19 Oktober 2008

Warna Baru Jurnalisme Indonesia

BUKU
Semarang, 9 Oktober 2008

Warna Baru Jurnalisme Indonesia
Oleh Anindityo Wicaksono

Judul: Jurnalisme Sastrawi (Antologi Liputan Mendalam dan Memikat)
Penulis: Tim Yayasan Pantau
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta
Cetakan: Kedua (Edisi Revisi), Mei 2008
Tebal: XXV+324 halaman

JURNALISME sastrawi atau jurnalisme literair adalah satu genre yang awalnya diperkenalkan wartawan-cum-novelis, Tom Wolfe. Setelah luas berkembang di Amerika Serikat di tahun 1960-an, beberapa pemikir jurnalisme lalu mengembangkan temuan Wolfe ini. Ada yang pakai nama "narrative reporting", "passionate reporting", hingga "explorative journalism".

Apapun sebutannya, genre ini adalah disiplin terberat dalam jurnalisme. Ia menelanjangi persoalan lebih dalam dari in-depth reporting. Risetnya pun mendalam, melibatkan ratusan narasumber dan memakan waktu berbulan-bulan.

Inilah yang membedakannya dari reportase sehari-hari. Gaya bertuturnya menggunakan pemaparan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.

Dengan begitu, ia tak lagi sekadar melaporkan seseorang melakukan apa, namun lebih menukik ke dalam psikologi tokohnya. Hasilnya: ada karakter, drama, babak, adegan, dan konflik.

Di Amerika Serikat, genre ini adalah jawaban media cetak ketika media elektronik membanjiri ruang publik. Karena kalah dalam kecepatan dan visualisasi dengan televisi, media cetak unggul dalam kedalaman.

Indonesia sendiri sudah mulai mengembangkan tehnik baru jurnalisme ini. Salah satunya seperti yang dilakukan majalah Pantau, majalah yang mengulas tentang media.

Delapan kisah di buku ini adalah kumpulan hasil tulisan di majalah Pantau pada medio tahun 2001-2004. Temanya beragam. Ada kisah pembunuhan orang-orang Aceh oleh tentara Indonesia di Lhoksumawe-Aceh, persaingan media di tengah konflik Maluku, hingga hikayat seorang pemulung yang mati dibakar warga di Jakarta Barat.

Panggilan Mulia

Ada perbedaan amat mencolok karya di buku ini dibandingkan karya-karya jurnalis Indonesia lainnya. Salah satunya di tulisan berjudul "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" karya Alfian Hamzah. Alfian mengangkat kisah yang belum pernah ditulis wartawan Indonesia: keseharian tentara Indonesia di daerah-konflik Aceh.

Demi menghadirkan kisah bertutur yang memikat, dua bulan penuh Alfian mengikuti tentara Indonesia di Aceh. Dari hidup bersama di barak, keluar-masuk hutan mencari target operasi, hingga menyisiri desa-desa yang dicurigai tempat persembunyian GAM.

Hasilnya, karyanya mampu merekam sisi jenaka serdadu seperti di film Forest Gump atau pertentangan batin mereka merindukan keluarga seperti film Casuality of War dan Saving Private Ryan. Juga serunya dar-der-dor gencatan senjata dengan GAM seperti di film We Are Soldiers.

Sebutan prosa terbaik dan paling orisinal yang pernah ditulis jurnalis Indonesia, testimoni penerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003 Maria Hataningsih., tampaknya tak berlebihan.

Keseluruhan tulisan di antologi liputan ini mengesankan. Walau cerita dijalin dengan kata-kata panjang, ia sukses membuat pembacanya betah berlama-lama. Penggambarannya penuh detail. Bahasanya pun memikat, penuh emosi.

Bukan hanya itu, karya-karya ini tak cuma mewakili sesuatu yang baru dan menarik dalam jurnalisme di Indonesia. Namun juga memenuhi panggilan mulia setiap wartawan: melayani warga.

0 komentar:

Posting Komentar