29 April 2009

Memanusiawikan Manusia

KOLOM

Semarang, 29 April 2009
Memanusiawikan Manusia
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http:// pohonkatakata.blogspot.com)

HINGAR-BINGAR
deklarasi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2014 tak lama lagi berkumandang. Segera akan kita cicipi bersama manisnya madu janji dan program para pasangan kandidat bersamaan makin mendekatnya pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres).

Dengan mantapnya segera tergelar promosi dengan aneka ragam atribut para calon kepala negara beserta parpol pengusungnya. Wajah-wajah besar mereka akan segera menghiasi berbagai baleho, spanduk, umbul-umbul, poster, dan bendera di seantero negeri.

Mulai dari jalan protokol hingga sudut-sudut gang berpenerangan temaram. Dari tenda-tenda warung pecel, kios-kios nasi goreng, jendela belakang angkutan umum, bahkan sampai menjadi iklan berjalan di deretan mobil-mobil pikap.

Lantas, ironiskan pemandangan begini, saat mereka seakan habis-habisan terus mencari segala ruang untuk "menjual diri"? Hal ini lazim terjadi dalam dunia politik. Bahkan politik praktis dalam dunia kampus pun mengajarkan demikian.

Bagaimana untuk saling adu strategi, bahkan kalau perlu sampai adu jotos, sikut, dan jegal, guna menarik simpati pendukung dan meraup suara sebanyak-banyaknya dari calon pemilih. Tak ketinggalan tim sukses yang sarat modal akan "jungkir-balik" sebisanya demi sebuah kemenangan.

Dalam kondisi demikian, ada kesan, makna slogan, tulisan, dan serba jargon-jargon politik yang mereka usung dianggap sepi. Terbukti dari betapa asal-asalannya pesan yang mereka kemas dalam semua media kampanye itu. Tampaknya para jurkam ini sadar betul jenis masyarakat bagaimana yang sedang mereka hadapi. Hemat penulis, ada dua alasan penyebab ironi ini.

Pertama, pilpres kekinian hidup dalam masyarakat yang sedang dijangkiti euforia kebebasan demokrasi. Insan-insan yang dipaksa untuk menelan bulat-bulat stigma politik yang terlanjur berkawan karib dengan ajang "adu modal". Artinya, calon pemilih memilih menganut asas manfaat dan hanya akan memilih calon yang paling banyak memberi manfaat (baca: imbalan)

Namun demikian, kecacatan demokrasi yang lama terbentuk di republik ini tidak bisa dipersalahkan pada masyarakat sepenuhnya. Kondisi ini muncul sebagai akibat dari munculnya rsa ketidakpuasan masyarakat terhadap perilaku parpol dalam tatanan regulasi pemerintahan dan ketatanegaraan.

Harapan akan sosok kepemimpinan yang ideal sudah terkubur dalam-dalam oleh realitas yang bertentangan. Maka sudah jamak jika visi, misi, apalagi kompetensi para calon dianggap sebagai angin lalu.

Kedua, ketidaksehatan demokrasi yang sedang terjadi justru semakin diperparah perilaku kekanak-kanakan para elite politik yang bersaing. Para oknum kian gemar memanipulasi rakyat akibat dimanjakan euforia demokrasi. Mereka lepas dari tanggung jawab pilitik.

Maka tak heran jika setiap kampanye mereka hanya mengerahkan massa; mendanai aksi; lalu setelah berjaya, meninggalkan begitu saja kewajiban dalam memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat. Makin jauh, politik kita makin tenggelam dalam politik massifikasi massa yang makin miskin substansi.

Memanusiawikan diri

Pada usia belia, Ahmad Wahid (LP3S, 1981) pernah menulis dalam buku hariannya: "Aku ingin bahwa orang memandang dan menilai aku sebagai suatu 'kemutlakan' (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana aku termasuk, serta dari aliran apa aku berangkat. Sekadar memahami manusia sebaagi manusia."

Wahid berani merenungkan dirinya itu "siapa" atau sekadar "apa". Ia memaknai dirinya sebagai "manusia" (human being) yang sedang berproses "memanusiawikan dirinya" (being human). Buah pikirannya kala itu terdesak pencarian jati dirinya sebagai seorang intelektual muda yang gelisah.

