02 Desember 2008

Demi Cinta Tak Bersyarat

SKETSA
Semarang, 2 Desember 2008
Demi Cinta Tak Bersyarat
Oleh Anindityo Wicaksono
Rata Penuh
(Sumber gambar: http://theloebizz.files.wordpress.com)

SABTU (30 Agustus 2008), dini hari sekitar pukul 02:00, Rhenald, kawan karib saya, tiba-tiba menelepon. Kebetulan saya belum tidur. Maklum malam minggu, tak terasa keasyikan di depan komputer hingga larut malam. Saya membaca aneka artikel belum terbaca yang saya unduh dari warnet.

Rhenald mengabari bahwa ayah dari Andi, kawan karib lama saya, meninggal. Seketika itu juga, saya mendadak lemas. Terkejut; getir dan tak percaya bercampuraduk. Saya memang terhitung lama tak berhubungan langsung atau bersua dengan Andi. Namun lama sebelum kabar dukacita ini, memang sudah ada slentingan teman-teman bahwa ayah Andi sedang sakit keras.

Sudah seminggu terakhir ini ayah Andi sakit-sakitan, bolak-balik opname di rumah sakit. Andi mengatakan, hal ini biasa, maklum ayahnya sudah tua. Umurnya 60-an tahun, hampir sama dengan ayah saya.

Ayah Andi, almarhum Pak Slamet, meninggal pukul 21:00 hari itu (Sabtu). Almarhum sempat tiga hari dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Solo. Penyakitnya, ketika kami tanyakan pada Andi, komplikasi antara jantung, asam murrat, dan entah apa lagi.

Sebagai anak yang berbakti dan masih tinggal serumah dengan orang tuanya, Andi sangat setia menunggui ayahnya selama sakit. Baik di rumah maupun ketika mulai diopname di rumah sakit. Ini kabar terakhir yang kami dengar dari Andi, ketika kami mengajaknya naik gunung Sindoro pada 22 Agustus 2008. Acara ini adalah tradisi ulang tahun komunitas pecinta alam kami.

Karena terlalu seringnya terlambat dan ijin kerja, BNI, tempat Andi bekerja, sampai-sampai suatu kali memberinya surat peringatan. Dia ditegur lantaran minimnya tingkat kehadiran kerja. Saya salut pada sikap Andi ini. Baginya, urusan kerjaan nomor dua. Keluarga, tempatnya dididik dan dibesarkan, harus diberi tempat terpenting dalam hidupnya.

Percuma punya segalanya jika tenyata orang-orang terdekat kita tak lagi diberi tempat di hati. Ini nilai budaya Jawa yang harus terus dia pegang teguh. Jika tidak, durhaka atau kurang ajar, kata banyak orang. Kita patut berbahagia jika berkesempatan untuk mendampingi orang-orang terdekat kita di saat-saat tersulitnya. Mereka akan merasakan betapa mereka dicintai dan dianggap penting bagi keluarganya.

Ikatan Kuat

Catopala Adventure Team, komunitas pecinta alam yang kami didirikan pada 22 Agutus 2005 memang punya sejarah panjang bersama. Komunitas pecinta alam dan persaudaraan ini--istilah kami--didirikan 10 orang mahasiswa UNDIP, rata-rata angkatan 2003 dan 2004, termasuk Andi. Pendeklarasiannya dilakukan di puncak Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah.

Di Catopala, saya dapat merasakan rasa persaudaraan yang begitu besar. Tiap orang peduli akan temannya, baik dalam suka maupun duka. Salah satu penguat persaudaraan kami adalah karena sudah seringnya kami bersama-sama dalam belajar memaknai kerasnya kehidupan di alam bebas. Memaknai bahwa ada begitu banyak pelajaran berharga yang tak pernah kita jumpai di kehidupan normal.

