22 Mei 2009

Kunci Keberhasilan SOLOPOS (3-habis)

JURNALISME
Semarang, 22 Mei 2009
Kunci Keberhasilan SOLOPOS (3-habis)
Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

PARA pakar yang menulis berbagai buku soal manajemen pemasaran, hampir tak satupun yang mengungkap adanya faktor keberuntungan dalam setiap upaya membangun sebuah usaha. Secara teoretis, dalam upaya membangun usaha sehingga bisa sukses harus melalui tahapan-tahapan perancangan matang mulai dari survei pasar, melakukan segmentasi, targeting hingga positioning.

Philip Kotler menyatakan bahwa manajemen pemasaran adalah, “Proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaran-sasaran individu dan organisasi.” (Philip Kotler, 2002: 9).

Lantas bagaimana proses penerimaan konsumen terhadap sebuah produk baru? Apakah para pakar manajemen pemasaran juga tak menyinggung soal keberuntungan? Kotler menyatakan bahwa pada awalnya, para pemasar menggunakan pendekatan pasar massal (mass-market approach) dalam meluncurkan produk mereka.

Mereka mendistribusikan suatu produk ke semua tempat dan mengiklankannya ke semua orang dengan asumsi bahwa kebanyakan orang merupakan pembeli potensial. Pendekatan itu ternyata mempunyai dua kelemahan: membutuhkan biaya besar dan melibatkan banyak pengungkapan padahal mereka bukan konsumen potensial (Philip Kotler, 2002: 404).

Pendekatan pemasaran kedua adalah apa yang disebut sebagai pemasaran dengan sasaran pemakai utama (heavy-user target marketing), yaitu produk mula-mula diarahkan kepada pemakai utama. Pendekatan itu masuk akal, asalkan para pemakai utama itu dapat diidentifikasi dan mereka juga merupakan penerima awal. Tetapi bahkan dalam kelompok

Pemakai utama pun, konsumen memiliki perbedaan minat terhadap produk dan merk baru; banyak pemakai utama setia pada merk yang telah ada. Banyak pemasar produk baru sekarang mengarahkan strategi ke konsumen yang merupakan penerima awal yak pengungkapan padahal mereka bukan konsumen potensial (Philip Kotler, 2002: 405).

Penerbitan pers

Menurut teori penerima awal (early-adopter theory), orang-orang yang ada di pasar sasaran memerlukan jumlah waktu yang berbeda dari saat mereka mengetahui produk baru sampai saat mereka mencobanya. Penerima awal juga disebut memiliki beberapa sikap tertentu yang membedakan mereka dari penerima kemudian.

Penerima awal cenderung menjadi pemimpin opini dan berguna dalam mengiklankan produk baru tersebut ke pembeli potensial lain. Dalam teori manajemen pemasaran, dikenal pula adanya konsep tentang adanya lima tahap bagaimana seseorang bisa menerima produk baru.

Pertama, adalah tahap kesadaran (awareness) yaitu konsumen menyadari adanya inovasi tersebut tapi masih kekurangan informasi mengenai hal tersebut. Kedua, munculnya tahap minat (interest) dimana konsumen terdorong untuk mencari informasi mengenai inovasi tersebut.

Pada tahap ketiga konsumen memasuki tahap mempertimbangkan untuk mencoba inovasi atau tahap evaluasi (evaluation), keempat tahap percobaan (trial) di mana konsumen mencoba inovasi tersebut untuk memperbaiki perkiraannya atas nilai inovasi tersebut dan tahap kelima atau terakhir adalah tahap penerimaan (adoption), yaitu konsumen memutuskan untukmenggunakan inovasi tersebut sepenuhnya secara teratur.

Dari uraian di atas, jelas bahwa faktor keberuntungan tak pernah diakui secara ilmiah sebagai salah satu faktor yang menyebabkan sebuah produk baru bisa diterima oleh konsumen. Namun demikian, dalam bisnis penerbitan pers –setidaknya dalam kasus Harian SOLOPOS—ada beberapa kalangan yang menyebut bahwa faktor keberuntungan menjadi salah satu penentu diterimanya produk koran baru di wilayah Solo dan sekitarnya itu.