Wahid mampu menyadarkan bahwa dirinya pertama-tama tidak dijelaskan oleh namanya, dan tidak oleh pengetahuan dan keterampilannya. Tidak juga oleh pakaian dan kendaraannya, bahkan tidak agamanya. Ia menyadari bahwa ia hanya manusia yang sedang berproses menjadi dirinya sendiri, menaktualisasikan segenap potensi sebagaimana ia diciptakan (dalam Andreas Harefa, 2000).

Kini amat jarang kita jumpai Wahid-Wahid lain di Indonesia. Apalagi mereka yang berkecimpung di ranah politik kekinian. Nampaknya pesona politik memang telah memikat manusia tiada ampun. Muara krisis kepemimpinan masih saja berkutat pada masalah usang: selalu bermulut manis di kala kampanye, lalu setelah terpilih, seenaknya menimpakan setumpuk keserakahan pada rakyatnya.

Kadang saya berpikir, lalu apa gunanya menaruh harapan besar pada pentas demokrasi jika itu hanya berarti seremonial belaka untuk menggantikan "penindas" lama dengan "penindas" baru yang lebih kejam? Sudah saatnya kita, yang merasa lebih cerdas dan melek politik ini, untuk memulai perbaikan kondisi demokrasi bangsa yang kian memprihatinkan.

Untuk menghasilkan pilpres yang ideal demokratis memang tak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan suatu kolaborasi besar di antara seluruh komponen bangsa. Pers, LSM, kaum cerdik-pandai, serta mahasiswa beserta seluruh civitas akademisi sebagai agen perubahan yang diharapkan untuk netral harus hadir di depan menggagas perubahan.

Sinergitas di antara seluruh komponen itu merupakan titik penting eksistensi masyarakat terdidik (civil society) dalam menyongsong pilpres mendatang. Jika tidak, itu berarti sama saja kita sedang mempercepat laju kematian daya kreasi demokrasi untuk lepas dari kemandulan berpikirnya.

(Dimuat di Koran Sore Wawasan, 1 April 2008; dengan penyesuaian)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

09 April 2009

Kegilaan Cinta Lars

FILM

Semarang, 8 April 2009
Kegilaan Cinta Lars
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.thecinemasource.com)

Judul: Lars and The Real Girl (2007)
Genre: Drama-Komedi
Sutradara: Craig Gillespie
Naskah: Nancy Oliver
Pemain: Ryan Gosling, Emily Mortimer, Paul Schneider, Kelli Garner, Patricia Clarkson
Produksi: Sidney Kimmel Entertainment (USA)
Rilis: 12 Oktober 2007
Durasi: 106 menit

"Terkadang kau menemukan cinta setidaknya di mana kau mengharapkannya."

TEMA percintaan memang selalu memesona. Era kebangkitan dunia musik dan film negeri ini pun kini tak jauh-jauh dari tema ini. Band-band "kemarin sore" menjadi primadona dadakan cukup dengan bermodalkan satu lagu cinta. Begitu pun film. Para sineas, layar lebar hingga sinetron, saling adu cepat mencuri perhatian khalayak dengan kisah percintaan.

Namun, karena rendahnya kreatifitas dan sindrom "tiru-meniru" yang menjangkiti hampir sebagian besar sineas kita, tema cinta menjadi semakin basi dan mudah ditebak. Konflik yang dihadirkan masih tak pernah jauh dari perselingkuhan, iri-dengki, persekongkolan, dan kecemburuan buta.

Sinema garapan sutradara Craig Gillespie ini berhasil menghadirkan warna baru dalam film cinta. Konflik yang dihadirkan bukan lagi rebutan pacar, kata-kata puitis mendayu-dayu, atau tangisan kehilangan tiada henti.

Dikisahkan, Lars Lindstrom (Ryan Gosling), seorang pemuda introvert yang manis, tinggal di sebuah garasi kosong bersebelahan dengan rumah kakaknya, Gus (Paul Schneider) dan istrinya, Karin (Emily Mortimer) yang sedang mengandung.

Kehidupan dua bersaudara-bertetangga ini awalnya berjalan normal. Mereka bertiga dikenal sebagai jemaat gereja lokal yang rajin dan gemar menolong. Keseharian Lars pun dihabiskan dengan bekerja, layaknya orang kantoran biasa.

Keadaan tak pernah sama lagi sampai pada suatu malam. Lars mengunjungi rumah Gus dengan amat bersemangat. Layaknya pemuda kasmaran berat, muka Lars merah-padam dan berbicara dengan tersipu-sipu. Ternyata ia hendak memperkenalkan seorang gadis.

Kabar ini sontak disambut pasangan suami-istri ini dengan gembira. Apalagi Lars pun mengundang Gus dan Karin malam itu juga untuk bertemu dengan sang gadis, yang diakuinya berprofesi sebagai misionaris (penyebar agama).

Sesampainya di kediaman Lars, bukannya senang dan bergembira bersama, Gus dan Karin malah melotot dan ternganga. Olala! Bagaimana tidak, ternyata sang kekasih baru ini adalah seorang boneka-seks yang dipesan Lars dari sebuah situs di internet.

Yang lebih mengkhawatirkan, Lars berkomunikasi dengan boneka ini layaknya gadis sungguhan. Dia memberinya minum, mengajaknya ngobrol, dan menyebut namanya dengan amat mesra: Bianca, nama yang diberikan Lars sendiri.

Hasil diagnosa dr. Dagmar (Patricia Clarkson), sang dokter keluarga, menunjukkan bahwa Lars mengidap penyakit kejiwaan delusi, suatu gangguan psikosis fungsional mirip skizofrenia. Kondisi ini hadir akibat akumulasi penolakan yang pernah mendera Lars semasa kecil. Lars hidup dalam dunia imajinya yang liar: si boneka mati Bianca hidup menjadi realitas yang mampu berinteraksi dengan intens.

Memandikan

Sinema yang berlokasi syuting di Toronto, Kanada, ini menyuguhkan keteladanan cinta tanpa bersyarat. Pergulatan yang sesungguhnya hadir sejak Gus-Karin beserta Mrs. Gruner (Nancy Beatty), ibu tua warga gereja yang baik hati, mengambil keputusan terberat dan teraneh dalam hidup mereka dalam suatu rapat warga gereja.

"What would Jesus Do" menjadi kata kunci yang menohok seluruh peserta rapat ketika itu. "Melihat Lars dengan segala keanehannya, yang menganggap sebuah boneka mati menjadi seorang gadis memesona, apa yang akan dilakukan Yesus?" tanya sang pendeta gereja. Hasilnya, mereka satu suara untuk menerima dan tetap mengasihi Lars apa adanya selama masa terapi kejiwaannya.

Kisah selanjutnya adalah sensasi. Buah konsekuensinya memang amat berat buat Gus, Karin, Mrs, Gruner, dan seluruh warga kota yang akhirnya mau tidak mau harus turut terlibat. Mereka harus bersedia mengganggap dan berinteraksi sepenuhnya dengan Bianca layaknya seorang gadis yang hidup.

Bahkan bukan hanya dalam pikiran, mereka harus turut berinteraksi secara penuh dengan boneka-seks itu. Batas antara konyol dan mengharukan menjadi hilang di sini.

Mereka mulai berbicara dengan Bianca, menyuguhkannya segelas anggur, memandikannya, mendandaninya, bahkan hingga menemaninya tidur. Konyol memang, namun inilah satu-satunya jalan yang dianggap dr. Dagmar paling baik demi kesembuhan Lars.

Awalnya prosesnya berjalan perlahan bagi semua yang terlibat di dalamnya. Terutama Gus yang ragu dan takut "ketularan" gila. Namun karena kasihnya yang begitu besar pada Lars, ditambah rasa bersalahnya karena telah menahun mengacuhkan Lars, Gus lambat laun berubah. Dia bahkan mau turut memandikan dan menemani Bianca hingga tidur, aktifitas yang tadinya dianggap tak masuk akal.

Ketekunan seluruh warga mengasihi Lars mulai berbuah ketika suatu saat Lars bertanya pada Gus: "Apa yang menjadikan seseorang sebagai seorang pria dewasa?" "Well..." jawab Gus terbata-bata, kaget mendengar pertanyaan yang tak biasa dari Lars," sifat anak-anak akan selalu berada di dalammu sampai kamu memutuskan melakukan hal yang benar. Hal itu bukan yang terbaik buatmu, tetapi yang terbaik buat semua orang, meskipun hal itu melukai hatimu sendiri."

Sejak saat itu Lars mulai menghilangkan Bianca secara perlahan dari dunia imajinya. Dia menganggap Bianca sakit hingga akhirnya meninggal. Inilah titik awal kesembuhan penyakit kejiwaan Lars.

Dia yang tadinya kikuk berinteraksi dengan lawan jenis menjadi mulai membuka diri sejak "kematian" Bianca. Rasa tertariknya pada Margo, (Kelli Garner), teman sekantornya yang jatuh hati pada Lars, mulai berkembang seiring waktu.

Box Office

Film yang menduduki "10 film terbaik tahun ini" versi The Associated Press ini melambung berkat ide briliannya. Apalagi permainan memukau Ryan Gosling sebagai Lars yang sensasional tak perlu dipertanyakan lagi. Pantaslah jika aktingnya diganjar Academy Award untuk pemeran pria terbaik.

Tema cinta yang diangkat pun segar; tak serupa film-film lain yang bergenre sejenis. Kisahnya cerdas, meneladankan cinta tanpa syarat melalui metafora sebuah boneka-seks. Film ini pun sukses di pasaran. Ia menduduki Box Office AS papan atas dengan raihan US $5,949,693.

Meski begitu bukan berarti film ini luput dari kritik. Lambatnya alur cerita dan musik latar yang kurang beragam sekilas membuat film ini menjadi menjemukan. Plotnya agak statis di awal-awal film. Beberapa adegan yang ingin menunjukkan perlakuan Lars maupun Gus dan Karin terhadap Bianca terlalu sering diulang-ulang.

Namun di luar kekurangan itu, bolehlah film ini menjadi oase di tengah keringnya ide para sineas lokal spesialis film cinta kita. Kita semua patut belajar banyak makna cinta dari Lars and The Real Girl. Belajar bagaimana kasih yang tulus ternyata bisa mengubahkan seluruh warga di lingkungan tinggal Lars; dari iba menjadi rela "gila" dan memahami Bianca sebagai realitas-semu Lars.

Si gila Lars tak hanya memaknai cinta sebagai kata-kata puitis dalam syair. Cinta baginya tak hanya buta, tetapi juga gila. Kegilaannya yang lebih membuat iba ketimbang simpatik ini patut kita jadikan bahan introspeksi. Lars mencintai Bianca sepenuh hati meski boneka mati itu tak pernah bisa merespon atau membalas cintanya.

Sebaliknya, kita, yang tak pernah mengidap delusi atau skizofrenia ini, masih teramat sering berpikir ulang dan menimbang-nimbang saat seseorang yang kita kasihi tak pernah atau kurang membalas cinta kita. Kita menjadi ragu apakah cinta ini sepadan dengan pengorbanan kita atau tidak.

Bahkan kita pongah; sering merasa sudah mengasihi sesorang terlalu banyak. Kita anggap kasih dan balasannya harus berjalan selaras. Kita anut hitung-hitungan bisnis: jika hasilnya tak sepadan, berarti salah satu pihak menang dan lainnya merugi. Kalau begitu, nyatanya kita tak lebih baik dan tulus dari seorang pengidap delusi seperti Lars Lindstrom. (*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

06 April 2009

Para Wartawan Menjawab

JURNALISME

Semarang, 6 April 2009
Para Wartawan Menjawab
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://stavrotoons.com)

BANYAK orang bercita-cita menjadi dokter, insinyur, pengusaha atau bahkan presiden. Kini tambah lagi satu cita-cita bagi banyak orang: caleg. Entah karena memang berjiwa negarawan atau sekadar silap terbuai gaya hidup caleg yang flamboyan.

Tapi entah mengapa tidak banyak orang bercita-cita sama sepertiku: menjadi jurnalis ulung atau wartawan terkenal. Padahal saya rasa profesi ini mulia, bersanding dengan guru. Keduanya toh sama-sama mengajar. Namun jika guru mengajar di papan tulis di hadapan para murid sebagai mitra, media ajar jurnalis adalah pena.

Tugas utama jurnalis ialah memenuhi hak masyarakat atas pemenuhan informasi. Bahkan ruang lingkup jurnalis, yang mencapai pelosok desa melalui distribusi surat kabar, lebih besar ketimbang guru yang terbatas pada institusi pendidikan tempatnya bernaung.

Orang tua dan banyak kawanku yang bertanya, "Heran. Mengapa kamu ngebet sekali sih menjadi wartawan? Padahal kan wartawan gajinya kecil, mana bisa jadi orang kaya. Resikonya besar lagi, banyak musuhnya."

