08 Oktober 2009

Semua Ada Tarifnya

FEATURE
Jakarta, 5 Oktober 2009

Semua Ada Tarifnya
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.pacamat.com)

TEMBOK beton setinggi delapan meter itu tampak kokoh menjulang. Untaian kawat berduri di sepanjang puncaknya menambah keangkerannya. Dindingnya memampang sebuah poster ukuran jumbo bertuliskan: "Memberi atau menarik pungutan liar melanggar hukum".

Puluhan orang tampak gelisah duduk-duduk di areal depan tembok. Maya, 30, bukan nama sebenarnya, salah satunya, memasang telinga menunggui namanya dipanggil melalui alat pengeras suara. Ia hendak membesuk adiknya yang sudah 11 bulan mendekam LP Cipinang, Jakarta Timur. Ia datang bersama Ani, 20, kekasih sang adik.

LP Cipinang membuka waktu besuk setiap hari kecuali Jumat dan Minggu. Waktunya dibagi dua kali, pukul 09.30-12.00 dan 12.30-15.00.

Sebelum memasuki ruang besuk, ada beberapa gerbang pengaman berlapis yang harus mereka lewati. Total ada empat pos pemeriksaan. Paling pertama, loket pendaftaran. Di tempat ini mereka terlebih dulu mengisi semacam blangko yang memuat berbagai keterangan. Tertulis nama-nama pembesuk, nama napi yang dibesuk, dan nomor identitas diri.

Dari situ kita akan mendapat nomor antrian. Empat deret kursi plastik menjadi tempat menunggu sampai nama kita disebut melalui pengeras suara. Area menanti itu terletak di sebuah pelataran terbuka persis di depan sebuah gerbang besi yang terlihat kokoh. Tingginya pas satu orang dewasa. Ada lubang tempat mata yang hanya bisa dibuka dari dalam.

"Grekk...", bunyi grendel gembok gerbang itu menyentak lamunan Maya. Nomor antriannya, 148, sudah dipanggil melalui alat pengeras suara.

Memasuki gerbang, terhampar ruangan seluas sekitar 5x5 meter. Beberapa penjaga berseragam coklat tampak berjaga-jaga. Saku kiri seragamnya berterakan: "Polsuspas" (polisi khusus pemasyarakatan).

Di sini masih ada tiga pos lagi. Perhentian pertama, petugas akan memeriksa ulang blangko yang kita isi. Khusus pria harus meninggalkan KTP. Kemudian punggung tangan kanan diberi cap berdiameter 1 cm bertuliskan: "LP Cipinang Kelas I".

Setelah tas para pembesuk melewati alat sinar-X, ada pos dua, tempat penitipan hp (hand phone). Segala alat komunikasi yang dibawa pembesuk diminta dan dimasukkan ke dalam loker-loker kecil. Di tempat ini juga, pria akan diberi kartu bertuliskan "pengunjung" beserta nomornya untuk digantungkan di leher.

Pos terakhir, persis di sebelah pos kedua, khusus pria, sang petugas akan menggeledah seluruh tubuh. Isi dompet pun tak ketinggalan diperiksa benar.

Setelah sukses melewati ini semua, barulah pembesuk dapat memasuki ruang besuk, semacam aula besar berbentuk persegi panjang. Ukurannya sekitar 10x6 meter. Udaranya segar berkat kipas angin yang tersebar di langit-langit ruangan.

Di situ berjejer kumpulan kursi-kursi yang mengelilingi meja semacam di kafe. Tiap kumpulan berisi empat kursi, dua saling berhadap-hadapan. Dinding paling belakang ruangan itu memampang poster jumbo ukuran 4x2 meter. Isinya tentang prosedur pengurusan pembebasan bersyarat (PB ) bagi narapidana.

Di bagian pojok terdapat semacam kios yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Dari rokok, gula, teh, kopi, mie instan, sampai bahan deterjen. Kios ini disediakan bagi pembesuk yang hendak membelikan barang bagi narapidana.

Sewa Kamar

Suasana ketika itu sudah ramai benar. Para narapidana sudah tenggelam dengan pembesuknya masing-masing. Semuanya mengenakan rompi berwarna kuning terang. Di punggungnya melingkar tulisan "Narapidana LP Cipinang". Dituliskan dengan huruf besar semua.

Rahmat, 26, bukan nama sebenarnya, tampak sudah menunggu tak sabar di kursi tunggu dengan napi-napi lain. Ia langsung menghampiri Maya dan Ani Tangan sang kakak langsung diciumnya. Sedang Ani, langsung diciumnya di pipi.

"Kak, nanti jangan lupa belikan rokok putih satu pak untuk sipir. Tadi saya sudah dipesannya. Wajib!" pesan Rahmat.

Semua bisa diatur asal ada imbalannya berlaku benar di sini. Dari balik jeruji, segala kebutuhan bisa terpenuhi. Mulai dari air mineral, hp, televisi, magic jar, sampai alat permainan playstation bisa tersedia asal ada uangnya.

