19 Oktober 2008

Mereka Mengaku Pasrah

FEATURES
Semarang, 7 Oktober 2008
Mereka Mengaku Pasrah
*Drainase sebagai Solusi Alternatif Rob
Oleh Anindityo Wicaksono


WARGA Kota Semarang yang menetap di kawasan resapan air laut hanya bisa pasrah ketika rob (limpasan air laut) mengenai areal permukiman. Sebab, upaya peninggian jalan dan lantai bangunan, selama ini belum mampu menyelesaikan masalah ini secara permanen.

"Segala upaya peninggian lantai rumah hingga jalan kampung sia-sia. Ditinggikan berapa meter pun, tanah perlahan ambles lagi. Nyatanya, saban air laut pasang, kawasan perumahan selalu tergenang," kata Andono Karyo (43), warga Kampung Blusuk 58C RT 02/RW 11, Kelurahan Kemijen, Semarang Timur, kemarin.

Ketika pertama menetap di kampung ini tahun 1993, ia dan warga lain belum pernah mengalami rob. Namun, ketika kawasan industri Pelabuhan Tanjung Mas mulai dibangun tahun 1995, setiap terjadi air laut pasang, air selalu merembes. Jalan-jalan tergenang hingga masuk ke dalam rumah-rumah warga.

Sejak 1995 rob terjadi hampir setiap sekali sebulan. Sejak itu, Andono meninggikan rumahnya lima kali dengan akumulasi ketinggian satu meter. "Karena kondisi ekonomi warga berbeda, koordinasi upaya peninggian jalan tidak dapat dilakukan bersama-sama warga satu RT," katanya. Berbeda dengan RT lain yang kondisi ekonomi warga memungkinkan, katanya, bisa dilakukan peninggian secara swadaya dengan iuran sebesar Rp50 ribu per KK.

Tahun 1997 Andono bersama tetangga dekat meninggikan permukaan jalan dan menutup dengan paving blok hingga setengah meter. Namun, lanjutnya, upaya itu tidak membuahkan hasil memuaskan, karena setelah lima tahun peninggian permukaan jalan, rob kembali terjadi. "Dibanding ketika saya pertama kali tinggal di sini, permukaan jalan sudah ambles sekitar satu meter," kata dia.

Menurut pantauan, pada rumah-rumah warga kurang mampu, ada rumah yang ketinggian lantai dengan langit-langitnya tinggal tersisa 1,5 meter akibat tanah yang terus ambles. Untuk masuk rumah, pemilik rumah pun terpaksa membungkukkan badan.

Andono mengaku, hingga sekarang, rob selalu datang tiap kali air laut pasang. Biasanya, air laut pasang sekitar pukul 16.00 dan surut 23.00. "Ketinggian air mencapai 30-50 sentimeter dan masuk dalam rumah," kata dia.

Iuran Warga

Hal serupa dirasakan Tumini (34), warga Tegalrejo Gang 6 RT 06/RW 09, Kelurahan Kemijen, Semarang Timur. Ia mengaku, selama tinggal di sana sudah tiga kali meninggikan lantai rumahnya dengan akumulasi ketinggian mencapai satu meter.

Namun, lanjut dia, permukaan tanah perlahan-lahan ambles lagi, sekitar setengah meter tiap tahunnya, sehingga ketinggian rumah yang tadinya melebihi tinggi jalan, perlahan turun hingga di bawah ketinggian badan jalan.

Ia mengatakan, permasalahan yang selalu dibicarakan dalam setiap rapat pertemuan RT itu akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk meninggikan jalan secara swadaya. "Pengurukan jalan sesetinggi setengah meter itu selesai dilakukan pada Desember 2006 lalu. Biaya dan tenaga dilakukan ditanggung swadaya warga," kata dia.

Tumini mengatakan, untuk peninggian jalan, per KK iuran Rp50 ribu untuk membeli bahan-bahan material, seperti tanah, pasir, dan paving blok. Untuk menghemat biaya, tambah dia, pengerjaannya dilakukan oleh kepala keluarga secara gotong royong.

"Peninggian jalan ini hanya dilakukan sebatas per RT, tergantung koordinasi warga masing-masing. Kalau di RT lain, peninggian dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing warga. Di RT 02 koordinasinya dapat cepat dilakukan karena hanya terdiri dari 17 KK, sehingga rembug warganya tidak terlalu sulit dilakukan," kata dia.

Namun, lanjut dia, permasalahan peninggian jalan itu mempunyai dampak buruk yang lain. "Setelah ditinggikan, ketinggian jalan sekarang melebihi tinggi rumah, maka tiap kali hujan deras, giliran air hujan yang masuk ke dalam rumah. Mau tidak mau rumah harus ditinggikan kembali, untuk itu tentu perlu dana lagi," kata dia.

Ia mengatakan, walaupun selalu kebanjiran, ia mengaku tidak akan berpindah rumah. "Walau pas-pasan, penghasilan saya menghidupi anak-anak saya sudah berpuluh-puluh tahun dari usaha warung di sini. Kalau pindah rumah, nanti mau cari uang di mana," kata dia.

Permukaan tanah yang ambles dan rob juga sering terjadi di Kelurahan Mlatiharjo. Banyak bangunan lama di daerah ini kondisinya memprihatinkan karena ketinggian bangunan menurun drastis.

Beberapa kusen jendela pada bangunan lama tersebut terlihat hampir menyentuh permukaan tanah. Bagi warga yang mampu, untuk menghindari genangan rob, mereka terpaksa beberapa kali meninggikan permukaan lantai dan atap.

Di daerah ini, pemukaan jalan di gang sebagian besar memang sudah dibangun dengan konstruksi paving blok, namun jalan utama Mlatiharjo saat ini masih dalam proses peninggian permukaan.

Drainase

Terpisah, staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kota Semarang Sarbidi mengatakan, selama ini pemerintah dan masyarakat wilayah pantai kota Semarang mengandalkan sistem drainase, yang menjadi kesatuan dengan sistem drainase perkotaan, untuk menangani masalah rob dan banjir karena hujan.

"Sistem drainase disinergikan dengan normalisasi sungai, pembangunan tanggul sungai, pembagunan kolam penyimpan air, pompa dan pintu air," tuturnya.

Prasarana dasar yang harus ada bagi permukiman di daerah pantai adalah sistem drainase, mengingat kawasan tersebut rawan genangan air akibat rob dan banjir."Sistem drainase permukiman pantai yang ada di Semarang masih menjadi satu kesatuan dengan sistem drainase perkotaan, dan terbagi menjadi empat wilayah pelayanan," tambah dia.

Wilayah-wilayah pelayanan tersebut adalah drainase Tugu mencakup areal seluas 35,4 kilometer persegi, drainase Semarang Barat 12,4 kilometer persegi, Drainase Semarang Tengah 27,2 kilometer persegi, dan drainase Semarang Timur 47,8 kilometer persegi. "Total biaya proyek pembangunan sistem drainase mencapai Rp940 milyar," ungkap Sarbidi.

Mengenai penanganan rob yang mempengaruhi, merusak, rumah dan bangunan, kata dia, antara lain dilakukan dengan pengurugan lahan secara bertahap, peninggian lantai rumah setiap lima tahun sekali, peninggian lantai halaman atau pemasangan bendung pengendali agar tidak memasuki rumah, dan, alternatif terakhir, pembuatan rumah bertiang / rumah panggung.

"Setelah dilakukan peninggian lahan dua sampai tiga kali, biasanya rumah terpaksa harus dibongkar," pungkas dia.

0 komentar:

Posting Komentar