15 Desember 2008

Romantisme Si Mozart Cilik

FILM
Semarang, 14 Desember 2008
Romantisme Si Mozart Cilik
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://thechristianmanifesto.wordpress.com)

Judul: August Rush (2007)
Genre: Drama Musikal
Pemeran: Freddie Highmore, Jonathan Rhys Meyers, Kerri Russel, Terrence Howard, Robin Williams, Mykelti Williamson
Sutradara: Kirsten Sheridan (Irlandia)
Durasi: 100 Menit
Produksi: Warner Bros
Tanggal Rilis: 21 November 2007 (USA), Januari 2008 (Blitz Megaplex)

MUSIK adalah bahasa universal; pemersatu yang mampu melintasi segala perbedaan. Ia agung, cara yang diyakini manusia sebagai alat pengakuan eksistensi di luar dirinya. Maka tak heran jika musik disebut-sebut sebagai salah satu produk kebudayaan tertua manusia.

Dalam bukunya, Multiple Intelligence, Howard Gardner pun menyebutkan bahwa kecerdasan musikal adalah satu dari tujuh tipe kecerdasan yang menjadi keunikan manusia (www.swopnet.com), selain linguistik, matematik, visual/spasial, kinestetika, intrapersonal, dan interpersonal. Bakat-bakat bawaan sejak lahir ini kini digunakan sebagai penentuan pola pendidikan seseorang.

Kecerdasan musikal, menurut dosen psikologi Harvard School of Education ini, ialah kecerdasan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk musik dan suara. Ciri-cirinya, yakni peka pada nada, dapat dengan mudah mengikuti irama, dan mampu mendengar musik dengan tingkat ketajaman lebih.

Dalam film August Rush (2007), adalah Evan Taylor (Freddie Highmore), seorang anak 12 tahun yang jenius dalam kecerdasan musikalnya. Darah musiknya ini berasal dari kedua orang tuanya yang sama-sama pemusik, Louis Connelly (Jonathan Rhys Meyers), vokalis-gitaris sebuah band rock, dan Lyla Novacek (Kerri Russel), seorang pemain cello berbakat di New York Philharmonic Orchestra.

Darah musik ini membuatnya tumbuh dengan kepekaan luar biasa dalam mengenali ragam nada dan bebunyian di sekelilingnya. Namun nasib berbicara lain. Ternyata talentanya yang luar biasa tak seiring dengan nasibnya. Sejak bayi, Evan, yang lahir dari hasil hubungan di luar nikah ini, diasingkan ke panti asuhan oleh ayah sang ibu yang tak menginginkan kehadirannya.

Namun, meski hidup terpisah dari orang tuanya sejak lahir, jiwa musik ini tetap mengakar dalam dirinya. Di panti asuhan, dia selalu terpukau mendengarkan suara-suara apa saja di sekitarnya. Mulai dari desiran angin, lonceng angin di kamarnya, hingga irama kibasan rumput.

"Musik ada di sekitar kita. Kita hanya perlu mendengarkan," katanya.

New York

Petualangannya dalam jibaku pencarian orang tuanya membawa Evan ke New York. Di sana, bakat musiknya semakin terasah sejak dia bergabung dalam grup pemusik jalanan pimpinan Wizard Wallace (Robin Williams).

Evan, yang kemudian diberi nama "August Rush" oleh Wizard, mulai sering mengamen di jalanan menggunakan gitar pemberian Wizard.

Bakat yang besar dalam bermusik membuat permainan Evan mampu memukau banyak orang. Meski belum tahu kunci-kunci dasar gitar, dia bahkan sudah dapat memperagakan beragam teknik sulit dalam gitar: tapping, gitar-perkusi, dan harmonik.

"Kadang-kadang, dunia mencoba menjauhkan musik darimu. Tetapi, aku percaya pada musik sama seperti dongeng bagi banyak orang. Aku yakin, apa yang kudengar ini berasal dari ibu dan ayahku. Mungkin nada demi nada ini sama dengan apa yang mereka dengar di malam mereka bertemu," katanya dalam narasi pembuka film.

