09 April 2009

Kegilaan Cinta Lars

FILM
Semarang, 8 April 2009
Kegilaan Cinta Lars
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.thecinemasource.com)

Judul: Lars and The Real Girl (2007)
Genre: Drama-Komedi
Sutradara: Craig Gillespie
Naskah: Nancy Oliver
Pemain: Ryan Gosling, Emily Mortimer, Paul Schneider, Kelli Garner, Patricia Clarkson
Produksi: Sidney Kimmel Entertainment (USA)
Rilis: 12 Oktober 2007
Durasi: 106 menit

"Terkadang kau menemukan cinta setidaknya di mana kau mengharapkannya."

TEMA percintaan memang selalu memesona. Era kebangkitan dunia musik dan film negeri ini pun kini tak jauh-jauh dari tema ini. Band-band "kemarin sore" menjadi primadona dadakan cukup dengan bermodalkan satu lagu cinta. Begitu pun film. Para sineas, layar lebar hingga sinetron, saling adu cepat mencuri perhatian khalayak dengan kisah percintaan.

Namun, karena rendahnya kreatifitas dan sindrom "tiru-meniru" yang menjangkiti hampir sebagian besar sineas kita, tema cinta menjadi semakin basi dan mudah ditebak. Konflik yang dihadirkan masih tak pernah jauh dari perselingkuhan, iri-dengki, persekongkolan, dan kecemburuan buta.

Sinema garapan sutradara Craig Gillespie ini berhasil menghadirkan warna baru dalam film cinta. Konflik yang dihadirkan bukan lagi rebutan pacar, kata-kata puitis mendayu-dayu, atau tangisan kehilangan tiada henti.

Dikisahkan, Lars Lindstrom (Ryan Gosling), seorang pemuda introvert yang manis, tinggal di sebuah garasi kosong bersebelahan dengan rumah kakaknya, Gus (Paul Schneider) dan istrinya, Karin (Emily Mortimer) yang sedang mengandung.

Kehidupan dua bersaudara-bertetangga ini awalnya berjalan normal. Mereka bertiga dikenal sebagai jemaat gereja lokal yang rajin dan gemar menolong. Keseharian Lars pun dihabiskan dengan bekerja, layaknya orang kantoran biasa.

Keadaan tak pernah sama lagi sampai pada suatu malam. Lars mengunjungi rumah Gus dengan amat bersemangat. Layaknya pemuda kasmaran berat, muka Lars merah-padam dan berbicara dengan tersipu-sipu. Ternyata ia hendak memperkenalkan seorang gadis.

Kabar ini sontak disambut pasangan suami-istri ini dengan gembira. Apalagi Lars pun mengundang Gus dan Karin malam itu juga untuk bertemu dengan sang gadis, yang diakuinya berprofesi sebagai misionaris (penyebar agama).

Sesampainya di kediaman Lars, bukannya senang dan bergembira bersama, Gus dan Karin malah melotot dan ternganga. Olala! Bagaimana tidak, ternyata sang kekasih baru ini adalah seorang boneka-seks yang dipesan Lars dari sebuah situs di internet.

Yang lebih mengkhawatirkan, Lars berkomunikasi dengan boneka ini layaknya gadis sungguhan. Dia memberinya minum, mengajaknya ngobrol, dan menyebut namanya dengan amat mesra: Bianca, nama yang diberikan Lars sendiri.

Hasil diagnosa dr. Dagmar (Patricia Clarkson), sang dokter keluarga, menunjukkan bahwa Lars mengidap penyakit kejiwaan delusi, suatu gangguan psikosis fungsional mirip skizofrenia. Kondisi ini hadir akibat akumulasi penolakan yang pernah mendera Lars semasa kecil. Lars hidup dalam dunia imajinya yang liar: si boneka mati Bianca hidup menjadi realitas yang mampu berinteraksi dengan intens.

Memandikan

Sinema yang berlokasi syuting di Toronto, Kanada, ini menyuguhkan keteladanan cinta tanpa bersyarat. Pergulatan yang sesungguhnya hadir sejak Gus-Karin beserta Mrs. Gruner (Nancy Beatty), ibu tua warga gereja yang baik hati, mengambil keputusan terberat dan teraneh dalam hidup mereka dalam suatu rapat warga gereja.

"What would Jesus Do" menjadi kata kunci yang menohok seluruh peserta rapat ketika itu. "Melihat Lars dengan segala keanehannya, yang menganggap sebuah boneka mati menjadi seorang gadis memesona, apa yang akan dilakukan Yesus?" tanya sang pendeta gereja. Hasilnya, mereka satu suara untuk menerima dan tetap mengasihi Lars apa adanya selama masa terapi kejiwaannya.

