22 Mei 2009

Kunci Keberhasilan SOLOPOS (1)

JURNALISME
Semarang, 22 Mei 2009
Kunci Keberhasilan SOLOPOS (1)
Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

DARI berbagai penerbitan yang lahir di Kota Solo, boleh dikatakan sejauh ini baru SOLOPOS yang tercatat mampu hidup secara komersial serta bertahan dengan tingkat kredibilitas cukup tinggi di kalangan masyarakat. Secara faktual, salah satu hal yang menjadikan SOLOPOS mampu bertahan adalah terkait dengan masih dipercayainya harian ini sebagai salah satu acuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka.

Hal ini bisa dibuktikan dengan respons publik baik pembaca maupun nara sumber yang masih menjadikan SOLOPOS sebagai referensi mereka untuk mengetahui serta menyampaikan berita di wilayah eks Karesidenan Surakarta. Kepercayaan, adalah salah satu kata kunci yang menjadikan SOLOPOS tetap dibaca masyarakat.

Gaye Tuchman (1978), menyebut proses pembuatan berita di ruang redaksi (news room) dengan nilai-nilai yang menyertainya menjadi hal yang menentukan dalam menyusun berita. Dalam konteks sejarah, pers telah berperan dalam memfasilitasi publik yang rasional. Atau pers berperan dalam memfasilitasi public sphare sebagaimana pada sejarah Eropa Abad ke-18-19. Pers dengan isu-isu yang diangkat akan menjadi bahan bagi pembicaraan publik.

Dalam konteks demikian, maka proses encoding di dalam newsroom Harian SOLOPOS memiliki peran yang sangat penting bagaimana nilai-nilai ideologi jurnalis, corporate culture (budaya perusahaan) dilaksanakan dengan konsistensi tinggi oleh seluruh awak di redaksi (Antoni, 2004). Namun dalam pers modern, di mana media massa telah berubah menjadi sebuah industri, bidang usaha (business department) juga memiliki peran yang sangat besar.

Karenanya, ciri khusus industri pers profesional yang memisahkan secara tegas garis kebijakan redaksi dengan usaha seperti telah dilakukan Harian SOLOPOS, menjadikan koran ini sejauh ini masih menjadi referensi terpercaya untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.

Harian SOLOPOS sebagai salah satu bentuk media massa (pers) pada umumnya, merupakan produk ideologis yang mempunyai misi tertentu sehingga tidak sama dengan produk barang lainnya. Karena itu pula, penyelesaian pekerjaan penerbitan pers melibatkan banyak personel yang ada di bidang redaksional, bidang usaha dan bidang percetakan, dengan segala latar belakang kemampuan mereka guna menuangkan segala ide dan gagasan, menciptakan suatu produk penerbitan berkualitas.

Untuk itu diperlukan suatu sistem kerja yang saling memahami, saling mengerti dan memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap bidang masing-masing. Dalam memproduksi suatu penerbitan pers, masing-masing bidang mempunyai tanggung jawab, peran serta tujuan yang sama.

Untuk itu manajemen penerbitan pers harus mampu menciptakan, memelihara dan menerapkan sistem kerja yang proporsional dengan menumbuhkembangkan rasa kebersamaan di antara sesama personel (karyawan). Tidak boleh ada salah satu bidang perusahaan penerbitan pers, merasa paling penting sendiri. Untuk kepentingan itu diperlukan suatu tatanan kerja dalam organisasi perusahaan penerbitan pers.

Simpulan dari pernyataan di atas, berarti faktor idealisme dan bisnis dalam perusahaan penerbitan pers modern harus berjalan agar perusahaan penerbitan pers itu dipercaya publik. Faktor-faktor itu pulalah yang oleh beberapa kalangan di internal maupun eksternal perusahaan dikatakan telah membuat SOLOPOS mampu bertahan hidup dan berkembang sebagai koran daerah.

Pengelolaan secara profesional antara bidang redaksi dan bidang usaha telah membuat koran ini mampu bertahan sebagai sebuah industri yang sangat sehat. SOLOPOS sebagai perusahaan yang sangat sehat, baik ditinjau dari sisi keuangan, maupun dari sisi pemasaran SOLOPOS.