"Ah, biar," tangkis saya cuek," meski 'miskin' kan bisa berguna bagi masyarakat. Kalau bukan wartawan, siapa lagi yang rela 'miskin' demi menjadi terang dan penyedia informasi bagi masyarakat?"

Kebulatan tekad ini akibat petuah ibu yang mengingatkan saya untuk fokus pada satu hal jika ingin berhasil. Ibarat seorang pemburu yang tak dapat menangkap kijang sekaligus babi hutan dalam sekali perburuan.

"Jika kamu ingin membawa pulang kijang, perhatikan saja kijang itu. Ke mana ia makan, tidur, dan bersantai. Jangan sedikitpun melepaskan pandangan dan bidikan tombakmu padanya sampai kamu menangkapnya. Jika kamu rakus ingin menangkap kijang dan babi hutan sekaligus, bisa-bisa kau malah takkan mendapat apa-apa," begitu petuah beliau.

Kesadaran akan panggilan di bidang kewartawanan membuat saya belum lama ini bertanya kepada beberapa wartawan yang saya kenal via email. Sekadar usaha sebelum lulus agar tak menjadi "pungguk merindukan bulan" ketika berimpian menjadi jurnalis.

Total ada empat poin pertanyaan yang saya ajukan: (1) Awal mula menjadi wartawan; (2) Seperti apa bentuk tes-tes wartawan yang diadakan media kekinian; (3) Kualifikasi apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi wartawan; (4) Saran bagi para mahasiswa yang berimpian menjadi wartawan.

Di bawah ini saya sajikan jawaban dari para wartawan yang menanggapi email saya, yakni Hendra Wibawa, Arif Gunawan, Bambang Jatmiko, dan Fita Indah Maulani, semuanya dari Harian Bisnis Indonesia. Semoga dapat menjadi bahan masukan bagi teman-teman yang punya cita-cita sama menjadi jurnalis.

1. Hendra Wibawa (Bisnis Indonesia)

Semoga saja aku tidak terlambat menjawab pertanyaan Anda. Jujur aku terkesan dengan keingnan Anda menjadi jurnalis. Apalagi, Anda belajar di Undip, tempat yang sama aku belajar Sejarah di Fakultas Sastra. Kebetulan, majalah mahasiswa sastra HAYAMWURUK (LPM Fakultas Sastra Undip Semarang) adalah tempatku awal menekuni dunia jurnalistik.

Kini tak banyak mahasiswa yang sejak awal bercita-cita menjadi jurnalis seperti Anda. Padahal, profesi jurnalis itu profesi mulia: melayani publik memperoleh informasi yang benar.

Awal mula menjadi wartawan

Aku masuk bisnis melalui proses pemagangan seperti pertama kali aku magang di LPM HAYAMWURUK. Menerima penugasan, meliputnya lantas menuliskannya dalam bentuk berita dengan model piramida terbalik. Model penulisan itu memang sudah ketinggalan. Namun, di Bisnis masih diperlukan untuk pembaca Bisnis yang umumnya tak memiliki banyak waktu untuk membaca koran.

Bentuk tes-tes wartawan yang diadakan media kekinian

Model tes itu hampir sama seperti kita melamar pekerjaan di satu perusahaan. Ada psikotes dan wawancara. Cuma bedanya ada tes menulis berita.

Khusus untuk pertanyaan ketiga dan keempat (kualifikasi yang dibutuhkan dan saran bagi para mahasiswa), ada baiknya Anda membaca laporan jurnalistik yang ditulis Andreas Harsono berjudul "Sembilan Elemen Jurnalisme". Laporan itu bagus sekali bagi yang ingin mendalami jurnalisme. Laporan itu bisa diakses di www.pantau.or.id.

Demikian, terus semangat.

2. Arif Gunawan (Bisnis Indonesia)

Terima kasih atas apresiasi kamu. Semoga ke depan aku bisa terus mengembangkan penulisanku agar bisa memberi informasi bermanfaat bagi pembaca. Dan tentu saja, menjaga konsistensi agar tetap menjadi jurnalis yang baik.

Awal mula menjadi wartawan

Puji syukur kepada Allah, ketika aku lulus pada 2005, Bisnis Indonesia sedang memburu calon reporter baru. Seorang kawan, penggiat komunitas Pantau di Jakarta merekomendasikanku untuk mencoba tes seleksi di media yang kugeluti sekarang.