Sakdani Darmopamujo, sebagai orang yang mempunyai banyak pengalaman dalam membuat penerbitan media massa di Kota Solo mengatakan bahwa dalam kasus Harian SOLOPOS, momentum kerusuhan di Kota Solo pada bulan Mei 1998 menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan koran ini terbit di Solo.

“Ketika SOLOPOS lahir, terus terang saya meragukan (bisa hidup). Saya kenal Pak Kamdani (Sukamdani S Gitosardjonored), tapi kekuatan dananya kuat. Saya dulu ragu-ragunya kok namanya SOLOPOS, itu kan sangat lokal. Tapi dalam perkembangannya mungkin kemampuan redaksional, kemampuan pasar, pada waktu bersamaan peristiwa Mei bakar-bakaran di Solo (menjadi pendukung),” ujarnya.

Menurutnya, ketika kerusuhan terjadi, koran-koran yang biasa masuk Kota Solo ketika itu sama sekali tidak bisa hadir. “Waktu peristiwa di Solo itu koran-koran lainnya tidak hidup istilahnya, lalu ada yang berani membuat harian (SOLOPOS) sekaligus waktu itu langsung terekspos. Saya ada pengalaman lain, dulu ketika Darma Nyata itu pernah didongkrak oleh berita ketika Solo terjadi obong-obongan China sekitar tahun 1981-1982. Berita itu akhirnya saya manfaatkan juga.

Mungkin SOLOPOS bersamaan dengan peristiwa itu ada momentumnya. Andaikata Solo tidak terjadi obong-obongan belum tentu jadi (seperti sekarang). Tentu saja saya harus diakui bahwa manajemennya mampu dan lebih profesional,” kisahnya (Mulanto Utomo, 2007: 113).

Apa yang dipaparkan Sakdani tersebut bermakna bahwa ada faktor keberuntungan yang menyebabkan SOLOPOS bisa menjadi besar. Hal itupun diakui oleh salah seorang perintis koran ini, Bambang Natur Rahardi selaku Pemimpin Perusahaan, sekalipun “keberuntungan” itu bukan semata-mata sesuatu hal yang turun dari langit, namun juga karena ada faktor pembelajaran yang dilakukan manajemen.

“Saya lihat, yang dimaksud keberuntungannya itu sebetulnya lebih sebagai suatu momentum. Jadi tujuh sampai delapan bulan sejak kita mengeluarkan produk SOLOPOS ke masyarakat, pertumbuhannya tidak signifikan. Dari cetak 10.000 cenderung turun ke bawah sampai ke titik nadir sekitar 4.000-5.000.

Itu pergerakannya hanya 3.000, 3.500, 4.000 itu paling tinggi pada tujuh sampai delapan bulan pertama. Tapi dengan momentum kerusuhan itu mungkin yang membuat masyarakat tibatiba harus mengatakan saya harus memakai produk (SOLOPOS) ini,” terangnya.

Sekalipun demikian, menurut Bambang Natur, ada fenomena dari sisi pemasaran setelah ada momentum tersebut. Dari sisi pemasaran, sesuatu yang fenomenal itu adalah bagaimana mengubah persepsi orang dalam waktu pendek dan seketika bisa menerima dari produk lama ke produk baru.

Menurut Bambang Natur, untuk melihat kasus tersebut butuh kajian sendiri dan karena kasus ini mungkin agak unik. “Saya berpikir begini, kayaknya orang pada saat kerusuhan itu tingkat kesadaran merknya hilang. Tiba-tiba ada merk baru yang bisa mereka anggap bagian dari mereka. Mereka terima, dan mulai hari itu mereka bergerak, saya mulai pakai produk ini,”
jelasnya.

