07 Desember 2008

Buah yang Jatuh Tak Jauh Dari Pohon

SKETSA
Semarang, 7 Desember 2008
Buah yang Jatuh Tak Jauh Dari Pohon
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.berani.co.id)

DUA MINGGU lalu saya habis berkunjung ke rumah kakek-nenek dari pihak ibu, di Kab. Wonogiri, Jawa Tengah. Dari Semarang, perjalanan memakan waktu sekitar empat jam jika ditempuh darat.

Seperti biasa, sebelum berangkat, saya lebih dulu mengerjakan berbagai urusan yang perlu dipersiapkan: membeli buah tangan dan mengabari kedatangan saya ini via telepon kepada mereka. Kakek sangat senang ketika mendengar rencana kedatangan saya kali ini. Maklum, kira-kira sudah empat--lima bulan saya belum mengunjungi mereka.

Kali ini saya membawa oleh-oleh Lunpia "Gang Lombok", makanan khas kebanggaan warga Semarang. Makanan ini terbuat dari rebung (bambu muda) yang digoreng dalam lapisan tepung terigu. Isi dalamnya bisa beraneka ragam. Namun, umumnya isi khas Lunpia Semarang adalah telur, ayam, udang, dan aneka sayuran.

Lunpia "Gang Lombok" terletak di Gang Lombok, Johar, Semarang. Lokasinya persis di depan replika Kapal Perang Cheng Ho di pinggiran Kali Semarang.

Kiosnya sederhana. Meski hanya berukuran sekitar 2x4 meter, ada nilai historis yang membuat lunpia di sini bercita rasa khas dan terus ramai terutama di masa-masa liburan.

Ini adalah kios lunpia pertama di Semarang. Bahkan, bisa dikatakan tempat ini adalah cikal bakal lunpia yang kini marak ditemui di kawasan Pusat Oleh-oleh Jl Pandanaran maupun Jalan Mataram Semarang.

Rasanya pun berbeda dibanding banyak lumpia di kawasan Pandanaran maupun Matraman. Lumpia di sini tidak berbau rebung yang menyengat seperti ditemui di tempat lain. Makanya jangan kaget jika harga lunpia di sini dijual cukup mahal, bahkan paling mahal di antara penjual lain di Semarang. Lunpia basah atau kering dijual Rp9 ribu per biji.

Namun dijamin kita tidak akan menyesal membelinya, apalagi sebagai oleh-oleh bagi sanak saudara tercinta. Bumbu lunpia di sini pun spesial. Terbuat dari sejenis kanji yang dicampur bumbu masakan, ditambah cita rasa ikan pihi. Hal ini yang membuat citarasa lumpia yang legit dan manis kulitnya.

Setelah segala sesuatunya selesai saya urus, saya segera berangkat ke Java Mal, titik perhentian bus luar kota di Jalan Mataram Semarang. Cukup sepi hari itu, maklum waktu itu hari Selasa. Siang pula.

Mantan Kawedanan

Kakek saat ini berusia 75 tahun. Sebagai orang tua, fisik kakek memang masih terbilang cukup sehat. Terakhir kali saya mengunjungi mereka, fisiknya masih terlihat bugar, meski saat ini beliau sudah jarang bersepeda dan jogging, kebiasaannya ketika muda.

Belakangan saya baru tahu jika beliau adalah mantan "Kawedanan" Kabupaten Wonogiri. Di masa kekuasaan Orba, khusus di Provinsi Jateng, ada istilah karesidenan dalam hirarki wilayah administratif pemerintahan daerah. Dulu, gubernur tidak membawahi langsung bupati/walikota seperti sekarang. Ia masih membawahi karesiden yang mengepalai sebuah karesidenan.

Karesidenan adalah kumpulan beberapa kabupaten/kota yang berdekatan. Jadi, dapat distilahkan karesiden adalah koordinator para bupati/walikota. Sedangkan kawedanan adalah jabatan struktural di bawah bupati yang membawahi beberapa kecamatan. Koordinator camat, tepatnya. Jabatan itu dihapuskan setelah kejatuhan Soeharto. Penghapusan ini akibat perampingan jabatan yang marak di era pascareformasi.

Nenek saya saat ini berusia 70 tahun. Walau sudah berada di usia senja, nenek masih saja wanita yang aktif hingga kini. Dulu beliau pernah menjabat anggota DPRD untuk Daerah Tingkat II Kabupaten Wonogiri dari Partai Golkar.

Jabatan yang saya rasa mengganjal di telinga. Mengapa? Hingga kini, saya mengagung-agungkan semangat anti-Orba dan menjadikan Golkar sebagai musuh bersama. Ternyata saya mempunyai seorang nenek salah seorang anggota legislatif dari Golkar. Ha-ha-ha ... ironis, bukan?

Namun saya salut dan bangga dengan aktualisasi diri beliau. Penuh semangat dan menjiwai sekali perannya sebagai orang partai. Di masa berbagai kampanye terutama menjelang masa pemilu, beliau tampak tak lelah berkeliling dari daerah ke daerah melakukan sosialisasi dan kampanye aktif.

Yang mengejutkan saya dan baru saya ketahui belakangan, adalah beliau kini menduduki jabatan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Kab Wonogiri. Beliau juga masuk dalam tim verifikasi bakal calon (Balon) Caleg Partai Golkar.

Tampaknya sifat-sifatnya yang senantiasa aktif dan luwes bergaul itu menurun pada anak-anaknya, terutama ibu saya.

Ibu saya adalah wanita aktif yang gemar ikut berbagai kegiatan. Dari Dharma Wanita (di masa bapak aktif menjadi pegawai Bank Dagang Negara), kegiatan PKK perumahan, hingga kini aktif menggeluti berbagai komisi pelayanan di gereja.

Tak mau kalah, silsilah ini secara tak langsung turut membentuk saya dan kakak perempuan saya untuk tumbuh dengan minat pada berbagai kegiatan dan organisasi. Kakak saya, misalnya, sedari SMP gemar berorganisasi di OSIS. Lalu sejak kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta hingga lulus, ia yang kini bekerja di bank swasta itu aktif di kepemudaan gereja.

Saya pun, meski di masa sekolah dulu tak terlalu gemar berorganisasi, kini terasa kecanduan berkegiatan. Terutama sejak menjadi mahasiswa. Dari Mapala, Tim SAR Daerah, Senat Mahasiswa, himpunan jurusan, teater, hingga kini rajin mengikuti berbagai seminar dan diskusi.

Bisa jadi sifat saya ini bawaan dari nenek saya. Tampaknya, bolehlah saya mengukir pepatah ini menjadi cerminan hidup: "Buah jatuh tidak jauh-jauh dari pohonnya".

0 komentar:

Posting Komentar