11 Desember 2008

Menyelami Perilaku Pembaca

JURNALISME
Semarang, 11 Desember 2008
Menyelami Perilaku Pembaca
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://photo.net)

PEMASARAN bukanlah urusan penjualan atau distribusi saja. Prosesnya, yang meliputi kegiatan praproduksi sampai pemenuhan kepuasan konsumen purnajual, mencakup juga tujuan perusahaan demi menciptakan kepuasan konsumen.

Demi memenangkan persaingan, pemahaman perilaku konsumen adalah akar persoalan yang tak dapat perusahaan pandang sebelah mata. Wajib hukumnya, perusahaan menjadi yang terdahulu melakukan analisa kesempatan pasar, pemenuhan marketing-mix, serta penyelarasan ulang strategi yang berkiblat pada perilaku konsumen. Mengapa demikian?

Kini, seiring terjadinya kemajuan di berbagai bidang, konsumen menjadi lebih selektif dalam membeli. Merka semakin jeli menilai atribut-atribut produk. Artinya, merka hanya akan memilih produk/merk yang memberikan kepuasan tertinggi, sesuai dengan jangkauan ekonominya.

Banyak faktor pengaruh yang turut andil jika kita hendak membicarakan perilaku konsumen, baik yang berasal dari diri sendiri (faktor internal), maupun luar (faktor eksternal). Faktor-faktor internal ini antara lain: motivasi, sikap, kepribadian, penghematan, dan proses belajar. Sedangkan faktor eksternal, di antaranya: faktor kebudayaan, keluarga, kelompok referensi, kelas sosial, demografi, dan ekonomi (James F. Engel, 1995: 10).

Perilaku konsumen sendiri, menurut James F. Engel dalam (dalam Fandy Tjiptono, 1997: 19), merupakan tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh, menggunakan, dan menentukan produk dan jasa. Juga termasuk di dalamnya, proses pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut.

Keputusan pembelian mempunyai beberapa pertimbangan, di antaranya: harga, keputusan tentang jenis produk, bentuk produk, merk, hingga ke baik-buruknya pelayanan yang dirasakannya.

Salah satu pertimbangan pokok konsumen yang tak kalah penting adalah kualitas produk. Menurut Philip Kotler (2004: 347), kualitas erat berkaitan dengan kemampuan suatu produk dalam melaksanakan fungsinya. Ia meliputi: daya tahan, kehandalan, ketepatan, kemudahan operasi dan perbaikan, serta atribut bernilai lainnya.

Berpromosi
Selain dengan mengawal terus-menerus kualitas produk, kegiatan berpromosi pun tak boleh perusahaan anggap sepele. Ia juga titik sentral kegiatan pemasaran. Tujuan berpromosi adalah meningkatkan kesadaran akan merk (brand) dan citra (image) masyarakat terhadap produk maupun perusahaannya.

Jika menghendaki produknya terserap pasar, perusahaan harus menggunakan berbagai media, dalam usaha mengkomunikasikan, memengaruhi pemikiran, dan mengajak konsumen dalam membeli produknya. Maka tak berlebihan jika ia disebut-sebut sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam kegiatan pemasaran.

Walaupun mutu sebuah barang baik, namun jika tanpa disertai promosi yang tepat, produk akan kurang dipahami konsumen. Kekurangpemahaman akan produk ini dapat menimbulkan banyak pertanyaan di benak calon pembeli: Sejauh mana produk ini bermanfaat bagi dirinya?

Menurut Fandy Tjiptono (1997: 219), promosi adalah aktivitas yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi/membujuk, dan/atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya. Dengannya, diharapkan pasar bersedia menerima, membeli, hingga terbentuk loyaitas akan produk yang ditawarkan.

Ada empat tujuan promosi, menurut Basu Swastha dan Irawan (1990: 353), yaitu: (1) memodifikasi tingkah laku, (2) memberitahu, (3) membujuk, dan (4) mengingatkan. Suatu promosi dikatakan berhasil hingga ia mampu memenuhi empat kriteria di atas. Ia harus dapat menumbuhkan kesadaran konsumen akan merk dan citra produk, untuk selanjutnya membujuk masyarakat membeli produknya.

Setelah konsumen minimal telah mengetahui manfaat produk, lantas terbujuk akan riuh-rendah keunggulan produk, intensitas penjualan diharapkan meningkat. Selaras dengan tercapainya tujuan perusahaan: meningkatkan laba.

Kini, di tengah pesatnya persaingan dunia usaha, segala sesuatu kian gencar dijadikan bahan jualan oleh para pelaku usaha. Demikan halnya dengan informasi. Ia bukan lagi sekadar kebutuhan.

Persis adagium information is power (penguasaan informasi adalah kekuatan), ia sudah menjadi komoditi strategis bagi khalayak. Beberapa penelitian bahkan menyebutkan, informasi menduduki urutan ke-10, setelah kesembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat (Totok Djuroto, 2000: 5).

Pers Indonesia
Walhasil, karena berprospek cerah, tak heran jika sejak akhir abad ke-20 informasi berubah menjadi komoditi bisnis yang menggiurkan. Para pelaku usaha berlomba-lomba menjadikan pers sebagai lembaga bisnis.

Usaha penerbitan surat kabar, misalnya, kini mulai dikelola secara profesional dengan berorientasi keuntungan (profit oriented). Ia menjadi percaturan bisnis yang menggairahkan.

Mengapa bisnis penerbitan pers kian tumbuh subur? Menurut McLuhan, dalam melaksanakan hajatnya, manusia membutuhkan media massa untuk memperoleh informasi, sekaligus berkomunikasi dengan lingkungannya (dalam Totok Djuroto, 2000: 97).

