19 Oktober 2008

Spirit Ekonomi Kerakyatan

KOLOM
Semarang, 4 April 2008
Spirit Ekonomi Kerakyatan
Oleh Anindityo Wicaksono

HARI-HARI ini agaknya menjadi saat yang gelap penuh ketakutan bagi pelaku ekonomi dunia. Profesor ekonomi John Hopkins University Steve H. Hanke, belum lama ini, mengingatkan pemerintah Indonesia untuk bersiap diri menghadapi ancaman krisis hebat yang mendera perekonomian dunia dewasa ini (Kompas, 27/3).

Penting diketahui, dampak resesi global kini telah berimbas pada pasar regional, lalu pasar lokal. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, yang sempat mencapai level 2.800 tahun 2007, kini merosot hingga kisaran 2.300-2.400. Singkat kata, konon kelesuan pasar keuangan global ini koinsiden dengan krisis subprime mortgage atau kredit perumahan kualitas rendah di AS dan lonjakan harga minyak dunia yang tergolong dahsyat.

Apabila kondisi pasar uang regional seperti ini berkepanjangan, bukan tidak mungkin akan membawa permasalahan baru yang akut bagi Indonesia. Pertanyaannya, di mana ruang eksistensi pemerintah kini selaku regulator ekonomi? Lalu bagaimana sebaiknya menghadapi goncangan krisis dunia berkepanjangan di tengah himpitan ekonomi masyarakat seperti saat sekarang?

Untuk menyikapi ekses-ekses negatif krisis global yang berpotensi mengeyakkan kita, sudah saatnya Indonesia mulai membangun penguatan fundamental ekonomi secara menyeluruh.
Dari sisi dana, pemerintah boleh berbangga diri atas kesuksesannya mengalang dana dari masyarakat lokal semisal SUN dan ORI. Begitupun tingkat inflasi dan tingkat konsumsi masyarakat yang masih cukup stabil dapat masih dapat menjadi modal dasar bangsa untuk bertahan dari krisis ekonomi global.

Stabilitas ekonomi
Kiranya ada tiga langkah yang dapat dimulai dari sekarang. Pertama, konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi Pancasila yang jauh-jauh hari dulu dikembangkan para pendiri bangsa ini kini selayaknya mendapat perhatian lebih banyak. Dipungut dari pengalaman, peran partisipasi aktif ekonomi masyarakat yang telah terbukti menjadi kekuatan utama penggerak sektor ekonomi riil perlu lebih diselaraskan.

Pemberdayaan sektor informal seperti UKM dan industri kecil kreatif perlu disokong dan disuppot sebagai faktor penentu penggalang spirit ekonomi kerakyatan. Kita maklum, selama ini sektor ini masih menjadi anak tiri pemerintah dalam hal dukungan. Padahal, sektor riil atau informal terbukti masih menjadi pilar utama perekonomian negara kecil berkembang seperti Indonesia.

Kedua, jangan sampai krisis ini malah dijadikan alasan pembenaran pemerintah untuk bermain pada tataran liberalisasi ekonomi. Kebijakan ekonomi harus berpihak pada kemashlatan bersama, dengan memisahkan antara pemberesan krisis politik internal yang masih berlangsung dan melanjutkan pemberesan ekonomi secara independen sambil mengupayakan stabilitas sosial.

Meski saat ini pemerintah tengah menghadapi kendala serius dalam menyelamatkan APBN 2008 akibat pembengkakan subsidi, kita masih mempunyai banyak modal dasar untuk bertahan. Dengan meniadakan berbagai subsidi secara bertahap, pemerintah dengan sengaja menyerahkan harga barang-barang pada mekanisme pasar. Hal ini jelas akan menukik langsung pada keadaan yang menyulitkan kaum tak berpunya yang sudah lama tertindih kesulitan ekonomi.

Ketiga, semua ketergantungan ekonomi asing harus perlahan-lahan mulai kita tanggalkan. Pemerintah harus berani mengurangi cengkeraman asing dalam kepemilikan modal di berbagai perusahaan pengerukan sumber daya di Indonesia yang terbukti lebih banyak merugikan kita.
Mengapa demikian? Sungguh ironis, negeri ini kaya, tapi selalu saja dijarah orang. Masih segar dalam ingatan, bagaimana rendahnya posisi tawar kita dalam menghadapi ketidakjelasan kontrak kerja di Blok Cepu dan Natuna yang lebih banyak rugi ketimbang untungnya.

Kalau kita belum bisa mengambilnya, lebih baik tetap kita simpan saja di dalam tanah sampai kita bisa menggalinya sendiri. Toh yang akan menikmati anak-cucu kita. Itu lebih baik daripada dijarah.

Hendaknya analisis Hanke dapat dijadikan cemeti yang melecut pemerintah untuk mengonstruksi arah kebijakan ekonomi yang memihak pada stabilitas. Jika tidak, perekonomian kita akan tinggal menunggu waktu terjerembab bersama kenangan buruk krisis ekonomi 10 tahun silam.

(Dimuat di Harian Kompas Jateng, 4 April 2008)

0 komentar:

Posting Komentar