21 Februari 2009

Tak Lagi Bernyali

KOLOM
Semarang, 21 Februari 2009
Tak Lagi Bernyali
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://qizinklaziva.files.wordpress.com)

PEMILU 2009 yang sedianya berlangsung pada 9 April tinggal hitungan hari. Kancah demokrasi kini memasuki jadwal kampanye yang menurut peraturan KPU No. 20/2008, antara 2 Januari-5 April 2009. Tak heran, sejumlah elite politik di seantero negeri pun sibuk ”menjual diri” demi meraup dukungan suara.

Ruang publik kini memang tak ubahnya parade atau lebih tepatnya perang kampanye. Jalanan, halte, hingga pojok-pojok pasar tak ada yang luput dari foto-foto diri dan janji-janji manis caleg. Belum lagi partai, yang dengan bendera ukuran jumbonya atau daftar prestasinya dipampang besar-besar di tiap perempatan jalan.

Menurut peraturan KPU No.19/2008, kampanye adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu termasuk mengajak memilih seseorang atau partai tertentu.

Sama seperti fungsi promosi dalam usaha, kampanye bertujuan mengenalkan kandidat atau partai tertentu kepada calon pemilih. Secara umum, ada tiga jenis kampanye berdasarkan dampak dan caranya, yakni kampanye positif (positive campaign), kampanye negatif (negative campaign), dan kampanye hitam (black campaign).

Sendi kehidupan demokrasi Indonesia, yang menemukan momentumnya sejak era reformasi bergulir, kini cedera sejak kampanye negatif susul-menyusul selama masa kampanye. Kampanye negatif di sini adalah bentuk kampanye yang semata-mata menonjolkan dirinya; dan sebaliknya, mengungkapkan kelemahan lawan dengan tujuan meyakinkan masyarakat bahwa dirinya lebih baik dibanding kandidat lain.

Manipulasi

Demokrasi memang selalu berproses dalam diskursus antara pemupukan ambisi diri/golongan dengan niat tulus memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun demikian, diskursus demokrasi tidaklah selalu identik dengan adu mulut penuh kekosongan.

Menurut Jurgen Habermas (dalam Franz Magnis-Suseno, 2000), diskursus yang berlangsung harus tetap memuat empat klaim: kejelasan, kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Jika salah satu klaim tak terpenuhi, yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi manipulasi.

Ya, manipulasi! Itulah yang terjadi ketika banyak partai meradang, memilih kampanye negatif dengan saling umbar keborokan dan mengolok-olok partai lain. Lihat saja iklan saling tuding antara SBY dengan Megawati yang kian heboh di media massa. Atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang hemat penulis tak kalah liciknya: memanfaatkan perang urat syaraf antarpartai dengan duduk di pinggir, lalu tiba-tiba memosisikan diri sebagai penengah yang memang ”memilih diam”.

Ironis, dua partai incumbent, Demokrat dan Golkar, kian memperkeruh suasana, mengaburkan batas antara keberhasilan parsial partai dengan negara. Memanfaatkan aji mumpung menyandang status-quo, mereka mengklaim keberhasilan bangsa semata-mata buah perjuangan kepartaian, alih-alih buah perjuangan kolektif pemerintahan. Belum lagi kampanye berkedok kegiatan sosial-keagamaan yang merambahi ruang privat publik: pengajian, rapat RT, hingga pemberian paket bantuan korban bencana.

Hemat penulis, pelanggaran-pelanggaran demikian harus ditindak tegas. Jika tidak, tak salah jika oleh publik demokrasi disetarakan pertikaian tanpa ujung. Integritas moral, meminjam istilah Matthew Collins (2003), akan lenyap jika keutuhan perasaan, pikiran, dan tindakan yang mengutamakan kepentingan rakyat, disepelekan.

Mekanisme kampanye harus kembali pada fungsinya semula, yakni meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program peserta pemilu. Lebih dari itu berarti melanggar integritas moral; kata lain pengkhianatan demokrasi.

Kampanye positif

Kampanye positif dengan mengemukakan potensi dan kekurangan diri sekaligus, serta memuji pesaingnya, harus terus dikawal. Atmosfir demokrasi yang mengakui perbedaan harus dijunjung tinggi. Kiranya ada beberapa bentuk yang dapat ditempuh sebagai perwujudan kampanye positif.

Pertama, forum diskusi: membuka pintu dialog antara masyarakat dengan kandidat tentang permasalahan yang dihadapi suatu daerah. Bahkan jika caleg punya nyali, bukalah ruang dialog di kampus-kampus. Besar kemungkinan darinya akan memunculkan solusi. Bahkan, tidak hanya sebatas janji, kontrak politik dengan masyarakat pun dapat menjadi hasil akhir kegiatan.

Kedua, kampanye dengan terjun langsung ke lapisan masyarakat, menyentuh permasalahan sosial yang faktual, dan melihat apa permasalahan yang harus segera ditangani alih-alih ringan bercuap-cuap tanpa bukti.

Cara-cara unik namun positif yang ditempuh sebagian caleg berikut ini dapat ditiru. Dalam majalah Tempo (edisi 2/2/2009), dikisahkan bagaimana seorang kandidat Dewan untuk daerah pemilihan Bandar Lampung dari Partai Amanat Nasional (PAN), Ahmad Mukhlis (42), sampai hati berkampanye dengan berjualan siomay dan es kelapa muda di salah satu sisi jalan utama kota.

Ada juga di Surabaya, seorang kandidat dari PKS, Mudakkir Udin (34), rela pasang aksi mengayuh sepeda ontel keliling kota. Di depan stang sepedanya, terpampang selembar poster 40x40 sentimeter bertuliskan: ”Harga Diri Bukan Materi”.

Pertanyaannya, adakah lagi yang rela berpegal-pegal ria mengekor kampanye ala Ahmad dan Mudakkir? Ataukah mereka, yang mengaku-ngaku calon wakil rakyat itu, memang tak lagi bernyali untuk berhadapan langsung dengan masyarakat?

(Dimuat di Koran Sore WAWASAN, 24 Februari 2009)

0 komentar:

Posting Komentar