Kami pernah bersama-sama menjalani pendidikan dasar (diksar) di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mahasiswa Pecinta Alam (WAPEALA) UNDIP Semarang, Sebagai wadah pecinta alam universitas, UKM ini tersohor akan kerasnya diksarnya. Keras dalam hal fisik maupun mental. Kami mengakui betul anggapan ini. Selain kerasnya didikan di alam bebas, kekerasan fisik dari senior adalah hal yang kami tanggung bersama. Prosesnya lama, antara 6 bulan-1 tahun.

Itulah yang menguatkan kami ketika memutuskan untuk undur diri menjelang prosesi pelantikan. Artinya, batal menjadi anggota tetap dan mendapat nomor anggota. Kami sudah terlalu banyak melihat prinsip yang dilanggar yang tak lagi mampu kami tolerir.

Kekerasan fisik pada para peserta diksar yang wanita, contohnya. Para senior tak pernah membeda-bedakan jenis kelamin ketika menghukum kami, para peserta. Mereka, para wanita, harus turut ditempelengi dan menjalani hukuman fisik seperti push-up dan sit-up sebanyak para pria. Selain itu, unsur balas dendam antarangkatan sangat terasa. Emosi senior yang kerap meledak-ledak lahir akibat kebencian atas tekanan yang diberikan angkatan sebelumnya,

Walau begitu, serbacerita duka selama masa diksar ini kami sukuri bersama. Walau semuanya terasa menguji batas kesabaran kami semua, ternyata ia membawa dampak postif bagi kami: menempa ketahanan fisik, mental, dan pikiran.

Kami yang tadinya pemalu atau takut mengambil resiko, mengalami transformasi mental yangs signifikan. Bahkan, waktu itu, kami tak lagi takut apapun. Terlebih ketika menghadapi resiko hidup di alam bebas yang keras. Mental ini turut menyertai karakter kami hingga ke kehidupan sehari-hari.

Pasalnya, selama masa pendidikan, setiap detik adalah berharga. Kami dituntut untuk berani mengambil tantangan ketika kami sudah mempelajari resiko yang dapat terjadi. Kami juga jadi mampu mensukuri segala hal.

Pernah dalam satu diksar Survival, kami nyaris mati kelaparan. Selama tiga hari, kami dilepas-bebas di hutan tanpa persedian makanan yagn memadai. Artinya, kami hanya bergantung pada bekal sekadarnya: dua bungkus mi instan, air bersih seperempat botol, dan sebatang lilin.

Akibatnya, di hutan rimba, di mana sumber daya sangat terbatas, semua harus didapat dengan kerja keras. Kami harus pintar-pintar memanfaatkan segala peluang yang ada untuk bertahan hidup. Prinsip kami waktu itu: tetap tenang untuk berpikir atau mati!

Namun, dalam segala ujian fisik dan mental ini, diksar model begini mampu membentuk satu ikatan yang kuat di antara para peserta. Ilmu psikolog mengajarkan demikian. Ada ikatan psikologis kuat pada sekelompok orang yang telah menanggung kepedihan dan penderitaan bersama. Hal ini juga dapat dilihat pada besarnya solidaritas di antara taruna dan polisi di satu angkatan setelah menjalani pendidikan bersama.

Itulah mengapa hingga kini, meski perlahan mulai diserakkan oleh waktu dan tempat, kami masih terus saling peduli dan menjaga. Setidaknya dengan saling menanyakan kabar, merayakan ulang tahun, dan menghadiri acara wisuda.

Prinsip yang kami pegang: "Milikku adalah milikmu (kecuali istri, tentunya). Kesedihan yang kau rasakan, juga membuatku menangis, Saudara!"

Masjid Agung

Awalnya, kami berempat (saya, Simbah, Herman, Khusnul, dan Ali)--semuanya personel Catopala--merencanakan pergi ke Solo pagi-pagi sekali agar dapat turut serta menyertai prosesi pemakamannya. Namun, karena keterbatasan kendaraan dan kejadiannya yang mendadak membuat kami agak susah untuk saling berkordinasi, akhirnya keberangkatan kami terpisah menjadi dua "rombongan".

