19 Oktober 2008

Balada Keluarga Nelayan

FEATURES
Semarang, 27 Agustus 2008

Balada Keluarga Nelayan
Oleh Anindityo Wicaksono

SEHARIAN tadi saya ikut meliput bersama salah seorang wartawan Harian Suara Merdeka Biro Kota, Aris Mulyawan (27). Dia adalah wartawan "floating", wartawan yang tak punya bidang tetap; pewartayang harus terus menemukan berita-beritanya sendiri. Ini berarti dia tak boleh masuk ke dinas-dinas, pengadilan, atau kepolisian.

Liputan kali ini mengenai proses penyerahan sertifikat tanah warga Desa Tanggulsari, Kecamatan Tugu, oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Semarang. Kepala BPN Kota Semarang Yahmah mengatakan, hal ini dilakukan agar tanah eks bengkok milik Pemkot itu dapat diperuntukkan kegiatan produktif warga yang sebagian besar nelayan itu.

Menurut dia, penyerahan sertifikat ini adalah puncak dari proses panjang yang dilakukan BPN. Di tahun 2002, BPN melakukan tukar guling tanah, tahun 2006, mulai proses pengalihan status kepemilikan tanah. Lalu sejak tahun 2007, BPN mulai mengurus segala yang terkait proses sertifikasi.

Selain itu, tanah seluas 10.850 meter persegi ini disisihkan sekitar luasan 3.000 meter persegi untuk dipergunakan pembangunan fasilitas sosial seperti jalan umum dan MCK.

Senyum lega tersungging di wajah para warga ketika menerima sertifikat tanah itu. Rohiyah, (43), warga Desa Tanggulsari penerima sertifikat, misalnya. Dia mengaku senang karena status tanah tempatnya bermukim kini mendapat kejelasan. "Apalagi kini status kepemilikan tanah sah menjadi hak milik para warga," katanya yang mengaku tinggal di daerah itu sejak tahun 1987.

King-king

Sebelum pulang, Aris mengajak saya untuk ikut melihat para nelayan di daerah pinggiran laut. Desa Tanggulsari memang dekat dengan laut, tak sampai satu kilometer. Itulah mengapa sebagian besar warga di sini bermata pencaharian sebagai nelayan. Pemandangan kapal-kapal yang merapat dan tambak-tambak menjadi tak asing di sini.

Kami memutuskan untuk menghampiri kumpulan beberapa perahu yang merapat di pinggiran muara. Ada tiga perahu yang baru kembali dari laut. Di dalam semua perahu, ada beberapa nelayan yang sedang mengeluarkan hasil tangkapan dari jala.

Di salah satu perahu yang kami hampiri, ada empat orang sedang asyik memisahkan sejenis kepiting kecil dari jeratan jala. Tiga orang satu keluarga yaitu bapak, ibu, dan seorang anak laki-laki usia lima tahun. Satu orang lagi seorang bapak usia sekitar 40 tahun, turut membantu.

Menurut Syafii (37), salah satu nelayan, mereka sedang mengeluarkan King-king, semacam jenis Rajungan. Namun bedanya, King-king ukurannya lebih kecil.

Karena ukurannya yang lebih kecil dan rasanya yang kalah enak ketimbang Rajungan, King-king dihargai lebih murah. Jika Rajungan dihargai Rp 40.000 per kg, King-king hanya Rp 10.000 per kg. "Sekarang sedang tidak musim Rajungan," katanya.

Untuk jenis jala yang dimiliki perahunya, dia mengakui paling banyak menangkap King-king dan udang besar. Namun, karena sepinya hasil laut, pendapatan yang diperoleh setelah menjual King-king sering kali tak mampu menutupi biaya perjalanan seperti logistik dan perbekalan bahan bakar.

"Untuk membeli bahan bakar dari campuran minyak tanah dan solar saya biasanya menghabiskan Rp 60.000 untuk 10 liter tiap kali jalan. Sedang tiap hari rata-rata mendapat enam kg King-king yang dijual seharga Rp 60.000. Ini kan berarti hanya impas," katanya.

Terkait isu pencabutan subsidi harga minyak tanah, ia mengaku pasrah. "Bayangkan nasib nelayan seperti saya ini, sebelum harga minyak tanah naik saja penghasilan sudah seret. Apalagi masih ditambah kenaikan harga," katanya.

0 komentar:

Posting Komentar