Setelah magang tiga bulan dan kontrak sembilan bulan, akhirnya aku diangkat menjadi karyawan tetap. Namun di tengah kondisi krisis seperti sekarang, kantorku sedang tiarap. Ada sepuluhan wartawan magang yang kontraknya diperpanjang karena kantor belum berani mengangkat karyawan baru.

Bentuk tes-tes wartawan yang diadakan media kekinian

Tes wartawan sangat mudah. Calon reporter (carep) diberi waktu menulis artikel dari materi yang sudah ada. selain itu, carep juga harus melalui serangkaian tes psikologi umum, dan harus magang minimal 3 bulan.

Selama magang itulah produk kita dan kemampuan kita dinilai. Bukan hanya kemampuan menulis dan mencari angle berita, tapi juga kemampuan menembus narasumber, kedisiplinan menjalankan tugas, kemampuan mematuhi etika jurnalistik, dan termasuk juga kemampuan interpersonal di tempat kerja.

Kualifikasi menjadi wartawan

Khusus di Bisnis Indonesia, carep dengan kemampuan analitis sepertinya lebih diutamakan. Pemred pernah mengatakan bahwa tulisan kami harus lebih mudah dicerna, naratif, dan kalau bisa analitis.

Saran bagi para mahasiswa yang berimpian menjadi wartawan

Masuklah ke dunia jurnalistik selekas mungkin. apapun, jangan lihat medianya. sekali kamu berada di lingkaran kaum jurnalistik, kamu akan lebih mudah mendapat informasi penerimaan carep di media lain, yang mungkin lebih bonafid. kalau perlu, segeralah bergabung dengan milis seputar dunia jurnalistik.

Dan dua hal lagi; jangan kalah oleh harta dan rindukanlah mati sebagai pribadi yang terhormat, seperti dicontohkan Yesus, Muhammad, atau Sidharta.

Sekali kamu menerima amplop, 99 persen kemungkinan kamu akan menerima amplop selanjutnya. Sekali kamu anggap mati terhormat adalah lebih baik (daripada hidup menghinakan diri sendiri di bawah ketiak orang berduit), maka yakinlah kematian akan menjemput layaknya kereta yang membawa kita menuju kekasih yang selama ini dirindukan.

Mengenai IPK (indeks prestasi kumulatif), setahuku bukan menjadi penilaian utama. IPK 2,75 sudah sangat cukup untuk memenuhi syarat FORMAL menjadi jurnalis.

Semoga sukses.

3. Bambang Jatmiko (Bisnis Indonesia)

Terimakasih sebelumnya atas konsen Mas Anindityo membaca Bisnis Indonesia, khususnya tulisan saya. Sebelum di Bisnis Indonesia, saya juga kuliah dan ikut aktif di pers kampus. Saya dulu kuliah di Fisipol UGM lulus Agustus 2006, kemudian masuk ke Bisnis Indonesia tiga bulan setelahnya.

Sebenarnya nggak ada persyaratan yang detail untuk bisa masuk Bisnis Indonesia. Yang penting mau belajar ekonomi dan nggak alergi sama angka. Ada beberapa tes yang sebelumnya harus dilalui saat masuk Bisnis Indonesia, di antaranya tes psikologi, kesehatan, serta tes tulis dan wawancara.

Aku dulu pas masih sekolah dan kuliah memang ngebet jadi wartawan, dan Puji Tuhan, akhirnya kesampaian juga niatku itu.

Jadi wartawan itu jangan didasarkan pada semata-mata masalah mendapatkan uang, namun didasari pada niat untuk memberikan informasi yang bermanfaat kepada publik. Memang ada yang bilang gaji wartawan pas-pasan. Namun kalau Mas Anindityo jeli memilih media yang dimasuki, maka Mas Anindityo akan menemukan fakta bahwa wartawan pun juga bisa hidup sejahtera.

Di sinilah saya menyarankan Mas Anindityo perlu mengawali profesi menjadi wartawan dengan niat yang lurus, dan tidak hanya memikirkan uangnya. Uang akan datang sendiri sebagai konsekuensi bahwa kita telah melakukan pengabdian.