Rombongan pertama adalah pasangan Rhenald dan Herman bersama Khusnul yang bersolo-karir bersama motornya. Mereka berangkat duluan pada sekitar pukul 9:00. Lalu rombongan kedua, saya dan Ali menyusul bersama Nino dan Riska, pacarnya, pada pukul 11:00.

Saya, Ali, Nino, dan Riska tiba selang dua jam setelah rombongan pertama. Kami lalu ditemui rombongan pertama di Alun-alun utara Solo. Ternyata walau berangkat lebih pagi, mereka juga tak sempat ikut dalam prosesi pemakaman. Ketinggalan rombongan, kata mereka.

"Motor kami diparkir terlalu depan, hingga agak menyusahkan ketika mengeluarkannya. Lalu ketika rombongan mulai berangkat, kami kesulitan mengikuti karena sempat tertinggal barang 10 menit," kata Simbah berdalih. Maklum, tambah Herman, kami tak hapal jalan Solo.

"Tak enak rasanya menelpon Andi yang sedang sedih untuk menanyakan arah jalan ke pemakaman," kata mahasiswa semester delapan D3 Tehnik Perkapalan UNDIP ini. Ada-ada saja mereka ini.

"Ya iyalah, masa ya iya dong," kelakar saya yang disambut tawa berderai mereka.

Sembari menunggu rombongan kembali dari pemakaman, kami memutuskan untuk singgah di suatu tempat, beristirahat sejenak. Kebetulan juga banyak dari kami yang belum sholat ashar hari itu. Selain itu, hitung-hitung melihat-lihat kota Solo walau hanya sekilas.

Kami memutuskan sholat di Masjid Agung Surakarta yang terletak persis di depan Alun-alun Utara, diapit Pasar Klewer--salah satu pasar kain dan batik terkenal di Solo. Arsitektur masjid yang dipugar pada tahun 1987 ini sangat indah. Pertautan antara kebudayaan Islam dan Jawa kuno. Seluruh gedung masjid terdiri dari kayu kokoh yang diperkuat dengan pilar di seluruh sisi masjid.

Di sebelah kiri masjid ada sebuah menara. Kata salah seorang penjaga masjid, menara itu dibangun untuk menjadi tempat meneriakkan azan acapkali waktu sholat. Orang per orang bertugas bergantian untuk naik ke atas menara lalu meneriakkan azan keras-keras. Agar nyaring, dia bisa memakai corong dari kertas atau sekadar mencorongkan tangannya. "Zaman dahulu kan belum ada megaphone atau salon besar seperti sekarang," katanya.

Setelah beberapa saat bersantai di masjid, kami mencari makan. Karena adanya perbedaan keinginan, kegiatan makan ini juga dibagi menjadi dua kelompok. Rombongan pertama menjadi tetap bergabung menjadi kelompok pertama. Karena mereka mengaku belum sempat makan sejak tiba di Solo, mereka memutuskan untuk makan mi ayam. Kami, karena sudah sempat makan di perjalanan, memilih es campur untuk menghilangkan dahaga. Tempat keduanya - mi ayam dan es campur - terletak di areal parkiran masjid.

Seperti umumnya, es campur ini terbuat dari campuran aneka macam buah-buahan. Yang saya ingat, ada pepaya, nangka, apel, dan mangga. Untuk menambah segar, di atasnya ditaburi es serut. Ditambah susu kental di atas es serut, cita rasa segar dan manis es campur mampu memanjakan dahaga kami.

Harganya terhitung murah untuk kelas masjid tempat para pendatang luar kota sering mampir. Untuk seporsi mangkok besar, Anda cukup merogoh kocek sebesar Rp3.500. Karena bersebelahan dengan Pasar Klewer, suasana sore itu cukup ramai. Para pembeli dan kuli gendong yang mengangkut barang dagangan berkarung-karung kain, mewarnai suasana.

Setelah puas memanjakan perut, kami lalu meluncur ke rumah Andi. Karena hujan, kami sempat meneduh di bawah atap sebuah toko di pinggir jalan.

Ikon Keberhasilan

Sesampainya di rumah Andi, depan rumah Andi sudah terlihat lengang. Tak lagi terlihat lalu-lalang orang yang berarti. Kursi-kursi bekas tempat duduk para pelayat siang tadi, sudah diangkut kembali. Tenda kain portabel masih digelar di depan rumah.

Di ruangan dalam tempat menyambut para tamu, terlihat beberapa orang kerabat yang sedang mengrobrol santai dengan ibu Andi. Andi sedang tidur-tiduran ditemani Lina, pacarnya, di sebelahnya.

Begitu melihat kami datang, Lina segera membangunkan Andi untuk menyambut kami. "Mas, teman-temanmu sudah datang," katanya saat membangunkan Andi.

Andi terlihat kelelahan. Matanya menunjukkan dia kurang tidur. Dia masih mengenakan kemeja hitam-hitam yang dia pakai ketika ke makam. Andi terlihat cukup tegar. Mungkin karena dia pria, pikir saya. Dia segera bangkit menyambut dan menyalami kami satu per satu dengan genggaman salam dua kali ala anak pecinta alam.

Genggaman tangan Andi tetap kuat dan bersemangat, seperti biasanya. Tak ada berbeda dengan dulu. Suasana berkabung ternyata tak mengurangkan semangat yang dimilikinya. "Terima kasih, ya, sudah datang," kata lulusan Hukum UNDIP itu mantap. Namun pancaran matanya tak pernah bohong. Ia tetap jujur menyisakan ruang kesedihan yang mendalam. Pancaran dari jiwa yang menunjukkan rasa kehilangan satu orang yang disayang.

Saya tahu, jauh di dalam lubuk hatinya, Andi merasa amat kehilangan seorang figur ayah. Ini karena Andi adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Seluruh empat kakaknya yang sudah berkeluarga adalah perempuan. Seperti dalam budaya Jawa, pria seperti Andi yang sarjana lulusan Hukum dari universitas negeri terkemuka ini adalah kebanggan keluarga. Dia didapuk menjadi ikon keberhasilan keluarga.

Sebagai anak pria satu-satunya, Andi cukup dimanja oleh orangtuanya, terutama ibunya. Tak jarang ia membohongi orangutanya dengan meminta uang kiriman untuk tetek bengek kebutuhannya yang diktif. Untuk praktik lah, uang kuliah kurang lah, beli buku lah. Sebagai kawan-kawan karib sepermainannya, kami tak berani menegurnya ketika dia mengetaui perbuatan tak jujurnya ini.

Kami berpendirian, Andi adalah orang dewasa yang sudah tahu benar-salah. Namun belakangan saya sadari, tugas sahabat sejati adalah untuk mengingatkan ketika melihat sahabatnya melakukan kesalahan. Sejatinya, peran sahabat bukanlah untuk sekadar bersenang-senang bersama dan hidup dalam romantisme solidaritas bersama "satu untuk semua, semua untuk satu", seperti yang kami lakukan selama ini.

Di luar kebiasaan buruknya itu, di antara kami, Andi adalah salah satu orang yang berpengaruh. Dia pernah menjadi Ketua Catopala. Karena badannya yang paling besar di antara kami, dia paling sering berposisi menjadi "leader" dalam banyak perjalanan petualangan kami.

Dia juga paling jago menguasai navigasi darat yaitu tehnik untuk membaca dan menerjemahkan kordinat dalam peta tipografi pegunungan. Dia dulu mengambil spesialisasi divisi GH (gunung-hutan), ketika menjalani diksar di WAPEALA. Ekspedisi--tahap akhir diksar sebagai syarat untuk dilantik--yang dia pilih juga GH. Juli 2004, timnya yang terdiri dari empat orang (Andi, Rhenald, Rini, dan Siti) didaulat untuk ekspedisi pendakian ke gunung Arjuno dan Raung, keduanya di Jawa timur.

