14 Mei 2009

Jurnalisme dan Pers Profesional SOLOPOS (2-habis)

JURNALISME
Semarang, 14 Mei 2009
Jurnalisme dan Pers Profesional
SOLOPOS (2-habis)

Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

BEBERAPA kalangan (khususnya mereka yang menjadi pemerhati pers) menganggap Harian SOLOPOS sebagai sebuah koran daerah (lokal) telah berhasil berkembang dan mempertahankan diri sebagai industri pers daerah, di tengah-tengah gelombang besar revolusi multimedia di Indonesia bahkan dunia.

Antoni (2004), dalam salah satu kesimpulannnya mengenai koran lokal SOLOPOS menyebutkan, faktor ekonomi dan politik yang berlangsung dalam pers industri merupakan salah satu variabel yang ikut menentukan kebijakan redaksional SOLOPOS (Antoni, 2004: 169).

Sebagai sebuah industri pers modern, sejauh ini SOLOPOS dinilai telah berhasil dalam merangkum kepentingan redaksional dengan kepentingan bisnis, sehingga diminati masyarakat khususnya di wilayah eks Karesidenan Surakarta khususnya.

Ini artinya, peran koran lokal (media daerah) tetap dominan di tengah perubahan sistem komunikasi massa modern yang terus berkembang pesat akhir-akhir ini. SOLOPOS, sebagai salah satu bentuk media tradisional (koran), dibandingkan media baru multimedia pada kenyataannya tetap mampu bertahan dan berkembang.

Hal itu pula yang membuktikan bahwa media tradisional (cetak), pada dasarnya tetap bisa bertahan di tengah perkembangan beragam jenis media massa. Pertanyaannya adalah, mengapa sebuah media lokal mampu bertahan di tengah-tengah perkembangan media massa yang sangat beragam itu?

Dalam sebuah seminar hasil evaluasi Proyek Pengembangan Profesionalisme dan Manajemen Pers Daerah (1993-1996) yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerapan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) disebutkan bahwa perkembangan ekonomi tempat media massa (koran daerah) berkiprah akan sangat menentukan peluang pertumbuhan pers di daerah yang bersangkutan (Kompas, 27/3/1996).

Dalam rekomendasinya, seminar itu juga menyebutkan bahwa keberadaan pers dengan berbagai informasi yang disajikannya membuat masyarakat terangsang semakin maju. Keduanya bisa melahirkan spiral yang terus membesar dan saling mendorong untuk terus berkembang.

Berangkat dari kenyataan ini, penerbitan pers daerah diharapkan mengetahui potensi perekonomian masyarakat tempat ia berkiprah untuk kemudian dipakai sebagai pedoman pengembangan media bersangkutan.

Di sinilah pengelola penerbitan pers di daerah harus pandai memosisikan diri di tengah persaingan antarmedia yang semakin ketat, termasuk dalam merebut potensi iklan lokal yang sesungguhnya sangat besar. Sedangkan menyangkut manajemen (pers daerah), banyak ditentukan oleh latar belakang kepemilikannya.

Koran daerah yang tidak menjadi jaringan koran besar, biasanya belum punya pola manajemen baku, bahkan banyak di antaranya merupakan manajemen keluarga. Sedangkan koran daerah yang menjadi jaringan koran besar, biasanya meniru manajemen induknya.

Di sini terkadang muncul konflik, dan potensi ini membesar bila prospek bisnis koran daerah tersebut terlihat cerah. Masih kecilnya pemasukan dana dari iklan, kemampuan wartawan serta sulitnya penagihan piutang juga merupakan persoalan pelik yang dihadapi pers daerah (Kompas, 27/3/1996).

Minat pembaca

Memperhatikan simpulan tersebut di atas, dengan kata lain bisa dikatakan bahwa sebuah koran daerah (lokal) bisa bertahan dan menjaga keberlangsungan penerbitannya manakala faktor-faktor seperti yang telah dikemukakan tadi mampu diatasi oleh manajemen pengelola koran yang bersangkutan.

Namun ada beberapa faktor pendukung lain yang secara teoritis keilmuan dianggap mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap berkembangnya media massa. Sesuai dengan ciri dan sifatnya, pers adalah bagian dari pembahasan paling penting dalam ilmu komunikasi massa.

Perubahan pesat teknologi baru (di bidang komunikasi) telah menyebabkan dipertanyakannya kembali definisi komunikasi massa. Definisi komunikasi massa yang sebelumnya sudah cukup jelas, yakni dibagi ke dalam tiga ciri. Pertama, diarahkan kepada audiens yang relatif besar, heterogen dan anonim.

Kedua, pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara. Ketiga, komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang membutuhkan biaya yang sangat tinggi.

Dalam perkembangan paling mutakhir, media (massa) kemudian mempunyai lingkungan baru dengan ciri-ciri pertama, teknologi yang digunakan. Jika dulu berbeda dan terpisah seperti percetakan dan penyiaran, sekarang ini bergabung.

Kedua, keberlimpahan media yang tersedia di masyarakat, ketiga, terjadinya pergeseran dari mengarah kepuasan massa audiens kolektif menuju kepuasan grup atau individu dan terakhir adalah terjadinya pergeseran dari media satu arah kepada media interaktif (Kompas, 27/3/1996).

Ciri-ciri seperti yang tersebut di atas, tentunya akan berkorelasi signifikan terhadap rasa puas audiens sehingga sebuah media massa masa kini tetap diminati pembacanya sekalipun sistem komunikasi (massa) telah berkembang secara revolusioner memunculkan media-media (massa) jenis baru yang sangat mempengaruhi perubahan besar dalam berbagai bidang.

Dari data yang diperoleh dari Litbang Harian SOLOPOS menunjukkan bahwa ketika terbit pertama kali pada 1998, (
harian ini) mampu merebut minat pembaca warga masyarakat di wilayah eks Karesidenan Surakarta khususnya, dan hingga tahun 2007 telah mampu berkembang dan bertahan dalam arti SOLOPOS sebagai sebuah industri media, sudah bisa dikatakan berhasil.

Apa ukuran keberhasilan sebuah koran? Jakob Oetama menyebut, surat kabar yang dapat hidup dari keberhasilannya sendiri akan lebih dapat melaksanakan tanggung jawab idealnya dan memelihara kebebasan yang diperlukan untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara memadai.

Selain itu, kualitas pers dihadapkan pula pada tantangan untuk terus memperbaiki diri. Itu berarti, perbaikan pertama-tama pada sumber daya manusia dan kemudian pada perangkat keras, yang kesemuanya memerlukan biaya. Biaya itu diperoleh dari hasil penjualan surat kabar, baik langganan, eceran maupun penjualan ruangan untuk iklan (Jakob Oetama, 2001: 308).

Jakob Oetama kemudian menyimpulkan, kemampuan ekonomi pers atau berkembangnya pers sebagai bisnis, mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi intern ditinjau dari persoalan di dalam lembaga pers itu sendiri dan kedua, dimensi ekstern dilihat dari kaitan kemasyarakatan, terutama dalam bidang bisnis.

Kata almarhum PK Ojong, seperti dikutip Jakob Oetama, “Perusahaan surat kabar tidak sama dengan perusahaan pengangkutan atau pabrik sepatu yang dapat diperjualbelikan begitu saja. Akan tetapi, surat kabar bukan perusahaan komersial melulu, ia juga bahkan terutama merupakan wadah idiil” (Jakob Oetama, 2001: 310).

Dalam kondisi seperti itulah, perusahaan penerbitan pers (profesional) umumnya mempunyai dua divisi (bidang) kerja yang saling dipisahkan dan tidak bisa dicampuradukkan. Ibarat sebuah kapal dengan dua nakhoda, perusahaan penerbitan pers yang konsisten dalam menjaga fungsinya sebagai institusi ideal dan bisnis akan memiliki seorang Pemimpin Redaksi dan pemimpin (bidang) bisnis yang lebih mengelola bidang finansial.