Selanjutnya, Mas Anindityo juga perlu untuk memilih dan memilah media yang dimasuki. Pilihlah media-media yang memberikan kesejahteraan yang cukup bagi wartawan. Puji Tuhan, Bisnis Indonesia adalah salah satu yang bisa memberikan kesejahteraan bagi para wartawannya.

Apabila Mas Anindityo ingin mencoba magang ataupun belajar jurnalistik ke Bisnis Indonesia, mungkin bisa mengirim surat magang ke HRD Bisnis Indonesia, Wisma Bisnis Indonesia Lt8. Jl. KH Mas Mansyur 12A, Karet Tengsin-Jakarta Pusat, 10220. Belakangan ini ada sejumlah mahasiswa yang magang di Bisnis, yang berasal dari Universitas Padjadjaran Bandung.

Mengenai IPK, sebagaimana yang ditentukan oleh banyak perusahaan dewasa ini, memang ada batasan minimal. Mungkin Mas Anin sudah banyak tahu bahwa IPK minimal yang disyaratkan perusahaan di level 2,75.

Kalaupun Mas Anin sudah mencatat IPK di posisi itu, saya kira Mas Anindityo sudah "aman". Namun demikian, untuk menjadi wartawan yang hebat sebenarnya bukan IPK yang menentukan, tapi karya-karya jurnalistik yang dihasilkan.

Banyak dari teman-teman wartawan di ibu kota mencatat IPK yang tinggi, namun mereka kurang tangguh dalam mencari berita. Demikian pula sebaliknya, banyak teman-teman yang IPK-nya pas-pasan, namun mereka menjadi wartawan yang hebat, dan tulisannya ditunggu-tunggu oleh pembaca.

Saya kira Mas Anindityo nggak usah berkecil hati dengan IPK yang dicatat itu. Banyak kesempatan yang bisa diraih untuk bisa menjadi wartawan yang hebat. Belajar menulis yang bagus dan setiap saat berusaha meningkatkan mutu tulisan itu jauh lebih memberi peluang yang besar untuk menjadi jurnalis handal, daripada hanya mengandalkan IPK.

Dan, di Bisnis Indonesia dan media-media besar lainnya, jauh lebih menghargai orang-orang yang selalu berusaha meningkatkan kemampuan jurnalismenya seperti itu.

4. Fita Indah Maulani (Bisnis Indonesia)

Salam Dityo,

Wah, sudah fokus nih jadi jurnalis. Pertanyaannya singkat dan jelas. Oke, saya jawab per poin ya, agar lebih jelas juga. Semoga bermanfaat.

Awal mula menjadi wartawan

Setelah lulus kuliah di salah satu universitas swasta di Jogja, saya kembali lagi ke Bandung. Di sana ada lowongan sebagai koresponden atau kontributor untuk salah satu harian ekonomi terbesar di Indonesia. Jujur awalnya saya ga ngerti apapun yang berbau ekonomi, dan stigma awal saya koran ekonomi, ya isinya ga jauh dari angka dan lingkup ekonomi.

Awal menjadi kontributor untuk wilayah Bandung, saya harus mengikuti tes membuat naskah berita. Bahannya tidak wawancara di lapangan, namun mengambil dari materi sebuah seminar. Selain tes membuat naskah, ada proses wawancara dengan salah seorang redpel (redaktur pelaksana) dari Jakarta. Lulus itu, saya diterima sebagai wartawan dengan jenjang karir sebagai kontributor Bisnis Indonesia.

Bentuk tes-tes wartawan yang diadakan media kekinian

Tes biasanya ada pengetahuan, bahasa Inggris, psikologi (sejauh mana IQ dan EQ), dan yang paling penting: kesehatan. Jadi wartawan ga sekedar menyorongkan recorder, namun banyak tempat liputan yang memerlukan kualitas fisik prima.

Kualifikasi menjadi wartawan

Standar sih, kemampuan menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bertutur, berbicara dengan bahasa Inggris, serta daya juang. Di harian Bisnis Indonesia tidak ada pelatihan khusus begi seorang jurnalis untuk mendalami isu sebuah bidang yang menjadi tanggung jawabnya, misal: transportasi dan logistik maupun teknologi informasi.

Namun, setiap jurnalis dituntut untuk langsung memahami isu yang ada di desk dia. Ketika ada rolling atau perputaran desk liputan, kita harus belajar lagi dari awal, banyak baca, tanya orang lain.