Manajemen SOLOPOS dari awal memang menekankan manajemen pers modern. Jadi antara redaksi room dan bisnis room itu memang betul-betul berdampingan dan itu membikin SOLOPOS bisa mencapai hasil seperti sekarang.

Indikasi kesehatan keuangan perusahaan itu dengan cashflow-nya yang sehat. Di samping mempunyai idealisme pers, SOLOPOS juga betul-betul profesional dalam menentukan produksi maupun menentukan harga jual produk.

Budaya organisasi

Bentuk organisasi perusahaan penerbitan pers yang baku, hingga saat ini masih belum ada. Masing-masing perusahaan menyusun organisasi tata kerjanya berdasarkan keadaan serta misi yang dimiliki. Tetapi secara sederhana, organisasi perusahaan penerbitan pers umumnya tersusun dalam bidang-bidang redaksi (editor department/newsroom), bidang usaha (business department) dan bidang percetakan (printing department) (Totok Juroto, 2000).

Tatanan organisasi yang khas seperti itu, tentu saja baru akan bisa berjalan baik jika strukturnya tersusun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Stephen P Robbins, dalam bukunya Perilaku Organisasi (2001), menyebut bahwa struktur-struktur dalam organisasi akan mempengaruhi sikap dan perilaku para karyawannya.

Stephen kemudian mengurai, bahwa struktur organisasi itu menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasi secara formal. Ada enam unsur kunci yang perlu disampaikan kepada manajer bila mereka merancang struktur organisasinya. Elemen-elemen tersebut adalah: spesialisasi pekerjaan, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi, serta formalisasi.

Keenam unsur itu merupakan jawaban atas pertanyaan struktural yang penting dari; pada tingkat apa tugas dibagikan dalam pemisahan pekerjaan? Dalam basis apa pekerjaan dikelompokkan bersama-sama?

Untuk siapa pekerjaan dilakukan untuk individu dan kelompok? Berapa banyak individu yang dapat diatur secara efisien dan efektif? Di mana letak wewenang pengambilan keputusan? Pada tingkat apa suatu aturan dan kemudahan akan mengatur pekerja dan manajer? (Stephen Robbins, 2003: 177-204).

Dari uraian di atas dapatlah disebut bahwa struktur internal suatu organisasi membantu menjelaskan dan meramalkan perilaku. Artinya, di samping faktor individu dan kelompok, hubungan struktural di mana orang-orang bekerja mempunyai pengaruh yang penting pada sikap dan perilaku karyawan. Apa yang merupakan dasar untuk argumen bahwa struktur mempunyai suatu dampak baik pada sikap maupun pada perilaku?

Sampai tingkat mana struktur suatu organisasi mengurangi ambiguitas untuk karyawan dan memperjelas hal-hal seperti; “Apa yang harus saya lakukan?” “Bagaimana seharusnya saya melakukan itu?” “Kepada siapa saya melapor?” dan “Kepada siapa saya harus bicara bila menemukan masalah?”.

Struktur itu membentuk sikap mereka dan mempermudah serta memotivasi mereka ke tingkat kinerja yang lebih tinggi (hal 205). Kata kunci yang bisa ditarik dari peran penting sebuah organisasi adalah “budaya korporasi”. Andre A. Hardjana, mengutip Terrence Deal dan Allen Kennedy (1982); Charles Hampden-Turner (1990); John Kotter dan James Heskett (1992); menyebut budaya korporasi sebagai corporate culture.

Perhatian terhadap budaya korporasi ini muncul pada saat timbul kesadaran bahwa kerangka kerja organisasi, seperti teknologi, sistem, struktur, strategi, gaya kepemimpinan dan karyawan tidak dapat dipisahkan dari landasan nilai-nilai yang hidup dan dihayati. Artinya rasionalitas organisasi dalam mengejar tujuan bersama tidak lepas dari posisi sentral martabat manusia.