Maxwell E. McCombs dan Lee B. Becker dalam bukunya, Using Mass Communication Theory, menyebutkan tujuh sebab mengapa manusia membutuhkan media massa: (1) mengetahui apa yang penting dan perlu baginya, (2) menjadi bahan rujukan sebelum mengambil keputusan, (3) memperoleh informasi sebagai bahan pembahasan, (4) memberikan perasaan ikut serta dalam setiap kejadian, (5) memberikan penguatan atas pendapatnya, (6) mencari konfirmasi atas keputusan yang diambilnya, dan (7) memperoleh relaksasi dan hiburan (dalam Totok Djuroto, 2000: 97).

Di Indonesia, momentum kebangkitan industri pers bermula sejak terbitnya UU No 40/1999 tentang Pers, tepatnya pasca-tumbangnya Orde Baru. Bak cendawan di musim hujan, surat kabar lokal alias community newspaper mulai tumbuh di mana-mana. Maklum, sejak adanya maktub ini, pendirian lembaga pers tak lagi mengharuskan lisensi dari pemerintah. Asalkan berbadan hukum, siapa saja boleh mendirikan penerbitan pers.

Tak pelak, tak hanya tingkat provinsi, wilayah kabupaten hingga kecamatan pun kini memiliki surat kabarnya sendiri. Berlakunya otonomi-daerah pun ditengarai membidani lahirnya beragam surat kabar lokal di daerah. Menurut data Depkominfo, hingga tahun 2000 saja, surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang telah dikeluarkan pemeritah mencapai sekitar 1.800-2.000, sementara oplahnya mencapai 14 juta eksemplar (Totok Djuroto, 2000: 93).

Di era kekinian, penerbitan pers dituntut mumpuni membaca keinginan konsumen dalam mempertahankan ataupun memperluas ceruk pasarnya. Pengelola surat kabar harus terang merumuskan bauran pemasaran yang tepat untuk memenangkan publik pembaca. Sebab, perubahan besar dunia komunikasi informasi dan meningkatnya kaum terdidik, ikut andil dalam mendongkrak tuntutan kualitas yang lebih baik.

Harian SOLOPOS
Untuk itu, di tengah gencarnya persaingan surat kabar, khususnya di Jawa Tengah, Harian Umum (HU) SOLOPOS, surat kabar harian pagi yang terbit di Kota Surakarta, harus terus berusaha mempertahankan oplahnya.

Awalnya, persiapan penerbitan koran terbesar di eks-Karesidenan Surakarta ini mulai intensif sejak SIUPP turun pada 12 Agustus 1997. SOLOPOS, berdasarkan SIUPP-nya, disebutkan terbit 7 kali seminggu. Edisi Minggu sendiri, terbit pertama kali pada 28 Juni 1998.

Berbeda dengan koran-koran di daerah lain yang umumnya mengklaim diri sebagai koran nasional yang terbit di daerah, SOLOPOS justru menempatkan diri sebagai koran daerah. Pasalnya, koran yang diterbitkan PT. Aksara SOLOPOS ini ingin besar di daerah bersama-sama dinamika masyarakat Surakarta yang bakal menjadi kota internasional.

Selain kejumudan persaingan surat kabar di atas, terbentuknya masyarakat lilterasi di negeri ini nyatanya masih jauh dari harapan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 (Suara Merdeka, 15 Maret 2007), penduduk berusia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 persen, sedangkan tabloid/majalah sebesar 29,2 persen.

Untuk buku, ternyata jenis fiksi lebih digemari, yaitu sebesar 44,28 persen. Untuk nonfiksi, sebesar 21,07 persen. Data BPS tahun 2006 juga menunjukkan, masyarakat lebih memilih televisi sebagai sumber informasi, sebesar 85,9 persen. Sedangkan yang dari membaca, hanya 23,5 persen.

Di tengah tantangan ini, juga mengingat kian gencarnya persaingan surat kabar dewasa ini, penting bagi perusahaan untuk memahami perilaku konsumennya dalam memutuskan membeli.

Atas dasar latar belakang di atas, saat ini penulis sedang menjalankan penelitian untuk tahap akhir studi yang berjudul: “Pengaruh Promosi dan Kualitas Produk terhadap Keputusan Pembelian Harian Umum SOLOPOS di Kota Surakarta”.

DAFTAR PUSTAKA

Djuroto, Totok. 2000. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Engel, James F. , Roger D Blackwell, dan Paul W Miniard. 1995. Perilaku Konsumen, Jilid I Edisi 6 (alih bahasa: Drs. FX Budiyanto). Jakarta: Binarupa Aksara.

Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran, Jilid 1 Edisi 9 (Alih Bahasa: Hendra Teguh dan Rony A. Rusli). Jakarta: Prenhallindo.

Kotler, Philip dan Amstrong. 2004. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jilid I Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Rahcmadi, F. 1990. Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Swastha, Basu. Dan T. Hani Handoko. 1987. Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Liberty.

Tjiptono, Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Wibowo, Indiwan Seto Wahju. 2006. Dasar-dasar Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Pelatihan Jurnalistik Antara Press.

1 komentar:

  1. INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

    Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku

    yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku

    untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku

    Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya

    membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia

    negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap.

    Sayangnya moral sebagian hakim negara ini terlampau jauh terpuruk sesat dalam kebejatan.
    Quo vadis Hukum Indonesia?

    David
    (0274)9345675

    BalasHapus