Seperti diketahui, dalam perjalannya pers di Indonesia yang berawal dari sebuah pers perjuangan, kini telah berkembang menjadi sebuah institusi ideal, profesional dan profit tanpa harus melepaskan sisi perjuangan itu sendiri. Oleh karenanya, fungsi bisnis dalam sistem pembagian kerja dalam pers sangat penting. Bagian perusahaan (bisnis) akan menyelenggarakan upaya pembiayaan agar institusi itu dapat berjalan sesuai dengan tujuan awal didirikannya lembaga pers tersebut.

Bisnis biasanya meliputi bidang kerja sirkulasi koran, periklanan, promosi, keuangan, termasuk bagian personalia. Sedangkan bidang keredaksian, hanya akan mengurus soal-soal yang berkait dengan urusan pemberitaan. Biasanya, secara struktural akan terdiri dari dewan redaksi, pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur serta para wartawan/ reporter/ koresponden/ stringer.

Koran lokal

Danie H Soe’oed, salah seorang yang membidani lahirnya Harian SOLOPOS, menilai sejauh ini SOLOPOS sudah menjadi koran lokal yang dinilai berhasil. Masyarakat Surakarta sudah bisa menerima atau boleh dikatakan cocok dengan SOLOPOS sehingga koran ini cukup eksis.

Mengapa koran ini bisa diterima masyarakat Solo dan sekitarnya?

Menurut Danie, secara umum karena standar bahasa Indonesia yang dipakai benar. Meski diakui ada beberapa idiom-idiom Jawa atau lokal, tapi itu dalam rubrik-rubrik tertentu. Tapi pada umumnya dalam rubrik-rubrik yang umum yang dipakai SOLOPOS menggunakan standar bahasa Indonesia yang benar.

Danie mengakui SOLOPOS ini juga dibaca kalangan masyarakat bawah. Misi koran ini adalah mendidik pembaca tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tentang budaya setempat, SOLOPOS hanya memberikan ruang secukupnya karena ini memang bukan koran budaya tapi koran umum sehingga pihaknya berusaha menyajikan semua yang dibutuhkan oleh masyarakat dari mulai sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya.

Pada awal-awal SOLOPOS, muatan lokal yang bersifat kultural memang sangat kental, namun lama-lama masyarakat jenuh. Meski demikian SOLOPOS tetap menampilkan berita-berita seperti itu meski tidak secara mendalam karena tidak signifikan dengan oplah.

Jadi kalau orang mengatakan bahwa SOLOPOS hanya sebatas berita di keraton, sebenarnya itu tidak benar. Koran ini berusaha untuk mendudukkan semua persoalan secara porposional.

“Kalau memang berita itu menarik karena anggota masyarakat ada yang tertarik pada berita itu, ya kami coba angkat dengan tampilan selengkap mungkin, dengan standar profesional bukan karena kami mem-blow up pertimbangan-pertimbangan ekonomi,” tegasnya.

Di jajaran redaksi, rapat redaksi merupakan kekuasaan tertinggi. Di rapat ini diputuskan berita-berita yang akan dimuat. Meski demikian Pemimpin Redaksi punya hak untuk memveto suatu berita atas berbagai pertimbangan. Pertimbanganya bukan karena kepentingan pribadi atau kepentingan orang per orang, namun ada standar sudah ditetapkan. Seperti misalnya berita itu melanggar kepentingan umum, melanggar kesusilaan, dan pertimbangan lainnya.

SOLOPOS juga dinilai telah berhasil menggerakkan dinamisasi masyarakat Solo dan sekitarnya. Ini lantaran SOLOPOS selalu menampilkan berita-berita aktual yang selalu dekat dengan masyarakat serta menarik bagi komunitas masyarakat Soloraya (Solo dan sekitarnya).

Mengapa demikian? Karena tidak semua berita yang diinginkan masyarakat terakomodasi di media-media lainnya, khususnya media yang terbit di luar Solo. (*)

(Dikutip dari buku SOLOPOS, Satu Dasawarsa Meningkatkan Dinamika Masyarakat karya Mulyanto Utomo [2007], halaman 62-75)

0 komentar:

Posting Komentar