Momentum

Pertumbuhan pembaca SOLOPOS memang beda dengan pertumbuhan iklan. Pertumbuhan pembaca bisa tumbuh secara tiba-tiba ketika orang merasa ada kebutuhan untuk membaca SOLOPOS, sementara untuk memberi penyadaran orang untuk beriklan membutuhkan edukasi atau proses pembelajaran, sehingga tidak ada istilah keajaiban. Menurut data yang ada, di awal-awal SOLOPOS, pertumbuhan iklan ternyata lebih lambat ketimbang pertumbuhan pembaca.

Beberapa kalangan menilai pada saat kerusuhan Mei 1998, SOLOPOS mampu mengangkat isu secara tepat. Dan isu-isu kerusuhan yang diangkat saat itu ternyata sesuai kebutuhan masyarakat. Dari situlah awal ketertarikan awal masyarakat Solo dan sekitarnya kepada SOLOPOS dan terus berproses menjadi kepercayaan masyarakat kepada koran ini.

Ntok Pancowarno, salah seorang yang sejak tahun 1960-an ikut bergelut untuk membangun pers cetak di Solo, juga menyebut hal yang sama tentang momentum kerusuhan Mei itu. Dia menilai pada awalnya SOLOPOS hampir saja menambah jumlah bangkai koran di Kota Solo. Saat itu masyarakat Solo belum menerima SOLOPOS sebagai korannya orang Solo.

Pada saat kerusuhan terjadi, lanjut Ntok, orang Solo mulai butuh informasi tentang kerusuhan. Koran-koran lain ternyata menulis secara terbatas, sementara SOLOPOS mengekspos agak besar peristiwa tersebut.

“Foto-foto dan beritanya itu dibutuhkan orang-orang Solo yang kepingin tahu tentang kotanya. Naik oplahnya, begitu kerusuhan reda sudah tenang, hening itu turun tapi nyantholnya tinggi sekali. Terus mulai hari demi hari orang mulai butuh SOLOPOS,” bebernya.

Namun demikian, Ntok menyebut profesionalisme sebagai nilai tambah SOLOPOS sehingga mampu bertahan dan berkembang setelah momentum kerusuhan itu berakhir. Sebab momentum seperti itu pernah pula terjadi jauh sebelum SOLOPOS ada dan pada saat yang bersamaan telah pula terdapat media lokal. Namun media itu tak mampu memanfaatkannya karena ketiadaan profesionalitas para pengelola.

“Di Solo waktu ada kerusuhan Cina (tahun 1980-an), satu-satunya koran di Solo dan sekitarnya hanya Dharma Nyata. Tapi Dharma Nyata tidak pernah memanfaatkan itu karena mingguan. Satu lembar isinya berita harian tapi terbitnya mingguan, ” jelasnya.

Momentum yang terkadang diartikan sebagai sebuah keberuntungan atau karunia (blessing) dengan balutan profesionalisme, akhirnya memang menjadi kata kunci pertumbuhan sebuah perusahaan pers yang sedang dibangun. Koran sebesar Kompas pun, seperti dipaparkan Jakob Oetama sebagai salah seorang perintis, juga mengalami masa perkembangan yang sangat signifikan ketika memperoleh momentum yang tepat.

Perkembangan koran ini (Kompas) barulah terjadi setelah ada perubahan besar dalam tahun 1965, setelah peristiwa G.30.S/PKI. Pada mulanya perkembangan itu disebabkan oleh, pertama, peristiwa yang tegang setelah peristiwa G.30S/PKI, kedua adanya kebebasan pers yang lebih leluasa dibandingkan dengan periode sebelumnya dan ketiga adalah kemungkinan embrio sikap profesionalisme dalam redaksi maupun dalam pengelolaan bisnis yang berupa sirkulasi, iklan serta pengelolaan keuangan. (*)

(Dikutip dari Buku SOLOPOS, Satu Dasawarsa Meningkatkan Dinamika Masyarakat karya Mulyanto Utomo [2007], halaman 75-92)

0 komentar:

Posting Komentar