Kisah selanjutnya adalah sensasi. Buah konsekuensinya memang amat berat buat Gus, Karin, Mrs, Gruner, dan seluruh warga kota yang akhirnya mau tidak mau harus turut terlibat. Mereka harus bersedia mengganggap dan berinteraksi sepenuhnya dengan Bianca layaknya seorang gadis yang hidup.

Bahkan bukan hanya dalam pikiran, mereka harus turut berinteraksi secara penuh dengan boneka-seks itu. Batas antara konyol dan mengharukan menjadi hilang di sini.

Mereka mulai berbicara dengan Bianca, menyuguhkannya segelas anggur, memandikannya, mendandaninya, bahkan hingga menemaninya tidur. Konyol memang, namun inilah satu-satunya jalan yang dianggap dr. Dagmar paling baik demi kesembuhan Lars.

Awalnya prosesnya berjalan perlahan bagi semua yang terlibat di dalamnya. Terutama Gus yang ragu dan takut "ketularan" gila. Namun karena kasihnya yang begitu besar pada Lars, ditambah rasa bersalahnya karena telah menahun mengacuhkan Lars, Gus lambat laun berubah. Dia bahkan mau turut memandikan dan menemani Bianca hingga tidur, aktifitas yang tadinya dianggap tak masuk akal.

Ketekunan seluruh warga mengasihi Lars mulai berbuah ketika suatu saat Lars bertanya pada Gus: "Apa yang menjadikan seseorang sebagai seorang pria dewasa?" "Well..." jawab Gus terbata-bata, kaget mendengar pertanyaan yang tak biasa dari Lars," sifat anak-anak akan selalu berada di dalammu sampai kamu memutuskan melakukan hal yang benar. Hal itu bukan yang terbaik buatmu, tetapi yang terbaik buat semua orang, meskipun hal itu melukai hatimu sendiri."

Sejak saat itu Lars mulai menghilangkan Bianca secara perlahan dari dunia imajinya. Dia menganggap Bianca sakit hingga akhirnya meninggal. Inilah titik awal kesembuhan penyakit kejiwaan Lars.

Dia yang tadinya kikuk berinteraksi dengan lawan jenis menjadi mulai membuka diri sejak "kematian" Bianca. Rasa tertariknya pada Margo, (Kelli Garner), teman sekantornya yang jatuh hati pada Lars, mulai berkembang seiring waktu.

Box Office

Film yang menduduki "10 film terbaik tahun ini" versi The Associated Press ini melambung berkat ide briliannya. Apalagi permainan memukau Ryan Gosling sebagai Lars yang sensasional tak perlu dipertanyakan lagi. Pantaslah jika aktingnya diganjar Academy Award untuk pemeran pria terbaik.

Tema cinta yang diangkat pun segar; tak serupa film-film lain yang bergenre sejenis. Kisahnya cerdas, meneladankan cinta tanpa syarat melalui metafora sebuah boneka-seks. Film ini pun sukses di pasaran. Ia menduduki Box Office AS papan atas dengan raihan US $5,949,693.

Meski begitu bukan berarti film ini luput dari kritik. Lambatnya alur cerita dan musik latar yang kurang beragam sekilas membuat film ini menjadi menjemukan. Plotnya agak statis di awal-awal film. Beberapa adegan yang ingin menunjukkan perlakuan Lars maupun Gus dan Karin terhadap Bianca terlalu sering diulang-ulang.

Namun di luar kekurangan itu, bolehlah film ini menjadi oase di tengah keringnya ide para sineas lokal spesialis film cinta kita. Kita semua patut belajar banyak makna cinta dari Lars and The Real Girl. Belajar bagaimana kasih yang tulus ternyata bisa mengubahkan seluruh warga di lingkungan tinggal Lars; dari iba menjadi rela "gila" dan memahami Bianca sebagai realitas-semu Lars.

Si gila Lars tak hanya memaknai cinta sebagai kata-kata puitis dalam syair. Cinta baginya tak hanya buta, tetapi juga gila. Kegilaannya yang lebih membuat iba ketimbang simpatik ini patut kita jadikan bahan introspeksi. Lars mencintai Bianca sepenuh hati meski boneka mati itu tak pernah bisa merespon atau membalas cintanya.

Sebaliknya, kita, yang tak pernah mengidap delusi atau skizofrenia ini, masih teramat sering berpikir ulang dan menimbang-nimbang saat seseorang yang kita kasihi tak pernah atau kurang membalas cinta kita. Kita menjadi ragu apakah cinta ini sepadan dengan pengorbanan kita atau tidak.

Bahkan kita pongah; sering merasa sudah mengasihi sesorang terlalu banyak. Kita anggap kasih dan balasannya harus berjalan selaras. Kita anut hitung-hitungan bisnis: jika hasilnya tak sepadan, berarti salah satu pihak menang dan lainnya merugi. Kalau begitu, nyatanya kita tak lebih baik dan tulus dari seorang pengidap delusi seperti Lars Lindstrom. (*)

0 komentar:

Posting Komentar