Tujuan Abadi

Selepas maghrib, kami (tepatnya mereka, saya tak ikut, karena kalau saya bacaanya surat Roma atau Kisah Para Rasul) sholat tharawih bersama dan Surat Yassin. Saya menunggu manis di pinggiran sambil bermain game Bounce di ponsel Ali. Di sebelah saya, Simbah--sudah mafhum, dia yang paling malas sholatnya--dengan pulasnya tidur. Alasannya tidak ikut cukup diterima: kecapekan.

Karena bertepatan dengan menjelang hari pertama puasa, peserta yang sholat tharawih dan yassinan bersama tak terlalu ramai. Jumlahnya tak mencapai 15 orang, termasuk seorang Imam yang didaulat berceramah. Selain rombongan kami, dari pengamatan saya, lainnya hanyalah keluarga inti yaitu para anak, menantu, dan cucu alamarhum.

Tiba-tiba, sesuatu melintas di pikiran saya bahwa kematian adalah manusiawi. Di akhir di kehidupan, akhirnya kita hanya akan menjadi seonggok daging yang dikubur bersama cacing-cacing di tanah. Kita semua, tanpa kecuali, akan dimakan cacing tanah ketika mati, kata Naga Bonar.

Kita bukan dihargai atas siapa kita atau karya-karya apa yang kita lakukan semasa hidup. Kita dihargai atas bagaimana kita melakukan sesuatu. Karakter apa yang telah kita ukir di ingatan orang-orang di sekeliling kita.

Seperti kata Dr Sid E. Willams dalam bukunya Pola Pikir Menuju Sukses, manusia adalah cinta itu sendiri. Kita didesain untuk memenuhi Tujuan Abadi kita yaitu cinta. Nabi dan orang suci dari segala abad dan tempat paling mengetahui hal ini.

Maka dari itu, katanya, perjalanan manusia yang diciptakan dari tanah untuk kembali ke tanah ini adalah untuk menemukan kebenaran nilai abadi ini di sepanjang hidup mereka. Perbedaannya adalah ada yang berhasil dan tidak untuk menemukan kebenaran ini sampai akhir hidupnya.

Dr. Sid mengatakan, sifat paling agung yang ada di dunia adalah cinta. Segala di dunia apapun itu tak terkecuali, selain cinta, tak akan bertahan. Ia akan digantikan yang lain ketika ia sirna. Tak ada yang baru di bawah matahari, kata Daud di Kitab Mazmur.

Cinta adalah Tujuan Abadi kita. Memang kita, manusia, hanyalah tanah yang makan dari tanah dan kembali menjadi tanah. Namun kita berbeda dengan binatang. Kita diberi napas oleh Sang Pencipta Kehidupan sendiri, TUHAN. Bahkan Kitab Kejadian menuliskan, kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Betapa hebat jaminan kehidupan ini jika kita mau memanfaatkannya.

Willams juga menjabarkan cara agar kita mampu mendengar kata hati yang menjadikan Cinta sebagai nahkoda hidup kita. Pedoman dan penentu arah dari segala-galanya. Ada tiga hal yang harus menjadi prinsip kita dalam mengejar Tujuan Abadi kita. Yaitu ... mencintai, melayani, dan memberi (kekayaan).

Saya ulangi: MENCINTAI, MELAYANI, dan MEMBERI. Bukan: MENCINTAI JIKA DICINTAI, MELAYANI JIKA DILAYANI, atau MEMBERI selama imbalannya sepadan. Kita harus mampu membedakan ini. Tujuan Abadi bukanlah cinta penuh syarat yang menuntut dan menimbang untung-rugi ketika melakukan sesuatu.

Paradigma baru ini harus menyatu dalam pikiran kita secara terus menerus. Hal ini, katanya, sangat berguna untuk mengasah kepekaan kita pada kesadaran mengejar Tujuan Abadi kita. Cinta harus menjadi nahkoda kita apapun dan bagaimanapun kondisinya, tanpa syarat.

Ingat, apapun dan bagaimanapun kondisinya; tanpa syarat!"

1 komentar:

  1. pengalaman yang tak terlupakan mas.. saya turut berbela sungkawa..

    BalasHapus