19 Oktober 2008

Ketika Gamelan Tak Lagi Diminati

FEATURES
Semarang, 17 September 2008

Ketika Gamelan Tak Lagi Diminati
Oleh Anindityo Wicaksono

BERMAIN DEMUNG: Mbah Parjo (78), sedang memainkan alat musik
tradisonal Demung buatannya, Rabu (17/9).
(FOTO: Anindityo Wicaksono)

TRADISI kuno menyebutkan, irama gamelan Jawa berasal dari kepribadian asli Jawa yaitu keselarasan. Berbeda dengan ritme gamelan Bali yang rancak dan Sunda yang didominasi seruling, gamelan Jawa lebih lembut. Dengan memainkannya, kita diharapkan mampu mengatur keseimbangan emosi dan menata perilaku yang laras dan harmonis.

Kini, di tengah gempuran budaya modern, musik tradisi bernilai luhur ini kian terpinggirkan, terutama oleh kaum muda. Seiring menurunnya peminat, pengrajin gamelan pun nyaris selalu sepi orderan.

Kondisi ini ternyata tak mengurangi kesetiaan Mbah Parjo (78) pada alat musik tradisi ini. Kini, Mbah Jo Gong, begitu dia dikenal masyarakat, terus berusaha melestarikan aset budaya Jawa ini dengan bertahan menjadi satu-satunya pengrajin gamelan di Semarang.

“Sudah selama 56 tahun saya setia membuat gamelan,” katanya ketika ditemui di kediamannya di Jalan Dworowati Raya 4, Kelurahan Krobokan, Semarang, kemarin.

Awalnya, pria asli Bekong Surakarta ini mulai belajar pembuatan gamelan di Desa Gendingan, Mangkunegaran, Surakarta. Ketika berusia 18 tahun, dia bekerja pada seorang pembuat gamelan ternama yang bernama Mpu Kartopandoyo.

Ketika itu, katanya, dia hanya boleh ikut membantu, belum boleh belanja bahan dan membuat sendiri. Setelah dua tahun bekerja, barulah dia diperbolehkan menempa logam dan 'nglaras' (menyetel nada gamelan). "Oleh guru saya, saya dijuluki 'Darso Berdhonggo', artinya Darso si tukang gamelan," kenangnya.

Ketika dianggap mampu mandiri, Mpu Kartopandoyo menyuruhnya ke Semarang untuk membuka usaha sendiri. Syaratnya, dia tidak boleh buka usaha lain selain membuat gamelan dan harus menurunkan ilmunya pada orang lain. "Ketika itu saya dipinjami modal sebesar Rp 10, jaman sekarang nilainya sekitar Rp 2,5 juta," ujarnya.

Di Semarang, seiring namanya makin dikenal penikmat gamelan, usahanya berkembang pesat. Pesanan terus berdatangan dari dalang, sekolah-sekolah, hingga instansi-instansi daerah. Cukup sering dia mendapat order dari kota-kota lain di Jawa Tengah selain Semarang.

Ketika itu, sempat dia mengantongi ijin usaha untuk kerajinan timah dan tembaga. Nama perusahaannya, Perusahaan Gamelan "Gotong Royong". Area di belakang rumah, dia jadikan tungku pembakaran bahan baku. "Waktu itu belum ramai penduduk seperti sekarang. Asap dari tungku tidak terlalu mengganggu warga," kata ayah lima putra ini.

Tergantung Bahan

Sekitar tahun 1980-an, ketika omzet usahanya terus mengalami penurunan, ijin itu dia kembalikan karena pendapatannya tidak sanggup menutupi pajak tiap tahunnya. Bahkan, aku dia, sudah tiga bulan terakhir ini tak ada pesanan maupun panggilan jasa nglaras gamelan sama sekali.

Menurut dia, peminat gamelan mulai sepi sejak campur sari marak. “Apalagi ketika musik barat dan karaoke mulai digandrungi," jelasnya yang mengaku hanya sekolah sampai kelas tiga Sekolah Rakyat (setingkat SD) ini.

Harga satu set gamelan beragam tergantung jenis bahan bakunya. Untuk bahan perunggu, misalnya, mencapai Rp 360 juta. Sedangkan besi lebih murah yaitu sekitar Rp 40 juta.

Bahan baku amat menentukan warna dan ketepatan nada gamelan. Gamelan paling baik suaranya, berbahan perunggu. “Tapi karena biayanya sangat mahal, biasanya digantikan kuningan atau besi kualitas unggul, meski tak bisa semerdu perunggu," ungkapnya.

Selain nada, besarnya selisih harga dikarenakan kualitas bahan sangat menentukan usia alat sebelum berkarat. Dia mencontohkan, umur gamelan dari besi mencapai 10 tahun, kuningan 50 tahun, dan perunggu bisa sampai 80-100 tahun.

Dia menuturkan, untuk satu set gamelan bahan perunggu, proses pembuatannya memakan waktu satu bulan dengan pekerja 12 orang. Bahan kuningan lebih cepat yaitu 20 hari. "Gamelan perunggu komposisi bahannya 10:3, yaitu 10 perunggu, 3 timah," katanya.

Satu set lengkap gamelan khas Jawa, lanjutnya, terdiri dari gambang, senthem, bonang, tenong, peking, saron, gender, demung, siter, kempul, dan gong.

Prihatin

Laras dalam gamelan Jawa adalah nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog.

Slendro, terangnya, memiliki 5 nada per oktaf dengan perbedaan interval kecil yaitu 1-2-3-5-6. Sedangkan pelog, memiliki 7 nada per oktaf dengan perbedaan interval besar yaitu 1-2-3-4-5-6-7. "Untuk nglaras gamelan, saya harus berkiblat pada satu demung yang dijadikan patokan, tidak boleh meleset," ungkapnya.

Dia mengaku masih kesulitan untuk memasarkan sendiri. Kendala pemasaran dan modal kerap menjadi hambatan usahanya. "Pernah karena lama tak mendapat order, saya coba titipkan gamelan pada toko barang antik. Namun hingga 1,5 tahun tak laku-laku," tuturnya.

Selain karena usaha gamelannya yang terus merugi, ada lagi yang menjadi keprihatinan Mbah Jo Gong. Sebagai pengrajin gamelan tertua di Semarang, dia mengkhawatirkan masa depan musik gamelan akibat mulai ditinggalkan generasi muda.

Dari kelima anaknya, ujarnya, hanya satu yang hingga kini membantunya ketika ada orderan. "Sisanya, lebih memilih pekerjaan lain yang lebih menguntungkan ketimbang sekadar membuat gamelan,” pungkasnya.

1 komentar:

  1. Mas Mohon diberikan penawaran untuk 1set gamelan slendro dan 1set gamelan pelog komplit termasuk kendang, aku minta penawaran 3 bahan, klu prunggu berapa, klu kuningan berapa dan kalau besi biasa berapa, terimakasih email:agoessetyoko@yahoo.co.id (Agus Setyoko)021-6854 7276/0812 966 8048

    BalasHapus