Kejadian demi kejadian semakin mempertemukannya pada puncak pencapaiannya. Bahkan, lewat pertemuannya dengan seorang pendeta yang menyaksikannya memainkan organ klasik nan rumit di gereja, Evan disekolahkan ke The Julliard School, sekolah musik termasyhur di New York.

Di sana, si "Mozart kecil" ini mampu menggubah sebuah komposisi luar biasa, perpaduan orkestra dengan beragam alat dan bunyi-bunyian, seperti gelas, gitar, dan lonceng-lonceng angin. Seperti mimpi-mimpinya, kemampuan musiknya inilah yang akhirnya mempertemukannya kembali dengan kedua orang tuanya.

Musik latar

Film drama-keluarga musikal besutan sutradara Kirsten Sheridan (Irlandia) ini benar-benar dapat memanjakan telinga para pecinta musik. Para penggubah musik latarnya, Hans Zimmer dan Mark Mancina, patut kita acungi jempol. Mereka mampu menghadirkan ragam musik yang tersulam rapi dengan jalinan adegan demi adegan film.

Genre musik yang dipakai lengkap. Mulai dari techno, klasik, rock, hingga harmonisasi gitar--adegan ketika August Rush mengamen di jalan--yang luar biasa.

Akting para pemainnya pun patut mendapat apresiasi. Bahkan, Freddie Highmore (Charlie and the Chocolate Factory, Arthur and the Minimoys), aktor cilik pemeran Evan Taylor, disebut-sebut sebagai pesaing terberat permainan brilian aktor cilik Haley Joel Osment (The Sixth Sense).

Permainan Jonathan Rhys Meyers sebagai Louis Connely pun tak kalah apiknya. Ia mampu bermain natural; menghidupkan baik sisi romantisme maupun musikalitas sang rocker melankolis ini.

Meski minim dialog--syarat umum sebuah drama musikal--bukan berarti film ini miskin nilai. Dominasi musik hampir di sepanjang film tak membuatnya ompong dalam dialog-dialog yang bernas. Pesona dialog para tokohnya patut menjadi bahan renungan, terutama yang berkaitan dengan filosofi musik.

Lihat saja kata-kata Louis ketika bertemu August Rush di jalanan ini: "Kamu harus mencintai musik lebih dari makanan. Lebih dari hidup; lebih dari dirimu sendiri! Kamu tak boleh berhenti dari musik apapun yang terjadi. Karena tiap kali hal-hal buruk terjadi, musik adalah tempatmu melarikan diri dan membiarkannya berlalu."

Satu-satunya kekurangan film ini adalah pada plot cerita yang acapkali melompat-lompat. Sang penulis naskah terlalu memaksakan kisahnya menjadi "sempurna".

Ia terlalu terbuai menjadikannya berakhir "happy-ending", namun lupa memperhatikan kesesuaian jalinan adegan demi adegan. Ada terlalu banyak kebetulan-kebetulan yang dipaksakan menjembatani scene demi scene-nya.

Namun, setitik kekurangan itu tak terlalu mengurangi keasyikan menontonnya. Ceritanya yang terlihat tidak sinkron di beberapa scene masih dapat tertutupi aspek lain, yaitu kualitas para aktornya, dan--tentu saja--musik latarnya. Sesuai genrenya, film ini sukses membangkitkan kembali romantisme musik.

Nah, jika masih ada di antara Anda yang hingga kini belum bisa menikmati musik, dengar saja definisi musik menurut Wizard ini:

"Anugerah TUHAN yang mengingatkan kita bahwa ada hal lain di luar kita di alam semesta ini. Keharmonisan yang menghubungkan semua makhluk hidup di mana pun, hingga bintang-bintang sekalipun."
* * *
"Diam ... bisakah kau mendengarnya?
Musik; aku bisa mendengarnya di mana-mana.
Dalam angin, di udara, dalam cahaya; dia ada di mana-mana.

Yang kamu perlu lakukan hanyalah membuka dirimu
dan mendengarkan
."

(August Rush)

1 komentar: