06 Januari 2009

Ortoddok, Enak Ditonton dan Perlu

FEATURES
Semarang, 6 Januari 2009
Ortoddok, Enak Ditonton dan Perlu
Oleh Anindityo Wicaksono

TIBA-TIBA serombongan gelandangan berlarian memasuki ruangan. Wajah mereka riang. Sejurus kemudian, mereka semua bernyanyi menirukan lagu yang sedang diputar di radio yang dipanggul orang terdepan: "Ada nggak ada, yang penting kita gembira .... Sekarang miskin, siapa tahu besok kaya. Sekarang bokek, siapa tahu besok ... tokek ...."

Sekelumit adegan jenaka di atas adalah pembuka pementasan teater berjudul "Oge-Oge" (Opera Gembala, Opera Gelandangan) yang dibawakan Teater Ortoddok UNDIP Semarang, pada malam natal 2008, di Gereja Kristen Jawa Tengah, Tegal.

Pementasan yang berdasarkan naskah gubahan Agus Merdeka ini hendak mengingatkan penonton untuk selalu mensyukuri hidup. Penonton diajak untuk berkaca diri melalui kehidupan para gelandangan. Bagimana orang-orang "terbuang" itu tetap dapat bersukacita merayakan kehidupan dalam kondisi apapun.

Salah satu adegan yang paling baik menyampaikan pesan itu adalah ketika mereka melelang organ tubuh salah satu teman mereka. Hal itu bermula ketika sang pemimpin--gelandangan yang paling sok tahu--ingin membuktikan, bahwa pada konkretnya, mereka para gelandangan adalah orang-orang kaya.

"Siapa yang mau menawar 'ginjal' orang ini?" tanya sang pemimpin sambil menarik seorang teman di dekatnya.

Mendengar tawaran itu, dengan segera para gelandangan lain antusias menawar. Rp50 juta, Rp100 juta, Rp150 juta, dan ... akhirnya ditutup pada Rp200 juta.

"Nah, habis ginjal ... sekarang kita ganti dengan model 'ganti rugi'. Bagaimana kalau kedua matamu, saya ganti dengan rumah besar dan mewah di real estate?"

"Mau, mau, Kang! Ada kolam renangnya, lho!" bujuk gelandangan lain.

"Iya, mau, ada parabolanya, tuh ...!" timpal yang lainnya.

Si gelandangan yang dilelang terdiam. Berpatut diri. "Ah, ya saya tidak mau! Meskipun punya rumah besar dan mewah, tetapi kalau tidak punya mata ... ya, sama juga bohong! Saya tidak mau!"

Pekabaran Injil

Pementasan teater yang berdurasi 30 menit itu hendak membangunkan penonton dari fatamorgana kehidupan yang acapkali menjauhkan kita dari rasa bersyukur. Mereka hendak mengingatkan, betapa kita masih seringkali salah dalam memandang hidup dan kehidupan.

Kita terlampau sering mengeluh. Makanan buatan ibu kurang asin sedikit, mengeluh. Udara panas, mengeluh. Hujan deras tak henti-henti, mengeluh. Bahkan kalau kaki ini bisa kita tinggalkan, mungkin setelah capai berjalan jauh kita juga akan mengeluh dan meninggalkannya. Ah, manusia ....

Kita juga seringkali menganggap hidup sebagai sekadar urusan pemupukan aneka harta dan barang. Tujuannya, apalagi kalau bukan kepuasan dan prestise yang tak berujung. Segala cara dilakukan demi tujuan ini. Hidup yang begitu berharga ini kita sia-siakan demi harta benda duniawi yang tak akan dibawa ketika kita mati itu.

Kita lupa bahwa tubuh beserta seluruh organ di dalamnya yang kita punyai ini sendiri adalah salah satu harta yang tak ternilai. Kita lupa mensyukuri tubuh, yang dengan segala kekompleksan penciptaanya, adalah anugerah TUHAN yang tak terkira.