Saran bagi para mahasiswa yang berimpian menjadi wartawan

Latihan menulis dan berinteraksi dengan semua orang dari level manapun. Wartawan harus percaya diri menghadapi semua narasumber, mulai dari pedagang kaki lima, hingga menteri, presiden, duta besar negara lain, dll. Soal indeks
IPK (prestasi kumulatif), minimal 2,75. Yang penting kamu punya pengalaman di luar IPK yang bisa jadi nilai jual, seperti aktif di organisasi atau beberapa tulisan kamu yang pernah di muat di media massa.(*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Jangan Takut Negosiasi Gaji

BERITA

Semarang, 5 April 2009
Jangan Takut Negosiasi Gaji
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://workexposed.files.wordpress.com)

DALAM proses wawancara kerja, para pelamar tidak perlu takut menyebut jumlah gaji yang diinginkan karena hal ini justru dapat menjadi nilai tambah pelamar di mata pewawancara.

Demikian disampaikan Training Officer Oto Finance, Darmawan Ajari Purba, kepada peserta pembekalan pra-alumni yang diadakan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) FISIP Universitas Diponegoro Semarang, di gedung perpustakaan lantai 2 FISIP Undip, Sabtu (4/4).

Dia mengatakan, masalah gaji memang persoalan yang kompleks bagi pelamar, khususnya para fresh graduate. "Mau menyebut, takut dikira mata duitan. Kalau tidak, malah runyam di tengah-tengah masa kerja," tandas alumnus FISIP Undip Jurusan Administrasi Niaga lulusan tahun 2005 itu.

Dengan berani menyebutkan jumlah gaji yang diinginkan, tambahnya, pelamar akan mendapatkan kesan positif dari pewancara. Pelamar dianggap punya nilai lebih dan mengetahui kapasitas dan kemampuan dirinya sendiri.

Selain itu dia mengingatkan, pelamar harus memperhatikan bahasa tubuh (gesture) saat menjawab pertanyaan yang dilontarkan pewawancara. Pasalnya, kriteria lolos tidaknya seorang pelamar kadang amat subyektif. Di luar baik tidaknya jawaban yang dilontarkan, kesan pertama pelamar yang ditangkap pewawancara juga amat menentukan.

"Saat mewawancara pelamar, saya sangat mengharapkan jawaban yang lugas dan tidak 'mbulet'. Sikap tubuh pelamar yang gelisah mudah dikenali, seperti menggerak-gerakkan kakinya, memainkan kuku, atau nada suara lemah dan bergetar. Tipe pelamar seperti ini cepat tersingkir karena menyiratkan kurang percaya diri," ungkapnya mencontohkan.

Saat ini persaingan mencari kerja semakin ketat. Dia menceritakan ketika perusahaannya menggelar perekrutan karyawan model walk-in-interview dalam suatu bursa kerja di UGM Yogyakarta medio Maret 2009, pesertanya mencapai seribuan orang. Padahal saat itu pihaknya hanya mencari lima orang.

"Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya proses itu bagi pewawancara. Maka tak heran, seringkali yang lolos, yang paling terlihat beda. Artinya, meski isi jawabannya tak jauh beda dengan pelamar lain, orang ini menunjukkan karisma, antusiasme, dan dapat menjawab dengan lugas dan tenang," ujar pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, ini.

Menurut Ketua Penyelenggara, Oktavia Ruth Prawidiasari, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006, kegiatan ini bertujuan membekali para calon wisudawan sebelum memasuki persaingan mencari kerja yang kian ketat. "Selain kiat lolos wawancara kerja, mereka juga diajarkan bagaimana memilih bidang kerja yang sesuai, mencari lowongan, dan membuat surat lamaran dan CV yang efektif," katanya.

Sotar Tohab, calon wisudawan Ilmu Komunikasi, mengatakan kegiatan seperti ini amat bermanfaat baginya yang akan diwisuda periode April 2009 ini. Menjelang wisuda, dia mengaku belum tahu betul bagaimana menghadapi wawancara kerja. Juga bagaimana membuat surat lamaran dan CV yang efektif dan mampu memikat perusahaan.

"Selama ini saya hanya mencontoh yang dibuat teman atau dari buku. Meski banyak pilihan, saya masih belum yakin surat lamaran dan CV seperti apa yang benar-benar efektif meyakinkan perekrut," tuturnya. (*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...