Rapat redaksi

Catatan sejarah menunjukkan bahwa serangkaian studi tentang budaya korporasi kekalahan Barat dalam persaingan melawan Jepang dalam industri otomotif di tahun 1970-an, meskipun dari segi teknologi, struktur organisasi dan sistem kerja serta insentif ekonominya tidak terlihat perbedaan mencolok (Stephen Robbins, 2003).

Bagaimana dengan struktur organisasi dan peran pemimpin di Harian SOLOPOS dan mampukah menciptakan budaya organisasi yang kondusif? Setidaknya sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi perusahaan penerbitan pers profesional.

Bagaimana pula dengan pandangan pihak eksternal, khususnya mereka yang pernah menggeluti pers di Solo? Danie H Soe’oed, Wakil Pemimpin Umum SOLOPOS, menyatakan media massa sekarang sudah menjadi industri.

“Saya katakan, industri koran bukan lagi melulu mengusung idealisme, tapi juga memikirkan sisi bisnis. Taruhlah kami bikin koran penuh dengan idealisme, tapi kalau tidak laku dijual bagaimana? Segi bisnis juga harus dipertimbangkan. Sekarang faktanya dalam berita-berita lokal ketika ada Pilkada lokal itu kan masyarakat yang tahu. Nah yang kita ungkapkan itu yang diketahui masyarakat, sehingga itu yang kita jadikan bahan, informasi apa yang sedang dibutuhkan masyarakat bukan karena ada kepentingan siapapun,” ujar Danie.

Sesuai dengan sistem organisasi industri pers yang profesional di SOLOPOS, rapat redaksi adalah forum tinggi dalam menetapkan layak muat atau tidaknya sebuah berita. “Paling tidak hal itu dibicarakan sehingga nanti kalau ada kesalahan atau apa berarti kita kecolongan. Ketika koran lain mengangkat berita A kenapa kita mengangkat berita B. Mereka yang bertanggung jawab pada rapat itu. Misalkan saya tidak ikut rapat akan saya tanya, kenapa pilihannya seperti itu?

Jadi ada penjelasan-penjelasan yang harus logis dan dapat diterima oleh kita semua dalam rapat redaksi itu. Tanpa kehadiran Pemred, seharusnya rapat redaksi tetap berjalan. Mekanisme harus jalan terus, yang berjalan kan sistem bukan orang. Seperti waktu saya pergi seminggu, ya rutin pelaksana harian (Redpel) memberikan laporan. Tetapi saya tidak perlu mengawasi 24 jam seperti itu. Jadi sistem yang jalan,” jelas Danie.

Terkait dengan struktur organisasi perusahaan pers di SOLOPOS di mana terdapat bidang keredaksian dan bidang usaha, sebagai penopang bisnis badan usaha memang seringkali ada perbedaan kepentingan. Misalnya ketika ada perusahaan yang mau pasang iklan, dia minta perusahaan itu diberitakan sebagai “imbalan” atas pemasangan iklan.

Jika menghadapi kondisi demikian, pihak SOLOPOS selalu mengatakan bahwa perusahaan Anda bisa diberitakan asal fakta yang ditampilkan memang layak berita. Kalau fakta yang disodorkan ternyata tidak memenuhi kelayakan berita, tentu fakta itu tidak bisa dimuat. Kalau mereka tanya apa layak berita itu? Tentu SOLOPOS akan menjelaskan indikator-indikator kelayakan berita.

Kalau mereka tidak bisa menerima, pihak SOLOPOS akan mengatakan bahwa tidak ada orang luar yang bisa mengatur SOLOPOS. Yang bisa mengatur SOLOPOS adalah dari dalam sendiri. Bagian iklan selalu mengatakan kepada klien bahwa bagian iklan tidak ada hubungannya dengan bagian redaksi. Artinya kalau ada perusahaan yang mau pasang iklan silakan pasang iklan, tidak ada kaitannya dengan pemberitaan.

Lantas mengapa banyak media massa yang terkubur di Solo? Antara lain disebabkan model kepemimpinan yang kurang visioner, tidak profesional dalam menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan serta tak mampu menyatukan potensi sumber daya manusia dengan mengkomunikasikan visi untuk mengatasi rintangan-rintangan.

Bersambung....
(*)

0 komentar:

Posting Komentar