Tingkah polah para aktor dalam memerankan gelandangan memang jenaka. Dengan kostum compang-camping sekadarnya ala gelandangan, para mahasiswa itu sukses merepresentasikan kaum marjinal yang lugu, polos,. dan sok tahu--demi menutupi kebodohan mereka. Kisahnya ringan. Mudah dicerna.

Menurut Bayu (21), Ketua Ortoddok, naskah cerita memang sengaja dibuat ringan namun padat pesan. "Teater kami berkiblat pada Teater Gandrik Yogyakarta yang memang tak terlalu mengandalkan bahasa-bahasa gerak yang penuh simbol. Kelemahan bahasa gerak yang mulitafsir adalah masih susah dimengerti publik awam. Bagi kami, yang terpenting adalah pesan. Prinsip ini persis moto kami, yaitu 'enak ditonton dan perlu'," tukasnya yang malam itu juga menjadi aktor.

"Karena kami teater Kristiani yang memfokuskan diri pada pekabaran injil, sebagian besar ruang lingkup pementasan kami masih di lingkungan gereja atau komunitas Nasrani. Namun, tak jarang juga kami diundang pentas di berbagai tempat bertepatan momentum sosial-budaya, seperti Hari AIDS atau pagelaran budaya di kampus," terang Bayu.

Visi teater yang berdiri pada 16 Desember 1992 itu adalah menjadi lembaga pekabaran injil dengan media teater yang eksis. Nama "Ortoddok" sendiri adalah singkatan dari "Teaternya Orang-Orang yang Dididik dan Diberkati oleh Kristus".

Nakal dan Nyeleneh

Menurut Agus Merdeka (36), pendiri Ortoddok, teater ini berangkat dari keinginan para mahasiswa Kristen untuk membuat dobrakan bagi dunia drama gerejani yang selama ini terkesan monoton. Awal pertemuan para pendirinya terjadi di Perkantas, sebuah komunitas mahasiswa Kristen Semarang.

"Di banyak gereja, hingga kini drama-drama yang dipentaskan masih sebatas rutinitas setiap Natal dan Paskah. Penggambarannya pun standar. Kalau Natal, ya tentang Maria yang mencari tempat melahirkan. Paskah, ya sudah pasti seputar kisah penyaliban Yesus," tukas Agus yang kini menjadi sutradara-cum-penulis naskah lembaga pelayanan film Kristen Christopherus ini.

Atas dasar itulah, lanjutnya, mereka hendak membalikkan keadaan bahwa kisah rohani yang digelar di tempat ibadah tak selamanya harus kaku. Bisa diangkat dari kehidupan sehari-hari agar mengena penonton. "Kalau penonton saja sudah bosan, bagaiman pesannya bisa sampai?"

Teater Ortoddok sendiri hingga kini punya sembilan naskah unggulan yang dijadikan andalannya ketika berpentas di berbagai tempat. Naskah-naskah yang kesemuanya ditulis Agus Merdeka itu terdiri dari beragam kisah.

Di antaranya tentang pergulatan cinta sepasang muda-mudi, kehidupan bebas anak muda, pertengkaran rumah tangga, masa-masa kematian seorang raja, hingga kepongahan seorang pemuka daerah yang menyebabkan pertempuran antarkelompok.

Judul-judulnya pun dibuat nyeleneh agar menarik rasa penasaran. Tengok saja nama-nama ini: "Memomamimurtad", "Sedulur Mulur", "Kirab", "We Lha Dalah!", hingga "Lonceng Jatuh".

Ada benang merah yang dapat ditarik dari kesemua naskah-naskah mereka: keseimbangan antara pesan-pesan yang bernas, petilan dialog-dialog nakal, dan pergerakan teatrikal yang nyeleneh namun mudah dimengerti. Maka tak heran, dalam setiap pementasan mereka, gelak tawa selalu memenuhi arena pertunjukan.

0 komentar:

Posting Komentar