21 Desember 2008

Buah Kecermatan Malaysia

KOLOM
Semarang, 20 Desember 2008
Buah Kecermatan Malaysia
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://governing.typepad.com)

PEMIMPIN yang baik adalah sosok yang diharapkan selalu hadir pada serba pergulatan masyarakat. Dia merupakan penjelmaan semangat Ki Hajar Dewantara yang masyhur: Ing Ngarso Mangun Karso, Ing Madya Sing Tuladha, Tut Wuri Handayani (dari depan memimpin; dari tengah memberikan teladan; dari belakang mendukung).

Namun pemimpin model begini nampaknya masih jauh sekali dari negeri ini. Lihat saja figur Presiden SBY yang terlihat terlalu mendewakan simpati masyarkat. Dia hilang di kala pengeluaran keputusan yang memberatkan, namun terdepan ketika menelurkan kebijakan populis.

Mari kita cermati. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 pada medio Mei 2008, SBY sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Hanya para menterinya yang hadir.

Sebaliknya, pada pengumuman turunnya harga BBM (per 1 Desember dan 15 Desember 2008), beliau hadir. Bahkan dia menjadi yang terdahulu mengumumkannya di depan pers.

Melihat keganjilan pola kepemimpinan begini, tak pelak kini beredar isu bahwa BBM tak ubahnya komoditas politik. Apalagi kini mendekati pemilu 2009. Kebijakan ini dianggap sekadar bagian dari politik pencitraan yang dibangun kader Partai Demokrat ini demi mendulang dukungan rakyat.

Tarif Angkutan

Realitas di lapangan pun menunjukkan bahwa penurunan ini nyatanya tidak terlalu berimbas positif bagi perekonomian. Harga-harga kebutuhan relatif stagnan karena biaya transportasi publik belum juga turun.

Penyebabnya apalagi kalau bukan Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor) yang enggan menurunkan tarif angkutan. Jika dulu alasan kenaikan tarif karena BBM adalah penyumbang terbesar biaya produksi, kini ketika turun, dalih persoalan bergeser: biaya suku cadang, pungli, dan retribusi yang membengkak.

Hemat penulis, situasi ini terjadi akibat pemerintah masih tanggung-tanggung berkeputusan. Sebagai regulator, menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mendorong para pengusaha angkutan menurunkan tarifnya. Jika tidak, tidak ada dalam kamus mereka menurunkan tarif yang sudah terlanjur naik.

Kondisi ini realistis. Sebagai lembaga bisnis, prinsip utama mereka adalah meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Berkurangnya pos pengeluaran BBM pascapenurunan harga mereka jadikan bonus penghasilan dalam kalkulasi tarif yang sudah terlanjur naik.

Selain itu, sebenarnya, menurut hitungan ekonomisnya, pemerintah sudah dapat menurunkan minyak ke harga semula pada Mei 2008, di mana harga premium Rp4.500 per liternya. Pasalnya, kini harga minyak dunia sudah berkurang hingga lebih dari 50 persen (150 dolar AS menjadi 40 dolar AS per barel).

Namun sayang, momentum itu diabaikan pemerintah. Mereka lebih peduli menggenjot popularitas dengan menurunkan harga sedikit demi sedikit.

Akibatnya, nasib rakyat tetap saja terombang-ambing. Niatan baik peningkatan daya beli masyarakat tak dapat berbicara banyak sepanjang harga aneka kebutuhan pokok masih berkutat pada angka lama.

Kebijakan Malaysia

Pemerintah sebaiknya belajar dari Malaysia. Upaya negara tetangga dalam menurunkan beban rakyatnya tidak hanya terbatas menurunkan harga BBM--hingga empat kali--tetapi juga harga barang kebutuhan lainnya, terutama kebutuhan pokok.

Saat harga minyak dunia melambung hingga 138 dolar AS per barel per 5 Juni 2008, pemerintah Malaysia juga tak punya pilihan lain selain menaikkan harga BBM. Namun, keunggulan mereka adalah pada kecermatan membaca pergerakan harga minyak yang menunjukkan kecenderungan turun.

Selang dua bulan, begitu harga minyak turun mendekati 100 dolar AS per barel, Malaysia cepat-cepat menurunkan harga BBM. Begitu juga saat harga minyak anjlok hingga 80 dolar AS per barel. Total, pemerintah Malaysia menurunkan harga BBM sebanyak empat kali (2 Agustus, 24 September, 15 Oktober, dan 31 Oktober 2008).

Selain kecermatan membaca pergerakan harga minyak, Menteri Perdagangan Malaysia sekaligus berperan sebagai penjamin perlindungan konsumen. Demi mengusahakan iklim usaha yang kondusif, dia gencar melobi para pengusaha supermarket besar.

Langkahnya terbukti tepat sasaran. Supermarket-supermarket yang jejaringnya tersebar di seluruh negara bagian ini--seperti Mydin, Carrefour dan Jusco--mau menurunkan harga-harga kebutuhan sehari-hari.

Bahkan, supermarket Tesco, yang memiliki 26 supermarket di seluruh negara bagian Malaysia, bersedia menurunkan harga hingga 47 persen dari 50 jenis barang kebutuhan sehari-hari, seperti ikan, daging, ayam, beras, dan sayur-sayuran (Antara News, 31 Oktober 2008).

Belajar dari Malaysia, pemerintah harus proaktif dan tegas mengawasi perekonomian domestik. Kita berharap, wacana politisasi harga BBM ini hanyalah kecurigaan yang tak terbukti. Semoga ini hanyalah bagian dari intrik para pesaing incumbent saat ini,
terutama menjelang pemilu 2009.

Jika benar-benar pro-rakyat, pemerintah harus serius mengurangi beban hidup yang menghimpit masyarakat. Urusan peningkatan daya beli khalayak tidak bisa dilepaskan begitu saja pada mekanisme pasar. Jika begitu, yakinlah, perekonomian rakyat akan selamanya kalah digerus roda kapitalisme.

2 komentar:

  1. Sekarang BBM turun, tapi barang2 udah terlanjur naik, jadi tidak banyak membantu. Salam. Apa kabar? lama g berkunjung.

    BalasHapus
  2. I like your design, wonderfull. Please visit my blog too.

    BalasHapus