja. Ada pameo, manusia adalah tempatnya kesalahan dan kekhilafan.

Pemberitaan positif tentang secercah lilin yang coba dinyalakan oleh anak bangsa harus diberi tempat yang berimbang. Hal semacam ini harus dilakukan secara berkesinambungan agar lambat laun membentuk opini masyarakat yang berperspektif positif. Inilah fungsi pers dalam kerangka tanggungjawab sosial.

Seperti kata Ernest Everhar, kalah saat ini, tapi bukan untuk selamanya! Kita sudah belajar banyak hal. Besok, perjuangan kita akan bangkit kembali, lebih bijak dan lebih disiplin.
Memberi solusi yang lebih aplikatif akan permasalahan yang ada lebih bermanfaat ketimbang hanya terus mencela. Bangsa yang terlalu sering mencela adalah bangsa yang akan selalu menghujat pemimpin yang dulu mereka pilih sendiri ketika turun hanya untuk menyanjung pemimpin baru mereka. (*)

(Dimuat di Harian Kompas Jateng, 7 Maret 2008)

0 komentar:

Posting Komentar