19 Februari 2009

Ketika Wartawan Malas, Bias, dan Bodoh

FILM
Semarang, 19 Februari 2009
Ketika Wartawan Malas,
Bias, dan Bodoh

Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.thecinemasource.com)

Judul: Resurrecting the Champ
Genre: Drama
Sutradara: Rod Lurie
Naskah: Michael Bortman dan Allison Burnett
Pemain: Samuel L. Jackson, Josh Hartnett, Kathryn Morris, dan Alan Alda
Produksi: Yari Film Group
Tanggal Rilis: 24 August 2007 (USA), Region One DVD (April 2008)

KIAN pesatnya perkembangan media elektronik dan multimedia ditengarai mempercepat kematian surat kabar. Menurut Direktur Eksekutif Serikat Penerbit Surat Kabar, Asmono Wikan (Kompas, 2/12/2007), pada 2007, jumlah terbitan secara nasional stagnan pada angka 17 juta eksemplar. Sedangkan khusus surat kabar turun sekitar 1 juta eksemplar.

Kondisi ini tak pelak membuat para pengelola media terus menekan wartawan untuk menghadirkan tulisan-tulisan yang memikat sekaligus obyektif. Tujuannya apalagi kalau bukan mempertahankan oplah. Jurnalis yang lahir di era begini pun bagai dua sisi mata uang. Yang berhasil, "byline"-nya menjadi jaminan; namun yang tak kuat menanggung beban, jalan pintas dijadikan solusi.

Hal inilah yang dicoba diangkat film Resurrecting the Champ (2007) besutan sutradara Rod Lurie. Adalah Erik Kernan (Josh Hartnett), wartawan olah raga Denver Times, yang sedang kelimpungan gara-gara berkali-kali artikel-artikel liputannya untuk laga-laga tinju lokal dimentahkan editornya, Metz (Alan Alda).

Tulisan-tulisan Erik dianggap belum mempunyai dampak. "Kamu cuma cocok menjadi tukang ketik, bukan jurnalis," ujar Metz tajam.

Kritik pedas ini membuat Erik sengit. Apalagi statusnya sebagai anak reporter legendaris Kota Denver, Erik Kernan senior, membuat dia lama jatuh-bangun demi lepas dari bayang-bayang nama besar ayahnya.

Tekanan batin yang dirasakan Erik ini masih ditambah dengan kacau-balaunya kehidupan pribadinya. Dia duda-cerai yang hidup terpisah dari anaknya yang berumur enam tahun yang sangat disayanginya, Teddy (Dakota Goyo), hasil buah percintaannya dengan mantan istrinya, Joyce Kernan (Kathryn Morris).

Sampai ketika suatu malam selepas liputan laga tinju lokal, dia bertemu dengan seorang gelandangan yang sedang dipukuli tiga berandalan. Setelah para pengganggunya ini dihalau Erik pergi, si gelandangan mengenalkan dirinya sebagai mantan juara dunia bernama "Battling Bob" Satterfield (Samuel L Jackson).

Nama Satterfield memang tercatat harum di dunia tinju profesional, berpuluh-puluh tahun silam. Jurnalis olahraga Erik yang memang tak asing dengan nama ini pun langsung percaya. Satterfield dikenal sebagai juara tinju yang hanya beberapa periode menikmati gemilang sabuk juara dunia sebelum akhirnya menghilang setelah dihantam masa-masa tersulitnya.

Tak pelak, kehadiran sosok Satterfield ini menjadi oase di tengah padang gurun bagi kemandegan karir Erik. Ia tak ragu berkukuh memperjuangkannya di hadapan redaksi. Keraguan editornya--seperti biasanya--kini tak digubris Erik.

Bahkan ia merasa tak pernah seyakin ini ketika "mengendus" nilai berita saat mendengarkan kisah si gelandangan. Ia percaya bahwa kisah hilangnya "Battling Bob" dari legenda dunia tinju, termasuk Rocky Marciano dan Jake ‘Raging Bull’ LaMotta, yang ternyata berakhir di jalanan gelap Denver, akan mampu melambungkan namanya sebagai jurnalis handal. Terutama demi membuat anaknya bangga.

