18 Desember 2008

Harga Seorang Manusia

FILM
Semarang, 17 Desember 2008
Harga Seorang Manusia
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.teachwithmovies.org)

Judul: Les Miserables
Genre: Drama
Sutradara: Bille August
Naskah: Victor Hugo (novel), Rafael Yglesias (screenplay)
Pemain: Liam Neeson, Geoffrey Rush, Uma Thurman, Hans Matheson, Claire Danes
Produksi: Columbia/Tristar
Tanggal Rilis: 1 Mei 1998
Durasi: 128 menit

TAHUKAH anda berapa "harga" seorang manusia? Tanya saja Prof. Norweigh, seorang pakar kimia dan komputer yang pernah meneliti hal ini.

Jika diuangkan, tulisnya dalam sebuah jurnal kedokteran, total harga seluruh organ-organ tubuh manusia ternyata mencapai kurang lebih USD 85 milyar (http://semarbagong- petrukgareng.blogspot.com). Harga zat penumbuh rambut saja, dengan asumsi rata-rata kebutuhan sampai umur 50 tahun sebanyak 20 gram, sebesar USD 2 juta per gramnya.

Tunggu dulu, ini baru organ tubuh yang kasat mata; belum nyawa dan jiwa. Tentu bisa berjuta-juta kali lipatnya jika turut dikalkulasikan.

Namun, seringkali kita lihat betapa banyaknya orang-orang yang tak dianggap atau disingkirkan dari lingkungannya. Mereka yang diketahui melakukan pelanggaran atau kesalahan di masa lalu akan selamanya dianggap tak berharga oleh masyarakat.

Lihat juga perlakuan masyarakat kepada mantan narapidana yang kembali di lingkungannya. Kehadiran mereka kadang sudah menimbulkan rasa curiga dan tak aman. Meski mengaku sudah bertobat, tetap saja mereka susah mendapat tempat di masyarakat.

"Pembuat kejahatan itu watak, mustahil untuk merubahnya," begitu kira-kira yang terpatri dalam masyarakat model begini.

Namun, bukan begitu yang diteladankan Uskup Bienvenu Myriel dalam film Les Miserables (1998). Dalam film besutan sutradara Bille August ini, Myriel menunjukkan apa itu pengampunan tiada batas. Dia mengampuni Jean Valjean (Liam Neeson), seorang mantan narapidana yang mencuri di rumahnya ketika diberi tumpangan olehnya.

Ketika Jean tertangkap polisi dan dibawa ke rumahnya keesokan harinya, Uskup Myriel justru membelanya. "Oh, tidak Pak ... tidak. Dia tidak mencuri. Sayalah yang memberikan sendiri barang-barang itu kepadanya," kata Myriel kepada para polisi.

Jean, yang sungguh terheran-heran pada apa yang didengarnya ini, bertanya, "Mengapa kau lakukan itu, setelah apa yang kulakukan padamu?"

Dengan penuh kasih, bahkan sambil menambahkan lagi barang-barang berharga lain miliknya yang tak sempat "terbawa" Jean, Myriel berkata: "Kemarin kamu berjanji akan menjadi seorang manusia baru. Hari ini aku telah membeli jiwamu dengan perak ini, dan aku ingin kamu menepati janjimu. Aku telah ditebus Bapa, sehingga kamu pun juga ditebus oleh-Nya."

Kehidupan baru

Film ini berdasarkan novel Victor Hugo (1802 – 1885) terbitan 1862 dengan judul yang sama. Ia membawakan pesan moral yang teramat dalam: Betapa besarnya kuasa pengampunan mengubah kehidupan.

Ia hendak mengisahkan kebutuhan hakiki manusia untuk dihargai dan diterima apa adanya.

Dikisahkan bagaimana pengampunan tulus yang diberikan Uskup Myriel mampu mengubah drastis kehidupan Jean 180 derajat. Dari seorang pencuri roti, Jean berhasil menjadi pengusaha kaya raya di sebuah kota kecil bernama Vigau, tempatnya melanjutkan kehidupan barunya.

Karena dikenal bijaksana, sederhana, saleh, dan memiliki kepedulian tinggi, ia pun dipercaya menjadi walikota. Ia disayangi segenap rakyatnya.

