19 Oktober 2008

Pelajaran dari Galabo Solo

KULINER
Surakarta, 22 September 2008
Pelajaran dari Galabo Solo
Oleh Anindityo Wicaksono


MALAM tadi saya berkunjung ke pusat wisata kuliner Kota Solo: Gladag Langen Bogan (Galabo). Letaknya di sepanjang Jl Mayor Sunaryo, Gladag, Solo (utara kawasan alun-alun utara). Bukanya cuma malam hari, dengan menutup jalan umum di depan pusat batik Pusar Grosir Solo (PGS) dan Beteng Trade Center (BTC).

Galabo? Ya, walau pusat jajanan ini baru buka sejak Januari 2008, namanya sudah terkenal seantero Solo dan sekitarnya. Ditambah publikasi dari salah satu televisi swasta belum lama ini, tambah masyhurlah tempat ini menjadi ikon para pecinta wisata-kuliner.

Sebagai pusat kuliner terbesar dan terlengkap di Solo, segala macam makanan bisa kita temui di titik pusat kota atau nol KM dari Solo ini. Dari makanan tradisi gudeg, nasi liwet, tiwul goreng, es dawet, hingga masakan mancanegara macam martabak Mesir, nasi goreng India, hingga kebab Turki.

Pengunjung di arena foodcourt ini selalu membludak, terutama di musim liburan. Jika di hari biasa jumlah pengunjung sebanyak 1.500-2.000 orang, di malam libur mencapai 3-4 ribu pengunjung.

Tak sedikit para pengunjung yang berasal dari kota-kota besar. Hal ini terlihat dari banyaknya kedaraan berplat luar Solo di areal parkiran. Pengunjungnya pun berasal dari segala golongan; mulai sepeda motor butut sampai mobil-mobil mewah.

Berdasarkan papan informasi, total ada 43 pedagang kaki lima (PKL) makanan di situ. Menurut seorang pedagang, Widodo (25), tempat itu diprakarsai Pemkot Surakarta. Agar tertib dan memudahkan pemantauan, kata Widodo (25), salah satu pedagang, tak sembarang pedagang boleh berjualan di situ.

Gerobak besi dan kursi serta payung peneduh disediakan gratis pemkot. "Pedagang hanya diwajibkan membayar pajak penghasilan (PPH), serta sewa listrik dan air," ujar warga Nusukan Solo ini.

Dari nama-nama di plang kios, sebagian besar adalah PKL makanan yang namanya sudah tak asing. Kios susu segar "Si Jack", misalnya. Kios yang khusus menjual susu segar ini memang sudah legendaris bagi warga Solo pecinta-makan.

Di cabang pusatnya, kios ini selalu ramai pengunjung. Sesuai namanya, menu yang tersaji sebagian besar susu segar dengan aneka variasinya. Ada susu stroberi, coklat, sundae, milkshake, hingga susu soda gembira yang berbahan susu segar. Bukan susu kaleng seperti umumnya tempat lain.

Harganya terbilang relatif murah. Dawet misalnya, dijual seharga Rp 4 ribu per porsi. Sedang nasi goreng paling murah mulai Rp 6 ribu per porsi.

Selain akrab dengan kantong dan beraneka ragam jenis makanannya, kawasan pusat wisata kuliner Gladag sangat nyaman. Terutama dijadikan tempat berkumpul. Tempatnya teduh, jalannya sudah di-pavling semua, dan, yang terutama: aman.

Gerobak makanannya berjejer teratur secara paralel. Rapi di satu baris. Penjaja kiosnya ramah-ramah. Bahkan, sebagai penarik, tak sedikit wanita-wanita muda yang tampil modis dengan baju batik atau rok mini 'mejeng' menjadi penjaga kios.

Kutha Budaya

Solo memang sedang banyak berbenah akhir-akhir ini. Terutama sejak ia mengusung slogan "Kutha Budaya" atau "City of Heritage" (kota warisan-budaya) dengan punggawanya: Walikota Solo, Djoko Widodo.

Bersih, nyaman, dan berbudaya. Itulah kesan yang saya tangkap dari wajah baru kota ini.

Persoalan PKL liar tampaknya perlahan mulai terselesaikan di kota Keris ini. Sejak dari Jl Slamet Riyadi hingga alun-alun kota, kita sepi mendapati tumpuk-menumpuknya PKL liar di sepanjang jalan. Seperti yang biasa kita temui di Jakarta, Semarang, atau kota besar lainnya.

Menurut teman saya warga Solo, Terminal Tirtonadi Solo kini juga makin nyaman dan sedap dipandang. Para PKL dan aneka kios yang tadinya saling berhimpit di areal depan maupun dalam terminal kini sudah direlokasi. Akibatnya, saluran-saluran air yang tadinya tertutup akibat menjadi tempat berjualan, sekarang bisa direnovasi.

Menurut saya, pengelolaan model begini patut kota besar lain tiru. Terutama Kota Semarang sebagai ibukota provinsi yang sedang gencar menuju kota perdagangan dan jasa. Walikota Semarang Sukawi Sutarip sepatutnya "berguru" pada Joko Widodo. Sebagai punggawa daerah, Joko terbukti mampu memegang komitmenn dalam membenahi kotanya. Terutama dalam urusan pembangunan fasilitas umum dan PKL.

Persoalan PKL yang selama ini menjadi momok penghambat pembangunan, toh dapat teratasi jika mau bijak disikapi. Kesalahan terbesar para kepala daerah selama ini adalah cenderung memberlakukan kebijakan satu-arah yang kerap terlalu memihak pemodal.

Walhasil, para pedagang tak diberi ruang menyampaikan pendapatnya. Penggusuran pedagang (baca: penertiban) jarang yang memberi solusi. Pemkot sebagai pengayom daerah, justru menjadi kerikil penghambat gerak roda perekonomian rakyat.

Seperti di Gladag, ternyata PKL mampu menjadi pesona kota dan saling bersinergi menjadi sumber pemasukan daerah. Galabo telah menepis segala anggapan miring tentang mental pedagang-pinggiran yang tak mau kalah cum antikompromi. Ketika pemda setempat mau memfasilitasi sarana-prasarana bagi pedagang, ternyata mereka siap memberi pelayanan prima.

Saya yakin, Galabo kelak dapat menjadi salah satu pusat percontohan revitalisasi PKL Apalagi sektor ini selama ini yang menjadi PR di banyak daerah. Kini pertanyaannya, bisakah Semarang punya kawasan wisata kuliner terpadu yang merakyat? Bukan seperti kawasan pecinan Semawis atau Tanah Mas yang makanannya serbamahal? Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar