08 Mei 2009

Menuju Jurnalisme Berkualitas

JURNALISME
Semarang, 7 Mei 2009
Menuju Jurnalisme Berkualitas
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.lspp.org)

DEMI menghadirkan sebuah karya jurnalistik berkualitas yang memihak kepentingan publik, terkadang seorang jurnalis harus berani menempuh risiko dengan menabrak kaidah-kaidah baku jurnalistik. Semisal menggunakan identitas palsu, alat perekam tersembunyi, atau dengan tidak meminta persetujuan terlebih dahulu pada obyek peliputan.

Demikian disampaikan Darussalam Burhanan, pemenang Mochtar Lubis Award 2008 Kategori Liputan Mendalam Jurnalisme Televisi, dalam diskusi dan bedah buku Menuju Jurnalisme Berkualitas Kumpulan Karya Finalis dan Pemenang Mochtar Lubis Award 2008 di perpustakaan FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Rabu (6/5).

Kegiatan ini diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Komunikasi FISIP Undip bekerjasama dengan Open Society Institute, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dan Mochtar Lubis Award. Pembicara lainnya, mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Undip Andina Dian Dwifatma dengan moderator staf pengajar FISIP Undip Triyono Lukmantoro.

Menurut Darussalam, karya investigatif hadir dari sebuah proses yang panjang dan penuh resiko. Hal ini karena obyek investigasi merupakan ruang yang ditutup rapat-rapat dan biasanya dilakukan secara tersembunyi.

"Di sinilah peran jurnalis investigasi untuk berani menanggung risiko demi menyingkapkan kebenaran yang menjadi hak khalayak," kata jurnalis ANTV sejak 2005 ini.

Dalam diskusi yang penuh sesak oleh para mahasiswa Ilmu Komunikasi dan D3 Public Relation FISIP Undip ini, dia membeberkan proses di balik pembuatan karya investigasinya yang keluar sebagai pemenang Mochtar Lubis Award 2008.

Feature berdurasi 30 menit karyanya ini menghadirkan penelusuran pembuatan sapi glonggongan di salah satu rumah pemotongan hewan (RPH). Hal ini dianggap melanggar hak-hak konsumen, apalagi semakin marak ditemukan menjelang Lebaran.

Awalnya, dia mengaku sebagai pedagang agar dapat memasuki pasar tempat transaksi daging yang dilabelkan haram oleh MUI itu tanpa dicurigai. Hal ini terbukti ampuh. "Saya menemukan celah-celah untuk menyelidiki seluk-beluk sapi glonggongan dari hulu ke hilirnya," bebernya yang mengawali karir jurnalistiknya di SCTV ini.

Dari situ dia dengan kamera tersembunyinya lantas mendapat akses ke sebuah RPH. Lokasi ini menjadi tempat sapi-sapi "digelembungkan" dengan air demi menaikkan berat sapi secara drastis.

"Saya berhasil memasuki RPH dengan mengaku sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan yang sedang mengerjakan tugas akhir. Mohon maaf, ini terpaksa saya lakukan. Apalagi saya mengaku sebagai mahasiswa Undip pula..." ujarnya meringis.

Ruang publik

Menurut Andina, karya jurnalistik investigatif dan liputan mendalam lainnya sangat diperlukan dalam masyarakat yang mendambakan kebenaran. Untuk itulah mengapa profesi jurnalis menjadi mulia. Mereka punya kontribusi besar membentuk opini publik yang sehat bagi masyarakat di era informasi kini.

"Masyarakat ideal," terang mahasiswa angkatan 2004 ini mengutip Jurgen Habernas (dalam Ibrahim, 2004), "adalah masyarakat 'komunikatif' yang hidup dari ruang publik yang memiliki akses luas pada informasi."

Buku ini, menurut dia, memberi nafas lega bagi para calon jurnalis. Benang merah kompilasi karya jurnalistik ini ada pada keberanian para penulisnya untuk memperhatikan dan menuangkan gagasan tentang hal-hal yang tidak dominan.

"Mencermati karya demi karya di dalamnya menimbulkan kesadaran bahwa rupanya jadi jurnalis tidak hanya berpotensi sebagai 'nyamuk nakal' yang bikin gatal, tapi juga bisa menyuarakan gagasan-gagasan yang terpinggirkan," pungkas kontributor lepas Harian Suara Merdeka edisi Minggu ini. (*)

(Dimuat di http://fisip.undip.ac.id dan http://LSPP.org)

0 komentar:

Posting Komentar