Keyakinannya terjawab. Kisahnya dimuat besar-besar sebagai headline di salah satu edisi khusus Denver Times. Foto-foto Bob Satterfield segera memenuhi sampul cover.
Full-colour pula.

Karya sensasional yang menggemparkan seantero warga Denver ini pun segera mendulang apresiasi luas. Ribuan oplah terdongkrak. Buntutnya, Erik didaulat menjadi presenter olah raga tinju di salah satu stasiun lokal nomor wahid. Sampai-sampai ia hampir dinominasikan mendapat penghargaan Pullitzer.

Nilai kejujuran

Karya Erik ini memang besar, gaya bertutur yang ia gunakan memikat, dan didahului dari proses observasi yang cukup melelahkan. Namun, ia tak menyadari bahwa sebenarnya ia sedang melakukan sebuah kesalahan fatal yang mengancam keberlangsungan karirnya.

Erik tampaknya terlalu emosional hingga lupa pada pentingnya melakukan cek-ricek. Tanpa mengecek kebenaran pengakuan sang gelandangan, baik dari para pakar ataupun teman-teman dekatnya, dia "begitu polosnya" percaya lalu menuliskan kisah Bob.

Hingga akhirnya orang-orang yang pernah mengenal Bob bermunculan, barulah terbongkar bahwa sang gelandangan bukanlah Bob Satterfield asli. Bob "aspal" (asli tapi palsu) ini nyatanya tak lebih dari seorang pemabuk yang doyan membual. Dia sebenarnya bekas lawan yang pernah dipukul jatuh Bob Satterfield.

Pesan-pesan yang hendak disampaikan Resurrecting the Champ jelas: kejujuran adalah di atas segalanya. Selain itu, ia bercerita seputar kepercayaan, hubungan anak-ayah, hingga dinamika kehidupan pekerja pers yang penuh gejolak dan aroma persaingan.

Emosi penonton berhasil diaduk intens melalui rajutan adegan-adegannya. Dengan menghadirkan cuplikan-cuplikan pertandingan Bob Satterfield sebagai pembuka, misalnya. Di sepanjang sekelebatan laga tinju klasik itu, terdengar hentakan tuts mesin ketik, sambil terdengar suara melankolis Erik:

"Jurnalis tak ubahnya petinju. Saat pertama kali menurunkan tulisannya, ia seperti petinju memasuki ring tinju; menunggu apakah ia keluar sebagai pemenang, kalah, atau terkapar KO."

L.A. Times

Dalam kisah nyata yang diangkat berdasarkan sebuah artikel di L.A. Times Magazine yang ditulis J.R. Moehringer ini, para pecinta film akan dimanjakan permainan gemilang aktor kawakan Samuel L. Jackson. Perannya sebagai gelandangan terlihat mengalir wajar tanpa dipaksakan. Tak heran jika film ini disebut-sebut sebagai salah satu permainan terbaik dalam karirnya.

Film ini terbilang sukses di pasaran. Ia mampu menghasilkan total pundi US$3.172.573 di USA dan Kanada. Belum lagi hasil penjualannya di seluruh dunia yang mencapai US$69.854.

Meski begitu, bukan berarti film ini luput cela. Hemat penulis, pemilihan Josh Harnett sebagai Erik Kernan kurang tepat. Sebagai jurnalis, terutama ayah satu anak yang berumur enam tahun, pembawaan Erik terlihat terlalu "bersih" dan muda.

Penjiwaan Harnett pun masih terasa kurang maksimal. Apalagi dalam adegan ketika Erik dihantam berita terkuaknya bualan sang gelandangan. Wajahnya terlalu datar. Kurang memperlihatkan konflik batin yang intens.

Lalu apa kata wartawan senior dengan reputasi mendunia, Bill Kovach, tentang jurnalis seperti Erik Kernan? Mengutip bukunya yang menjadi "kitab suci" pekerja pers, The Elements of Journalism (2001), "wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu." Nah, lho!

0 komentar:

Posting Komentar