15 Mei 2009

Mengapa SOLOPOS Terbit di Surakarta

JURNALISME
Semarang, 15 Mei 2009
Mengapa SOLOPOS Terbit di Surakarta
Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

HARIAN
Suara Bengawan adalah koran terakhir—sebelum SOLOPOS terbit—yang terlihat serius ingin menggarap wilayah eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya. Koran ini mulai terbit 16 Juni 1986, namun ketika harian baru berjalan dua tahun, sekitar tahun 1988 sempat berhenti terbit.

Koran yang dipimpin oleh HS Maryono ini pada tahun 1991 sempat terbit lagi, namun hal itu tidak berlangsung lama karena beberapa bulan kemudian akhirnya tutup untuk selamanya. Setelah Suara Bengawan, praktis Kota Solo tidak lagi ada koran harian yang terbit secara kontinu sampai kemudian pada tahun 1997 Harian SOLOPOS muncul.

Sekalipun demikian, di antara 1991 hingga 1997 tersebut, beberapa penerbitan pers—sekalipun bukan dalam format koran—masih mencoba keberuntungan untuk berbisnis di bidang ini, misalnya tabloid berbahasa Jawa, Jawa Anyar. Toh tabloid yang bermaksud menyajikan beragam berita dengan bahasa Jawa ini akhirnya tak berhasil.

Sekalipun demikian, baik ada atau tidak ada koran harian, tabloid mingguan berbahasa Indonesia maupun Jawa, sesungguhnya Kota Solo dianggap sebagai daerah subur untuk memasarkan koran, tabloid atau majalah. Sehingga kota ini tetap menjadi ajang pertempuran berbagai perusahaan penerbitan pers dari luar Kota Solo untuk memasarkan produknya di wilayah ini.

Sebagai kota terbesar kedua di Jawa Tengah setelah Semarang, Solo dilihat oleh para pengusaha penerbitan pers secara ekonomi memiliki potensi kuat. Namun di sisi lain, kota yang juga dikenal sebagai Kota Budaya ini mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam isu-isu berita politik, ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Tak heran jika hampir semua koran terkenal, baik lokal maupun nasional bersaing memperebutkan simpati pembaca di wilayah ini.

Apakah itu pula yang mendasari diterbitkannya SOLOPOS di kota Solo? Secara implisit jawabannya adalah ya, sekalipun di sisi lain tentu saja juga ada visi ideal yang hendak diusung oleh para pendiri koran ini ketika menerbitkan SOLOPOS.

Pengambil keputusan diterbitkannya SOLOPOS di Kota Solo, Prof Dr Sukamdani Sahid Gitosardjono yang juga Presiden Komisaris penerbit koran ini mengatakan bahwa langkah untuk menerbitkan koran di Solo memang sebuah gagasan idealis untuk menghidupkan koran daerah di Kota Solo yang memiliki sejarah panjang tentang penerbitan pers (hal. 37).

“Gagasan untuk menerbitkan koran di Solo ini sebenarnya sudah lama kami niatkan, mengingat bahwa Kota Solo adalah tempat kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Februari 1946, tapi ironisnya tiap ada penerbitan koran di Solo tidak berumur panjang,” ungkap Sukamdani (hal. 37).

Sukamdani juga menjelaskan bahwa pilihan jatuh di Kota Solo karena sebagai orang yang lahir dan besar di kawasan ini, pihaknya melihat Solo mempunyai potensi yang luar biasa besar. Sebagai sebuah kota, Solo mempunyai potensi di berbagai bidang, seperti perdagangan sehingga layak mendapat julukan sebagai kota niaga.

Demikian pula di bidang industri, bidang pendidikan dan sekaligus juga di bidang pariwisata dan budaya. Sukamdani berkeyakinan besar bahwa dengan adanya rencana pemerintah pusat ketika itu untuk mengembangkan Solo menjadi Kota Internasional di antaranya dengan mempersiapkan pembangunan tol Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) dan menjadikan Bandara Adisumarmo sebagai bandara internasional, maka Kota Solo akan menjadi salah satu kawasan pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Tengah.

Karena itu Kota Solo menjadi kota potensial untuk penerbitan koran. Belajar dari pengalaman keberhasilan mengelola koran ekonomi Bisnis Indonesia di Jakarta sejak 14 Desember 1985, maka tahun 1996 dengan persetujuan Direksi dan Komisaris PT Jurnalindo Aksara Grafika, penerbit Harian Bisnis Indonesia sepakat untuk mengajukan permohonan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) di Solo, kepada Menteri Penerangan RI.

Satu kesatuan

Sambil menunggu keluarnya izin koran tersebut, urai Sukamdani, pihaknya memproses pendirian Badan Hukum, mencari kantor yang strategis, menunjuk tiga orang wartawan harian Bisnis Indonesia Jakarta yakni Danie H Soe’oed, YA Sunyoto dan Bambang Natur Rahadi di bawah koordinasi Lukman Setiawan, Wakil Pemimpin Umum Harian Bisnis Indonesia.

Mereka bertugas menyeleksi calon wartawan/wartawati karyawan pers dan kemudian melatihnya bagi mereka yang lolos seleksi (hal. 38).

Ide awal menerbitkan koran di Solo adalah untuk pemerataan informasi aktual mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk bisa diketahui masyarakat antara daerah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia dan antara daerah dengan pemerintah pusat di Jakarta serta berita-berita penting dari manca negara yang bisa diinformasikan kepada masyarakat daerah sampai ke pelosok pedesaan sesuai dengan kemajuan teknologi dan informasi di era global-internasional dewasa ini.

Tentang batasan dan kriteria yang dicanangkan kepada para pelaksana di lapangan dalam menyajikan berita di Harian Umum SOLOPOS, jelas Sukamdani, harus bermoral tinggi, berwatak mulia, berintegritas, profesional dan kompeten selayaknya seseorang jurnalis yang ingin meraih prestasi jurnalisme setinggi-tingginya dalam profesinya.

Dengan tagline (motto) “Meningkatkan Dinamika Masyarakat”, dimaksudkan agar masyarakat pembacanya termotivasi untuk bertindak jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras dan berprestasi yang optimal dan hasil prestasinya itu agar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, lingkungan hidup dan masyarakat banyak.

Di sisi lain, gagasan menerbitkan koran di Solo itu, kata Pemimpin Perusahaan Harian SOLOPOS Bambang Natur Rahadi, juga tidak terlepas dari insting bisnis Sukamdani yang dinilai memahami karakter perekonomian Kota Solo.

“Pak Kamdani melihat ada kesempatan mendirikan koran di Solo. Karena ini kampungnya, beliau tahu di sini punya peluang untuk mendirikan koran baru. Dari situ akhirnya Bisnis Indonesia memutuskan untuk melakukan ekspansi,” ungkap Bambang Natur (hal. 40).

Mengenai konsep apa yang dibawa oleh Bisnis Indonesia dalam mengembangkan koran ini, lanjutnya, sebetulnya tidak ada. Semua dipasrahkan kepada pelaksananya. “Coba saja bikin koran di Solo, gimana caranya terserah,” kata Bambang Natur menirukan pernyataan Sukamdani (hal. 40).

Tiga orang yang ditunjuk, Danie H Soe’oed, (Pemimpin Redaksi ), YA Sunyoto, dan Bambang Natur Rahadi akhirnya berembug. Tiap orang masing-masing bawa bekal dan konsep untuk didiskusikan. Bambang Natur sendiri mengaku membawa frame gaya koran lokal Jawa Timur-an.

Bagaimana polanya? Menurutnya, pertama harus punya nilai informasi nasional. Karena ini menyangkut masalah gengsi. Koran daerah kalau bisa pegang koran yang punya informasi nasional pasti punya headline.

Kedua, koran daerah itu harus bicara daerah. Ini yang harus dipadukan. Ini yang dilakukan koran Jawa Timur dengan konsep lokalnya yang cukup besar. Gayanya harus dibuat sebagai sebuah gaya penyajian hiburan. Jadi tulisan itu bukan hanya memberikan informasi yang sifatnya straight-news seperti polanya Bisnis Indonesia, tapi harus menjadi sebuah feature.

Setelah berdialog akhirnya ketemu konsep koran nasional dan koran lokal. Belakangan berkembang menjadi terjemahan-terjemahan. Konsep "Soloraya" di SOLOPOS itu sudah hasil diskusi. Konsepnya pers lokal di Solo harus menggunakan basis 6 kabupaten dan 1 daerah kota itu menjadi satu kesatuan. (*)

(Dikutip dari buku SOLOPOS, Satu Dasawarsa Meningkatkan Dinamika Masyarakat karya Mulyanto Utomo [2007], halaman 36-41)

0 komentar:

Posting Komentar