05 Februari 2009

Kekeliruan Paradigma Iklan Politik

KOLOM
Semarang, 5 Februari 2009
Kekeliruan Paradigma Iklan Politik
Oleh Anindityo Wicaksono

(Sumber gambar: http://www.inilah.com)

MENJELANG Pemilu 2009, partai-partai partisipan pemilu berlomba-lomba melakukan sosialisasi ke khalayak ramai. Bentuknya pun beragam. Mulai dari yang murah-meriah seperti spanduk dan baliho, hingga yang merogoh kocek dalam-dalam seperti membeli ruang iklan di media massa.

Dalam ilmu ekonomi, sosialisasi atau promosi—mencakup iklan—memang menjadi salah satu bauran pemasaran (marketing-mix) yang mendapat peran sentral. Menurut Basu Swastha (1990: 353), ada empat tujuan promosi, yaitu: (1) memodifikasi tingkah laku, (2) memberitahu, (3) membujuk, dan (4) mengingatkan.

Tujuan promosi untuk menumbuhkan kesadaran publik akan merek dan citra produk memang sudah menjadi hal yang jamak diterima. Namun, hal ini menjadi persoalan ketika diterapkan dalam ranah politik. Mengapa demikian?

Paradigma berpikir iklan komersial jauh bertolakbelakang dengan politik. Sedikitnya ada dua perbedaan esensial antara promosi produk komersial dengan produk politik. Pertama, jika iklan komersial mempunyai “filter”, yakni lembaga perlindungan konsumen yang berwenang menindak kebohongan publik, tidak halnya iklan politik.

Kedua, iklan komoditas komersial bersifat memperkenalkan barang dagangan konsumsi pribadi. Artinya, ia tidak memengaruhi kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Iklan politik, sebaliknya, karena memengaruhi proses pengambilan keputusan pemilih, ia amat menentukan arah pergerakan bangsa.

Iklan-iklan politik yang kini beredar luas nyatanya mengacu pada paradigma komersial, alih-alih mengutamakan jejak rekam yang valid. Ironisnya, hal ini justru diprakarsai partai incumbent.

Lihat saja bagaimana iklan televisi Partai Demokrat--kendaraan politik SBY—dengan pongah mengklaim 14 pencapaian dalam masa pemerintahan SBY sebagai andil tunggal mereka. Di antaranya yakni, penurunan harga BBM, pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen per tahun, swasembada beras, hingga proses hukum terhadap 500 pejabat publik terkait kasus korupsi.

Hemat penulis, hal ini adalah preseden buruk bagi kehidupan demokrasi bangsa. Partai Demokrat perlu disadarkan, semua keberhasilan yang mereka klaim sebagai komoditas iklan itu sebenarnya buah konstituen segenap penyelenggara negara. Bukan semata-mata buah perjuangan partai.

Benar bahwa kampanye dengan medium iklan lebih sehat ketimbang mobilisasi massa yang berpotensi mengeruhkan suasana. Namun, jika iklan politik model unjuk klaim keberhasilan dibiarkan, bangsa ini akan terus berkutat pada kehidupan demokrasi kekanak-kanakan, demokrasi yang hidup dari pengakuan dan mau menang sendiri.

Segenap elemen bangsa, termasuk mahasiswa dan para aktivis yang melek politik, harus mau turun ke kantung-kantung pemilih. Pembodohan publik dan pengaburan jejak-rekam calon yang diperagakan beberapa partai dalam iklan-iklannya harus diimbangi dengan pendidikan politik bagi rakyat.

Lebih jauh lagi, perang iklan hanya akan membidani para elit politik yang menghamba pada pasar. Mereka yang jungkir-balik mendulang dukungan demi kejayaan golongan. Setelah jaya, ujung-ujungnya, mereka akan meninggalkan para pemilih terjerembab dalam lubang kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan (politik).

0 komentar:

Posting Komentar