14 Mei 2009

Jurnalisme dan Pers Profesional SOLOPOS (1)

JURNALISME
Semarang, 14 Mei 2009
Jurnalisme dan Pers Profesional
SOLOPOS (1)

Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

PERS merupakan medium penyiaran berita. Dalam perkembangannya, pers telah memiliki makna yang sangat luas. Bukan lagi sekadar medium, namun sudah menyangkut segala sesuatu yang berkait dengan penyiaran itu sendiri. Mulai dari sumber daya manusia, institusi yang menaungi, bahkan lebih luas dari itu, yakni meliputi sistem dalam proses penyiaran fakta menjadi berita.

Pers profesional adalah pers yang mempraktikkan jurnalisme sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku di dalamnya, memaparkan kebenaran sebuah fakta, peristiwa atau kejadian seobyektif dan seakurat mungkin. Kebenaran itu dicapai melalui sebuah prosedur dan proses.

Kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Berita dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran sehingga membentuk stalagmit yang besar dengan memakan waktu yang tidak singkat.

Karena itu sejak awal Harian Umum (HU) SOLOPOS bertekad menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme secara baik dan benar. Tidak hanya soal sikap wartawan dalam menulis berita, tapi pola penulisan di Harian SOLOPOS pun dibuat seprofesional mungkin dengan membukukan standar gaya penulisan (buku Gayane SOLOPOS).

Buku ini merupakan pedoman untuk penyeragaman gaya penulisan di SOLOPOS berikut kaidah-kaidah dalam penulisan berita. Buku Gayane SOLOPOS memuat pedoman penulisan sejak dari judul berita, teras berita, tubuh berita, cara memeroleh sumber hingga penulisan koreksi.

Secara umum, dari berbagai pedoman penulisan itu, satu prinsip yang dipegang, bahwa SOLOPOS menerapkan prinsip kejujuran dalam penulisan berita. Tiga kata kunci, accurate (akurat), balance (berimbang), dan clear (bersih)—disingkat "ABC"—merupakan prinsip kualitas berita di SOLOPOS. Hanya berita-berita yang memenuhi unsur "ABC"-lah yang akan lolos seleksi.

Dalam penulisan judul, SOLOPOS menerapkan prinsip haruslah ditulis semenarik mungkin sehingga pembaca terus bertahan membaca berita hingga akhir. Judul ditulis harus mencerminkan isi berita, tidak bombastis dan tidak manipulatif.

Sebagai koran yang menjunjung tinggi kejujuran, SOLOPOS menerapkan standar tegas dalam penyebutan cara reporter (wartawan) dalam memperoleh berita. Apakah reporter menemui langsung narasumber, menghubungi narasumber melalui telepon, narasumber yang menghubungi reporter, atau memerolehnya melalui siaran pers atau konferensi pers. Wartawan SOLOPOS mesti menulis sumber itu secara jelas.

Lantas bagaimana kalau SOLOPOS melakukan kesalahan penulisan berita? Sebagai media yang mengutamakan nilai kebenaran dalam penyampaian fakta, SOLOPOS akan bertindak fair dalam menyikapi kesalahan. Kesalahan tidak pernah lepas dari manusia, meski sudah diupayakan seakurat mungkin dalam menurunkan tulisan.

Hanya yang perlu ditekankan di sini, seperti diungkakan tokoh bijak, bahwa jangan pernah terpikirkan di nurani Anda untuk berniat membuat kesalahan. Jika ini, mulai muncul di benak Anda, bunuhlan keinginan itu, atau mulailah bicara kepada kawan Anda tentang keganjilan itu.

Jika ada kesalahan, pengelola SOLOPOS wajib segera mengoreksinya, meski itu berat dan sulit dilaksanakan. Sikap jujur perlu dijunjung tinggi demi kepercayan pembaca.

Agar bisa menulis secara baik dan benar, independensi wartawan menjadi sesuatu yang penting. Wartawan SOLOPOS boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini tapi tidak sama sekali dalam berita. Wartawan SOLOPOS harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Hal itu juga tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik Bab I bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beriktikad buruk.

Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Berimbang, berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Sedang tidak beriktikad buruk mempunyai makna tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan pihak lain.

Mengapa wartawan SOLOPOS harus profesional? Hal ini karena pers memiliki kekuatan untuk mempengaruhi publik melalui informasi dan wartawan memiliki “hak istimewa” dalam menjalankan profesinya seperti hak untuk memperoleh akses informasi atau data dan hak tolak yang diatur dalam undang-undang.

Antiamplop

Terkait dengan hal itulah, SOLOPOS melaksanakan tugasnya sebagai pers yang profesional dan independen karena memegang teguh prinsip-prinsip jurnalisme.

Untuk menjaga independensi wartawan dalam menulis berita, SOLOPOS menerapkan prinsip jurnalisme antiamplop. SOLOPOS melarang wartawan menerima pemberian dari pihak luar yang diketahui atau patut diduga ada hubungan dengan kedudukan atau jabatan sebagai wartawan.