Tak hanya itu, untuk menuju dan kembali dari ruang besuk saja ada uangnya. Tiap napi harus menyediakan minimal Rp30 ribu jika tak mau dipukuli sipir. Dari sel mereka harus melewati lima sipir. Masing-masing meminta Rp5 ribu. Plus "biaya sewa" rompi kuning yang menjadi identitas diri para napi selama di ruang besuk, Rp5 ribu lagi.

Rahmat sendiri mengaku kini tinggal di kamar khusus. Ukurannya lumayan luas, 3x3 meter. Isinya komplit. Mulai dari dispenser, televisi, vcd player, sampai playstation ada.

Kamar mewah itu dipatok uang sewa Rp300 ribu sebulan.


Dari pengakuannya, di dalam LP ada banyak kamar sewa yang disediakan khusus bagi napi berduit. Di kamar itu, hanya playstation yang harus dia bawa sendiri. Kakaknya lah yang menitipkan pada petugas.

"Bayar Rp50 ribu untuk 'ongkos kirimnya'," kata Maya.

Rahmat bisa dikatakan napi yang beruntung. Kakak dan keluarganya rela merogoh kocek demi memenuhi segala kebutuhan dia di dalam. Pada minggu-minggu pertama pria berkulit sawo matang itu ditahan, dia langsung meminta Rp500 ribu pada keluarganya. Uang sebesar itu diminta napi-napi lain di bloknya sebagai syarat jaminan keamanan.

Keluarganya pun menuruti sebisanya. "Habis kasihan. Kalau tidak bisa menyediakan, katanya dia akan digebukin," kata Maya.

Rahmat adalah narapidana kasus narkoba. Ia dibui gara-gara dijebak kawannya. "Teman saya itu 'cepu'," tuturnya.

"Cepu" adalah istilah di antara narapidana untuk menyebut mata-mata polisi. Mantan narapidana atau mereka yang pernah terkait kasus yang kemudian direkrut kepolisian. Kerjanya menjebak kawan-kawan lainnya dengan imbalan uang.

Pandangannya lalu menerawang mengingat kembali masa dia pertama kali berurusan dengan hukum. Waktu itu dua bulan menjelang Lebaran 2008. Teman Rahmat hendak berpesta besar. Dia meminta tolong padanya untuk mencarikan paket ganja.

Meski sadar risikonya besar, dia tak sanggup menolak. "Saya ini terlalu setiakawan. Apapun yang teman minta, saya usahakan selagi saya mampu," ujarnya.

Malang baginya. Sesampainya di tempat bandar yang biasa menjadi tempat langganan temannya, tak hanya sang bandar yang menyambut, beberapa polisi berpakaian preman langsung mendekapnya.

Tiga hari ia ditahan di kantor Polres. Selama itu pula ia harus menerima perlakuan kasar di luar batas kewajaran. Ia dipukuli, diinjaki dengan sepatu lars, sampai disuruh tidur dengan posisi tergantung secara terbalik.

Dari situ ia dipindahkan ke Rutan Cipinang, persis di sebelah komplek LP Cipinang. Tiga bulan ia di sana selama menunggu masa persidangannya selesai. Palu diketuk, hakim menjatuhkan vonis bersalah dengan masa hukuman penjara 1 tahun 8 bulan.

Hari pertama dipindahkan ke LP tak akan pernah dilupakannya. Sama seperti kebanyakan kawan lain, sebelum dimasukkan ke sel, dia disambut 'ucapan selamat datang' dari para sipir. "Lagi-lagi saya dipukuli, ditendangi, sampai diinjak-injak. Memukulnya jarang pakai tangan kosong, minimal kabel listrik besar dijadikan alatnya," kisahnya.

Kini setelah 11 bulan mendekam di penjara, kehidupannya makin membaik. Dia sudah dikenal baik oleh beberapa sipir dan napi-napi dari blok lain. Dia kini bergabung menjadi "tangpir" musik. Tangpir adalah istilah bagi napi yang dipercaya membantu tugas sipir. Macam-macam tugasnya. Ada yang bertugas di kantor pelayanan di lantai atas komplek LP, urusan kebersihan, hingga perkara makanan.

Tugasnya sebagai tangpir musik adalah menjadi pengisi saban ada acara yang digelar di sana. Lebaran lalu dia menjadi pengisi acara. Dia bermain drum di dalam sebuah band yang berisikan para napi.

Tak terasa sudah 30 menit berlalu. Jatah waktu kunjungan sudah habis. Para sipir sudah ramai berteriak-teriak: "Waktu habis... waktu habis...."

Secercah harapan terpintas di wajah Rahmat. Seperti teriakan sipir, waktunya di LP memang sebentar lagi akan habis. Ia menjalani hukuman 38 hari lagi. "Bulan lima, tahun 2010," katanya.

Selepas dari penjara, dia mengaku hendak pulang ke kampung asal orangtuanya, Serang, Banten. "Saya sudah kapok hidup begini. Ga lagi-lagi menyentuh dengan yang namanya narkoba. Saya ingin menjadi petani saja," tuturnya. (*)

0 komentar:

Posting Komentar