Sang Jean "baru" ini terus menunjukkan kebaikan-kebaikan hatinya kepada sesama. Suatu waktu, Jean, sang Walikota Vigau, tak segan-segan turun ke jalan untuk menolong seorang pengendara kereta kuda yang terperosok lubang jalan.

Di lain waktu, dia memaafkan Fantine (Uma Thurman), seorang pelacur yang tertangkap polisi. Fantine adalah mantan buruh pabriknya yang terpaksa menjajakan dirinya karena dipecat setelah diketahui punya anak di luar nikah.

Jean bersedia merawatnya yang saat itu sedang sakit keras. Ia pun menepati komitmennya untuk mengasuh anak Fantine, Cosette (Claire Danes), ketika Fantine tiada, hingga dewasa.

Kehidupan baru Jean ini berubah sejak seorang inspektur polisi baru bernama Javert (Geoffrey Rush) mulai bertugas di kota itu. Javert adalah mantan pemimpin kerja paksa para tahanan di mana Jean menjalani masa hukumannya.

Wajah Jean yang familiar baginya membuatnya curiga. Setelah terbukti benar--Jean adalah buronan yang selama ini dicarinya--kisah pengejaran tiada henti pun dimulai.

Javert digambarkan sebagai orang yang tak punya belas kasihan. Baginya, seseorang dengan catatan masa lalu buruk, akan selamanya buruk. Betapa pun baiknya orang itu berubah.

Sampai akhirnya, Javert frustasi dan memilih untuk bunuh diri. Dia merasa hidupnya tak pantas lagi ketika mengetahui Jean yang begitu dibencinya justru memaafkannya. Jean bahkan dengan sukarela menyerahkan dirinya ditangkap.

Cermin diri

Novelnya sendiri memang sensasional pada jamannya. Ia sudah dialihbahasakan di puluhan negara. Ia melambungkan nama Victor Hugo--yang juga pengarang The Hunchback of Notredamme--sebagai penulis dengan karya-karya yang penuh pesan moral dan kemanusiaan.

Versi terjemahan Indonesia hadir pada 2007 lewat penerbit Bentang Pustaka. Kisahnya yang mengambil setting pada kurun revolusi Perancis ini komplit. Ada konflik-percintaan, moral, kemanusiaan, pengkhianatan, hingga penggambaran arsitektural Eropa klasik. Les Miserables, yang berarti "Yang Menderita", selesai ditulis saat Victor Hugo berusia 60 tahun.

Maka tak heran jika pesona kisahnya membuat ia ramai-ramai diadaptasi ke berbagai bentuk karya lain, mulai dari drama musik, sandiwara radio, film, film animasi, bahkan sampai game komputer. Mulai dari 1907 hingga 2008, terhitung 52 film yang mengangkat kisah novel ini.

Ya, kisah Jean memang istimewa. Film--atau novelnya--ini hendaknya membuat kita bercermin diri: Maukah kita mengampuni orang lain?

Seperti teladan Uskup Myriel, mengampuni berarti "mengubahkan". Seseorang yang tak diampuni akan selalu berkubang dalam kesalahannya. Ada tertulis: Bukan tugas kita untuk menghakimi, namun sudah ditetapkan-Nya Hari Penghakiman bagi setiap kita menurut segala perbuatan.

Nah, sekarang pertanyaannya, apa bedanya mengampuni dengan menghakimi? Mengampuni adalah ketika seorang maling tertangkap tangan merampok di rumah Anda, Anda lalu berkata: "Saya memaafkanmu. Pergilah dan janganlah berbuat dosa lagi!" Anda mengijinkannya berdamai dengan jiwa dan TUHAN-nya.

Sedangkan menghakimi, adalah saat ada maling tertangkap di lingkungan tempat tinggal Anda; Anda merasa turut dirugikan, lalu turut menggebuki bersama warga.

Belum puas atau untuk membuatnya lebih jera, anda naik jabatan--dari penggebuk menjadi provokator--lalu berteriak: "Bakar ... bakar ... bakar!"

0 komentar:

Posting Komentar