Larangan menerima imbalan dari pihak luar ini dituangkan melalui surat edaran (SE) Pemimpin Redaksi No 05/01/SP/XII/ 98. Menurut SE itu, yang dimaksud pemberian itu adalah dalam bentuk uang (baik uang kontan maupun berbentuk rekening bank), barang ataupun fasilitas dan lain sebagainya, termasuk pemberian potongan harga atau komisi.

Pemberian apapun dari narasumber harus ditolak pada kesempatan pertama. Jika situasi tidak memungkinkan menolak, wartawan SOLOPOS wajib menyerahkan pemberian tersebut kepada Sekretariat Redaksi (Sekred). Pihak Sekred atau kurir akan mengembalikan pemberian tersebut kepada si pemberi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban pengembalian amplop, daftar pengembalian amplop ini akan diumumkan di koran.

Pelanggaran terhadap peraturan antiamplop dianggap sebagai pelanggaran berat dan sanksinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Kebijakan ketat terhadap larangan menerima imbalan ternyata mendapatkan apresiasi positif, baik dari kalangan wartawan sendiri maupun dari pihak luar. Paling tidak wartawan SOLOPOS dikenal sebagai wartawan yang tidak bisa dibeli untuk memuat atau tidak memuat berita tertentu.

Tokoh pers Solo yang telah memimpin setidaknya tujuh penerbitan pers di Kota Bengawan ini, N Sakdani Darmopamudjo menyatakan bahwa sejauh yang diamati SOLOPOS selama ini telah bertindak sebagai pers profesional.

“Wartawan jangan sampai menerima amplop telah dilakukan secara ketat oleh SOLOPOS. Dengan cara seperti itu akan menimbulkan kepercayaan,” tegasnya. Kepercayaan itu, lanjut Sakdani, justru yang paling penting bagi pembaca.

Dia melihat SOLOPOS bisa berkembang sampai sekarang karena salah satunya sikapnya yang antiamplop. Dengan tidak menerima amplop, wartawan akan bisa membuat berita secara seimbang.

Kalau pemberitaan seimbang pasti kepercayaan akan tumbuh, berdampak pada tulisannya itu juga dipercaya. Selain melarang menerima imbalan, wartawan SOLOPOS juga tidak diperkenankan merangkap mencari iklan. Kebijakan ini semata-mata untuk menjaga agar berita tidak terpengaruh oleh kepentingan si pemasang iklan.

Di beberapa media wartawan merangkap menjadi penjual iklan. Di mata Sakdani, fenomena tersebut menunjukkan wartawan tidak profesional karena telah rancu menjalankan tugas jurnalistik.

Kebijakan manajemen dalam menerapkan kaidah-kaidah jurnalisme secara ketat, benar dan keras telah membuat wartawan SOLOPOS memiliki rasa percaya diri, kehormatan dan martabat seorang pekerja profesional. Komitmen antiamplop itu justru sangat membantu wartawan dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang jurnalis.

Saat masih menjabat sebagai Pemimpin Redaksi SOLOPOS, Danie H Soe’oed menegaskan, apa yang dilakukan SOLOPOS dengan menerapkan serta menjaga komitmen yang keras terkait dengan kaidah jurnalisme yang harus diterapkan adalah bagian dari upaya membangun kepercayaan masyarakat. Menurut Danie, bisnis koran sama prinsipnya dengan perbankan karena sama-sama berbisnis kepercayaan.

Lantas bagaimana membangun kepercayaan itu? Yakni dengan melarang wartawan SOLOPOS menerima imbalan apapun dari narasumber. Meski diakui penerapan kebijakan larangan menerima imbalan ini tidaklah mudah karena (mungkin) bertentangan dengan budaya pers lokal waktu itu.

Penekanan terhadap kebijakan ini terus dilakukan dengan membangkitkan kesadaran dengan membangun etika moral wartawan. Kendati pada awalnya mendapatkan reaksi dari kalangan reporter ketika ada sanksi terhadap seorang reporter yang terbukti menerima imbalan, namun dari tahun ke tahun kebijakan ini justru menjadi tambah dan menjadi kebanggaan awak SOLOPOS. Dan dari situlah masyarakat menaruh kepercayaan kepada SOLOPOS.

Kebijakan lain yang diterapkan manajemen SOLOPOS dalam menjaga independensi wartawan ialah dengan selalu me-rolling (memindah) wartawan dari satu bagian (atau daerah) ke bagian atau daerah lain.

Kebijakan ini untuk menghindari interaksi antara wartawan (reporter) dengan nara sumber yang terlalu dekat (akrab). Kedekatan wartawan dengan nara sumber dalam waktu relatif lama dikhawatirkan bakal membahayakan obyektivitas wartawan dalam menulis berita.

Bersambung.... (*)

0 komentar:

Posting Komentar